Pasang Surut Perayaan Cap Go Meh di Indonesia

Namun saat ini perayaan Cap Go Meh di Indonesia lebih mengedepankan keberagaman dan persatuan.

oleh Anri Syaiful diperbarui 23 Feb 2016, 03:09 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2016, 03:09 WIB
Peserta parade Pesta Rakyat Bogor melintas di tengah-tengah lautan massa yang memenuhi ruas Jalan Surya Kencana, Bogor, Senin (22/2/2016). Pesta Rakyat Bogor 2016 bersamaan dengan perayaan Cap Go Meh di Kota Bogor
Peserta parade Pesta Rakyat Bogor melintas di tengah-tengah lautan massa yang memenuhi ruas Jalan Surya Kencana, Bogor, Senin (22/2/2016). Pesta Rakyat Bogor 2016 bersamaan dengan perayaan Cap Go Meh di Kota Bogor

Liputan6.com, Jakarta - Hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek dalam kepercayaan Tionghoa atau disebut Cap Go Meh, jatuh tepat pada Senin 22 Februari 2016. Seperti dalam beberapa tahun terakhir, Cap Go Meh atau puncak rangkaian perayaan Imlek tahun ini yang bershio Monyet Api, umumnya dihelat di sejumlah wilayah Indonesia dengan populasi besar etnis Tionghoa.

Sebut saja bilangan Glodok di Jakarta Barat, kawasan Jalan Suryakencana di Bogor, Jawa Barat, wilayah Singkawang dan Pontianak di Kalimantan Barat, serta kawasan pecinan di Manado, Sulawesi Utara. Termasuk Pulau Kemaro di Palembang, Sumatera Selatan.

Seorang tatung mengikuti karnaval perayaan Cap Go Meh di Glodok, Jakarta, Minggu (21/2). Perayaan Cap Go Meh yang merupakan rangkaian terakhir masa perayaan Imlek itu diikuti 1477 peserta dengan menampilkan berbagai kesenian. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Di Singkawang, keunikan perayaan Cap Go Meh bahkan senantiasa menyedot perhatian. Ini terbukti dengan datangnya ribuan orang, termasuk turis mancanegara. Festival ini biasanya melibatkan ratusan tatung yang memperlihatkan kesaktian mereka.

Mereka menusuk tubuh dengan paku hingga terkadang berdarah-darah. Dan akulturasi atau percampuran budaya Tionghoa dan lokal di Singkawang sangat kental terasa.

Berdasarkan data yang dihimpun Liputan6.com, pada umumnya di negara besar seperti Tiongkok dan Taiwan, Cap Go Meh adalah ajang perjamuan besar. Pesta dan pawai digelar di jalanan dari pagi hingga malam.

Cap Go Meh adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian, artinya malam 15. Sedangkan lafal dialek Hakka adalah Cang Njiat Pan, artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok dinamakan Yuan Xio Jie dalam bahasa Mandarin yang berarti festival tanggal 15 bulan satu Kalender Tionghoa.

Asal Muasal Cap Go Meh

Banyak versi yang menyebutkan asal muasal perayaan Cap Go Meh. Salah satu versi menyebutkan Dinasti Zhou (770-256 Sebelum Masehi) yang diyakini mengawali perayaan Cap Go Meh setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek.

Kala itu, para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman. Lampion-lampion itu juga dimaksudkan menciptakan pemandangan yang indah di malam hari tanggal 15 bulan satu tahun baru Imlek berdasarkan penanggalan Tiongkok.

Buat menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah segala bunyi-bunyian serta bermain barongsai. Terutama agar lebih ramai dan bermanfaat bagi petani.

Parade tarian naga mewarnai perayaan Cap Go Meh dan Pesta Rakyat Bogor 2016, Senin (22/2/2016). Pesta Rakyat Bogor 2016 bersamaan dengan perayaan Cap Go Meh di Kota Bogor.  (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Selama puluhan abad, kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut turun-menurun, baik di daratan Tiongkok maupun di perantauan etnis Tionghoa di seluruh dunia. Sementara di negara-negara Barat, Cap go meh dianggap sebagai pesta karnaval etnis Tionghoa.

Dan sejatinya, sejarah Cap Go Meh di Nusantara --nama lama Indonesia-- dimulai sejak abad XIV. Kala itu terjadi migrasi besar dari daratan Tiongkok Selatan.

Berdagang menjadi alasan mereka singgah di Nusantara. Mereka pun mulai menetap dan menjadi warga Nusantara. Tradisi Tionghoa mulai dikenal, Imlek dan puncak rangkaiannya, Cap Go Meh, satu di antaranya.

