Daluang, Kertas Kuno Pengikat Mantra

Daluang hadir sebelum teknologi kertas yang digunakan sekarang ini.

oleh Arya Prakasa diperbarui 14 Jun 2016, 19:35 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2016, 19:35 WIB
Daluang
Daluang hadir sebelum teknologi kertas yang digunakan sekarang ini.

Liputan6.com, Bandung - Berawal dari keterarikannya dengan berbagai jenis aksara kuno, Edi Dolan mempertahankan seni menulis di atas kertas daun yang disebut Daluang. Seniman asal Bandung itu akhirnya mempelajari pembuatan kertas berbahan dasar batang Pohon Saeh atau Mulberry.

Edi mengaku diajari seorang pakar mengenai Daluang hingga proses pembuatannya pada 2007. Hingga kini, Edy membuat mandiri daluang yang digunakannya untuk menulis replika naskah kuno.

"Saya belajar dari Teddy Permadi. Beliau pelopor yang membangkitkan daluang. Saya memang sebelumnya senang aksara kuno, sekalian media tulisnya kuno dan aksaranya kuno," kata Edi kepada Liputan6.com di Bandung, Selasa (14/6/2016).

Edi mengatakan, kertas Daluang diciptakan sebelum pabrik kertas ada di Indonesia. Menurut dia, orang-orang zaman dulu menciptakan alat tulis dari mengolah alam di sekitarnya.

"Tradisi ini ada sebelum ada pabrik kertas. Kalau Daluang adanya dari wilayah Timur ke Barat, diciptakan dari pohon namanya Saeh," ucap Edi.

Untuk menciptakan Daluang, Edi terlebih dahulu menguliti batang pohon Saeh yang ditanamnya sendiri di pekarangan rumah. Kemudian, kulit Saeh itu direbus dengan air abu gosok agar kadar gulanya hilang.

"Digulung diikat dulu, digodognya (direbus) pakai air abu gosok untuk mengurangi kadar gula, dan mengawetkan kertasnya. Lalu direndam di air abu gosok itu, diangkat lalu dimasukkan ke plastik rapat. Jadi, fragmentasi lendir si kulitnya jadi rapat," tutur Edi.

Selanjutnya, Edi memukul kulit Saeh hingga melebar. Pemukul yang digunakan terbuat khusus dari bahan kuningan.

"Sudah ukurannya pas, baru dijemur sampai kering tapi nggak boleh kena sinar matahari langsung," sambung dia.

Pemukul bahan kertas daluang yang digunakan terbuat khusus dari bahan kuningan. (Liputan6.com/Aditya Prakasa)

Kegiatan yang dilakukan pemahat patung itu mampu memberi penghasilan untuknya. Edi pun kebanjiran permintaan pembuatan kertas Daluang dari dalam negeri. Ia bahkan kewalahan memenuhi permintaan Daluang itu.

Salah satu kendalanya adalah pohon Saeh yang ditanamnya hanya bisa dipanen setelah berumur satu sampai tiga tahun agar dapat diolah menjadi kertas Daluang.

"Satu sampai tiga tahun sudah bisa dipanen. Kalau terlalu lama, nggak terlihat hasil tulisannya. Kalau untuk aksara bagusnya yang muda-muda, bisa di-print buat gambar juga," kata dia.

Edi mematok harga berbeda-beda sesuai dengan ukuran kertas Daluang yang dipesan. Daluang berukuran A4 dihargai Rp 20 ribu dan Rp 750 ribu untuk kertas yang panjang berukuran 1 meter persegi ke atas.

Selain membuat kertas Daluang, Edi mengaku sering diminta banyak museum untuk membuat replika naskah kuno. Dia telah berkeliling banyak museum Indonesia untuk membuat banyak replika naskah kuno.

"Kebanyakan yang order museum sama tradisi kerajaan-kerajaan kayak di Padang kemarin 150 lembar, untuk repro naskah kuno. Malah di Bali, Daluang ini disebut kertas suci karena peruntukannya upacara adat. Katanya, mantranya lebih afdol ditulis di sini (Daluang)," ucap dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya