Liputan6.com, Purwokerto – Telolet mendadak mendunia. Tak hanya linimasa Twitter Jokowi yang diserang demam telolet, tetapi bahkan menjamah akun milik tokoh-tokoh dunia. Pertanyaannya, dari mana demam telolet ini bermula?
Pengguna telolet pertama ternyata adalah PO Bus Efisiensi. Si pemilik PO awalnya menyebut bunyi klakson khas itu sebagai tolelot, bukan telolet.
"Empat tahun lalu mulai rame anak-anak yang meminta telolet," kata Manajer Komersial PO Efisiensi Syukron Wahyudi, Rabu, 21 Desember 2016.
Ia menuturkan, awal mula penggunaan klakson telolet terinspirasi dari bus di Arab Saudi yang pertama didengar pemilik PO Efisiensi Teuku Eri Rubiansah. Saat pulang, Eri memasangnya di bus miliknya dengan trayek Purwokerto-Yogyakarta.
Bus Efisiensi kini menjadi salah satu moda transportasi paling diminati oleh warga Purbalingga, Purwokerto dan Cilacap. Tujuannya ke Yogyakarta dan sebaliknya.
Seperti yang biasa dilakukan oleh Kukuh Sukmana, warga Purwokerto yang bolak-balik ke Yogyakarta untuk menemui pacarnya. Ia menggunakan Bus Efisiensi karena kereta api seringkali penuh atau hanya bisa digunakan di jam tertentu.
"Kalau di jam tertentu dan mendadak harus pergi ke Yogyakarta saya menggunakan Bus Efisiensi," kata dia.
Sementara untuk menggunakan travel, kata Kukuh, waktunya terbatas dan harus memesan terlebih dahulu. "Kalau pesan mendadak, biasanya sudah habis dulu," kata dia.
Baca Juga
Syukron Wahyudi mengaku pernah ada komplain dari pelanggannya soal kurang cepatnya Bus Efisiensi. "Lima jam merupakan waktu yang paling pas berdasarkan penelitian yang kami lakukan," kata dia.
Dengan waktu lima jam, baik trayek Purwokerto-Jogjakarta maupun trayek Cilacap-Yogyakarta, kecepatan bisa normal saja, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. Syukron menyebutkan, waktu tersebut merupakan rata-rata perhitungan perjalanan bus dengan waktu tercepat dan waktu terlambat.
Syukron mengisahkan, Bus Efisiensi dimiliki oleh Teuku Erry Rubihamzah pada 1994. Trayek perdananya adalah Kebumen - Yogyakarta dengan satu unit bus saja. Erry sendiri yang menjadi sopir bus itu.
Lambat laun, usahanya semakin maju. Pada 1997, ia menambah dua unit busnya. Usahanya terus berkembang hingga ia mampu membeli tambahan tujuh bus besar pada 2000. Selain untuk angkutan penumpang, bus yang dimilikinya juga digunakan sebagai bus pariwisata.
Pada 2003, Erry mencoba melebarkan sayap dengan melayani trayek Cilacap-Yogyakarta. Saat itu, trayek tersebut belum ada pemain yang menggunakan bus patas AC. Jadilah Efisiensi menjadi pemain tunggal di trayek ini. Tak tanggung-tanggung, empat unit bus dikerahkan setiap harinya.
Sukses dengan trayek Cilacap-Yogyakarta, Efisiensi mencoba peruntungan di trayek Purwokerto-Yogyakarta. Ceruk di trayek ini cukup kompetitif.
Efisiensi Bertahan di Tengah Persaingan
Pada 2005 saat Efisiensi ikut bermain di trayek tersebut, sudah ada beberapa bus Patas AC yang sudah lama bercokol di trayek ini. Sebut saja PO Raharja yang sempat menjadi raja jalanan Purwokerto-Yogyakarta. Dengan armada yang cukup banyak, Raharja menjadi bus favorit menuju Yogyakarta.
Awalnya, Efisiensi masuk dengan mengandalkan tiket murah dan waktu tempuh yang cepat. Hanya tiga jam dari Purwokerto-Yogyakarta. Minuman ringan juga dibagikan kepada penumpang. Saat itu harga tiketnya hanya Rp 35 ribu, lebih murah dibandingkan Bus Raharja.
Harga tiket perlahan dinaikkan hingga saat ini mencapai Rp 60 ribu. "Sejak 2007-2012 kami belum pernah menaikkan harga tiket," kata Syukron.
Efisiensi, kata Syukron, bukan hanya sekedar nama bus. Nama tersebut juga diterapkan dalam manajemen operasional. Ia menyebutkan, setelah melakukan serangkaian survei kebutuhan bahan bakar untuk sekali perjalanan bisa diketahui.
Sopir dijatah kebutuhan BBM-nya setiap sekali jalan. Meski dijatah, kata Syukron, seringkali BBM mengalami kelebihan. Dengan jatah BBM itu, perjalanan bisa lebih cepat dari lima jam, tapi tidak boleh lebih lama dari lima jam.
Ia mengatakan ada sebagian penumpang yang komplain dengan waktu tempuh tersebut. Namun, ia berargumen penghematan tersebut berdampak pada murahnya tarif bus yang hanya Rp 60 ribu.
Selain tidak panas karena menggunakan AC, penumpang juga mendapatkan sebotol air mineral. Penumpang juga bisa melihat video melalui televisi besar dan kecil yang diletakan di atas bangku.
Tak hanya itu, Syukron mengatakan, pihaknya selalu mengadakan survei berkala terhadap penumpang tentang pelayanan mereka. Ke depan, mereka akan menerapkan pemesanan tiket secara online, sehingga tiket bisa dipesan melalui telepon pintar.
Pelayanan lain yang tak dimiliki bus lain, yakni adanya shuttle car atau mobil penjemput. Di Yogyakarta, penumpang bisa turun di Terminal Ambarketawang dan naik kendaraan penjemput dengan gratis. Ada dua rute yang dilayani, yakni menuju pusat kota dan Bandara Adisucipto.
Bahkan, demi kenyamanan penumpang, setiap tahun bus yang digunakan selalu diganti dengan yang baru. Bus lama dijual untuk membeli bus yang baru dinilai cukup menguntungkan. Selama ini, mereka menggunakan dua merk yakni Hino dan Mercy, sementara untuk interior atau karoseri, mereka menggunakan Adiputro yang dikenal mahal tapi berkelas.
Syukron menambahkan, perusahaannya tidak akan menambah bus melebihi 60 unit. Dengan tingkat keterisian bus yang selalu mencapai 80 persen, penghematan yang dilakukan tetap bisa menyambung hidup perusahaan yang semakin terdesak oleh moda transportasi lain.
Advertisement