Kelenteng atau Bio

Pawai merayakan Cap Go Meh pada umumnya dimulai dari kelenteng ataupun wihara. Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah Tri Dharma --Buddha, Tao, dan Konghucu-- di Indonesia.

Namun nama kelenteng bukan berasal dari Tiongkok, melainkan bahasa Jawa. Diambil dari perkataan 'kelintingan' lonceng kecil, karena bunyi-bunyian inilah yang sering keluar dari Kelenteng, sehingga mereka menamakannya kelenteng.

Etnis Tionghoa sendiri menamakan kelenteng itu sebagai Bio. Bahasa Mandarin-nya Wen Miao adalah bio untuk menghormati Confucius dan Wu Miao adalah untuk menghormati Guan Gong.

Peserta melakukan atraksi barongsai pada karnaval perayaan Cap Go Meh di Glodok, Jakarta, (21/2). Perayaan yang merupakan rangkaian terakhir masa perayaan Imlek itu diikuti 1477 peserta dengan menampilkan berbagai kesenian. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Cap Go Meh juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari kelenteng. Toapekong (Hakka = Taipakkung, Mandarin = Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yang sudah tua.

Da Bo Gong adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa di Indonesia. Namun istilah Da Bo Gong itu sendiri tidak dikenal di Tiongkok.

Warga melakukan sembahyang jelang perayaan Cap Go Meh di Vihara Dhanagun, Bogor, Senin (22/2/2016). Cap Go Meh merupakan puncak perayaan Tahun baru Imlek 2567. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Tradisi Penting

Adapun menyaksikan lampion dan makan onde-onde adalah dua bagian penting pada saat perayaan Cap Go Meh. Selain itu ada beberapa adat istiadat lainnya yang merupakan rangkaian acara yang tidak terpisahkan dari zaman Tiongkok kuno, yakni:

1. Pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari kelenteng.
2. Lontong opor lengkap atau disebut lontong Cap Go Meh.
3. Pawai Cap Go Meh.
4. Tarian barongsay atau tarian singa atau disebut pula Nong Shi.
5. Tarian Naga atau liong atau disebut Nong Long.
6. Lampion berwarna.
7. Kue onde-onde.
8. Kegiatan hiburan lainnya, seperti jangkungan, tari yangge datau semacam tarian khas di utara Tiongkok.

Pasang Surut Perayaan

Pena sejarah mencatat, jauh sebelum Belanda membangun Batavia (nama Jakarta saat masa kolonial) pada tahun 1619, warga etnis Tionghoa sudah bermukim di sebelah timur muara Ciliwung. Kendati demikian, sewaktu Belanda membangun loji di tempat itu mereka pun diusir.

Barulah setelah terjadinya pembantaian orang Tiongkok di Batavia pada 9 Oktober 1740, etnis Tionghoa ditempatkan di kawasan Glodok, tak jauh dari Stadhuis (sekarang Museum Fatahillah). Pemindahan ini agar mereka mudah diawasi.

Umat Tionghoa berdoa jelang perayaan Cap Go Meh di Vihara Dhanagun, Bogor, Senin (22/2/2016). Cap Go Meh merupakan puncak perayaan Tahun baru Imlek 2567. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Setelah itu perayaan Imlek dan Cap Go Meh tetap berlangsung. Di Buitenzorg (nama lama Bogor), misalnya. Dalam rentang tahun 1800-1930, sejak komunitas Tionghoa Buitenzorg memiliki klenteng Hok Tek Bio, perayaan Cap Go Meh mulai digelar. Bahkan, sekitar tahun 1930, arak-arakan Tapekong dan Ceng Ge diizinkan masuk ke Istana Gubernur Jenderal Belanda --kini Istana Bogor.

Namun, saat masa pendudukan balatentara Jepang di Indonesia, kemeriahan perayaan Imlek dan Cap Go Meh hampir tak terdengar gaungnya. Terlebih, saat itu bangsa Indonesia mengalami banyak penderitaan. Banyak orang di Indonesia bahkan dijadikan romusha untuk menjalani kerja paksa.

Memasuki zaman kemerdekaan, terutama saat pemerintah Orde Lama berkuasa, Imlek sempat dirayakan secara meriah. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1946 tentang Hari Raya Kaum Tionghoa sebagai bukti.

Salah satu ruangan paling berhantu ternyata ruang kerja presiden. Nah, lho!

Pada tahun 1954, Cap Go Meh bahkan bisa masuk ke Istana Bogor dan memeriahkan acara di area tersebut. Padahal, Cap Go Meh bisanya hanya digelar di kawasan Jalan Suryakencana. Namun atas undangan Presiden Sukarno, Cap Go Meh menjelma menjadi ajang yang dapat dibanggakan warga Bogor.

Saat itu arak-arakan Tapekong dan Ceng Ge memukau Bung Karno beserta tamu negara yang berada di Istana Bogor. Kendati demikian pada tahun 1962, Presiden Sukarno justru melarang perayaan Cap Go Meh di kawasan Glodok, Jakarta.

Saat Presiden Soeharto berkuasa, pergerakan kaum Tionghoa dibatasi. Hal itu tersurat dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967, upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dalam ruangan tertutup.

Tiga dekade berlalu. Pada Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Bahkan setahun kemudian menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif. Hanya terbatas bagi kaum Tionghoa.

Selanjutnya pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Pengumuman ini dibacakan saat Megawati menghadiri acara puncak perayaan Imlek atau Cap Go Meh.

Sementara pada 26 Desember 2004, Aceh diguncang gempa dan tsunami. Ratusan ribu warga Aceh turut menjadi korban. Dua bulan pascabencana tsunami, perayaan Cap Go Meh  ditiadakan. Seiring dengan itu, bantuan sosial dari etnis Tionghoa digalang dan mengalir ke Aceh.

Setelah itu perayaan Cap Go Meh terus berlangsung hingga saat ini. Dengan tema akulturasi budaya dan Bhinneka Tunggal Ika, berbagai festival Cap Go Meh pun digelar di berbagai wilayah di Tanah Air. Maraknya festival Cap Go Meh bahkan turut mendorong sektor pariwisata di Indonesia.

Beberapa bulan setelah dilantik sebagai Presiden ke-7 RI, Joko Widodo pun membuka perhelatan pesta rakyat Street Festival Cap Go Meh 2015 di Kota Bogor, Jawa Barat. Kehadiran Jokowi saat itu di panggung utama langsung mendapat sambutan meriah dari warga.

Kedatangan Presiden Jokowi disambut oleh barongsai saat menghadiri  perayaan  Cap Go Meh di Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (5/3/2015). Di sebelah kiri tampak Walikota Bogor Bima Arya mengenakan busana serba putih (Liputan6.com/Faizal Fanani)

"Dengan mengucap bismillah saya buka perayaan Cap Go Meh 2015," ucap Jokowi disambut riuh tepuk tangan penonton, Kamis 5 Maret 2015.

Keberagaman dan Persaudaraan

Sementara pada tahun ini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mewakili Presiden Jokowi membuka kegiatan Karnaval Cap Go Meh dalam rangka merayakan Tahun Baru Imlek di Lindeteves Trade Centre, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta.

Perayaan Cap Go Meh di kawasan pecinan Glodok kali ini mempunyai makna tersendiri. Ini mengingat Cap Go Meh baru dirayakan kembali setelah sempat berhenti 54 tahun. Terakhir kali digelar di masa pemerintahan Presiden Sukarno pada 1962 lalu.

Terlepas dari hal itu, menurut Puan, Karnaval Cap Go Meh tak sekadar budaya Tionghoa yang dimiliki secara turun-temurun. Tapi, terdapat pesan penting kebhinnekaan dan persaudaraan.

"Kehadiran masyarakat Tionghoa beserta budayanya sejak berabad-abad lalu telah memperkaya khasanah budaya Nusantara. Hingga kini, perayaan Imlek maupun Karnaval Cap Go Meh bukan hanya tertutup bagi masyarakat Tionghoa, tapi juga telah melibatkan berbagai etnis lain di Nusantara," kata Puan dalam sambutannya, Minggu 21 Februari 2016.

Bendera merah putih berukuran besar diarak saat karnaval perayaan Cap Go Meh di Glodok, Jakarta, (21/2). Perayaan yang merupakan rangkaian terakhir perayaan Imlek itu diikuti 1477 peserta dengan menampilkan berbagai kesenian. (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Pesan serupa disampaikan Oesman Sapta Odang alias Oso. Menurut Wakil Ketua MPR yang akrab disapa Oso itu, terselenggaranya perayaan Cap Go Meh bisa terselenggara berkat adanya Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

"Itulah Bhinneka Tunggal Ika, sehingga kita bisa melakukan Cap Go Meh. Anda bisa melakukan apa saja, asal menghayati dan melakukan aturan di wilayah bangsa Indonesia," ujar Oso kepada Liputan6.com saat perayaan Cap Go Meh Tahun Imlek 2567 di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin 22 Februari 2016.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya