Ogoh-ogoh Bisa Jalan Sendiri, Desa di Bali Ini Tak Membuat Lagi

Ogoh-ogoh bisa jalan sendiri sebelum diarak. Sejak terjadi dua kali, warga di sebuah banjar di Bali ini tak membuat ogoh-ogoh.

oleh Dewi Divianta diperbarui 26 Mar 2017, 19:05 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2017, 19:05 WIB
Ogoh-ogoh Bali
Banjar Peken, Desa Adat Pakraman, Bali tak membuat ogoh-ogoh (Liputan6.com / Dewi Divianta)

Liputan6.com, Denpasar - Ogoh-ogoh tak ada di Banjar Peken Desa Adat Pakraman Renon, Denpasar, Bali. Sebulan menjelang hari raya Nyepi, teruna-teruni (pemuda dan pemudi) di Banjar Peken tidak terlihat sibuk mempersiapkan ogoh-ogoh untuk diarak sehari jelang Nyepi seperti banjar lainnya.

Banjar Peken adalah salah satu dari empat banjar di Desa Pakraman Renon yang tak membuat ogoh-ogoh. Sebab, tiap kali membuat ogoh-ogoh, boneka raksasa itu pasti hidup tiap hendak diarak keliling kota. Maka, sejak tahun 1995 warga di empat banjar ini tidak pernah membuatnya.

Bendesa Adat Desa Pakraman Renon, Made Sutama, membenarkan perihal tersebut. Pada 1986 saat pertama kali ogoh-ogoh di Denpasar mulai diarak keliling kota, ogoh-ogoh milik empat banjar di desa tersebut hidup.

"Ogoh-ogoh itu sebetulnya kreativitas anak muda. Seninya itu ada kaitannya dengan agama Hindu," katanya saat ditemui di Renon, Minggu (26/3/2017).

Pada saat pelaksanaan ogoh-ogoh pertama kali pada 1986 itu, Desa Pakraman yang terdiri dari empat banjar juga membuat ogoh-ogoh.

"Pada saat diupacarai (ogoh-ogoh sebelum diarak diupacarai dulu) pada saat itu ogoh-ogoh itu hidup," kata Sutama

Pada saat diupacarai dan ogoh-ogoh siap diarak, boneka raksasa itu bergerak berjalan. Tak lama, di dua tempat berbeda ada kesurupan. Dari petunjuk kesurupan di dua tempat berbeda itu petunjuknya sama, yaitu tidak diizinkan untuk mengarak ogoh-ogoh.

"Ya, karena pada saat ogoh-ogoh diupacarai, ogoh-ogoh itu hidup. Sehingga yang mengarak itu tidak berani, akhirnya di-prelina atau dibakar kembali, tidak jadi diarak," tuturnya.

Karena penasaran, pada 1995 warga akhirnya memutuskan mencoba kembali membuat ogoh-ogoh. Sebelumnya warga bertanya-tanya kenapa kok tidak diizinkan membuat ogoh-ogoh. Warga membuat ogoh-ogoh, tapi hal yang sama terulang lagi.

"Begitu diupacarai ogoh-ogoh tersebut hidup. Sehingga akhirnya ogoh-ogoh kembali dibakar, tidak jadi diarak," ujar Sutama.

Kelian (kepala) adat Banjar Peken, Nyoman Suala membenarkan peristiwa ogoh-ogoh hidup tersebut. Dia mengaku menyaksikannya saat masih muda.

"Ya, benar ogoh-ogoh di sini. Bukan cuma bergerak, tapi jalan ogoh-ogoh itu. Saat itu saya masih remaja yang akan mengangkat ogoh-ogoh itu untuk diarak," katanya.

Sejarah Desa Tua

Kereta Tuhan Tutup Pawai Ogoh-Ogoh di Yogyakarta
Ada 60 ogoh-ogoh yang mengikuti pawai menyambut Nyepi di Yogyakarta. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Dari hasil kajian Desa Pakraman Renon, daerah tersebut termasuk desa yang usianya sudah tua. Tahun Masehinya 913 Masehi. Tahun Balinya 835 Saka, di mana pada saat itu Raja Bali Kesari Warmadewa.

"Diyakini oleh masyarakat pada saat itu ada seorang pengembara yang sehari-hari beliau itu adalah bertapa, semedi," kata Sutama.

Pertapa tersebut memiliki keturunan dan dari keturunannya itu ada dua cucunya ikut bersemedi. "Namanya adalah Irngan dan Irngin," ucap Sutama.

Sutama menambahkan, dari hasil semedinya tersebut Irngan dan Irngin yang bersemedi itu mendapatkan kekuatan dari Ida Sang Hyang Widi Wasa. Namun, setelah mendapatkan kekuatan itu, ternyata keduanya memiliki perbedaan pendapat.

"Yang satu melaksanakan ilmu hitam dan satunya lagi ilmu putih. Akhirnya terjadi perang, begitu perang perahunya terdampar di pantai selatan," katanya.

 

Pemuka Banjar Bali (Liputan6.com / Dewi Divianta)

Perahu itu adalah jong dan pecahannya adalah belah. Jadi perahu yang terbelah itu disebut Blahanjong. "Nah, itu adalah nama pura pertama kami," tuturnya.

Bidaknya terdampar di Lembongan antara Nusa Penida dan Nusa Lembongan. Karena itu pulau di sana mirip bidak Jukung.

Setelah perang, penduduk makin berkurang di pantai selatan. Begitu ada ikan terdampar, tidak habis dikonsumsi, ini menimbulkan penyakit.

"Hijrahlah penduduk tersebut ada yang ke Renon, Kesiman, ada yang ke Sukawati, Gianyar. ‎Khusus yang hijrah ke Renon membawa seperangkat gamelan perang yang namanya Bery," ujarnya.

Sutama menjelaskan, di antara peralatan gamelan itu ada Gong Bery yang itu sekarang dipakai untuk menabuh pada tarian Tari Baris China.

"Tari Baris China ini yang kesurupan, tidak mengizinkan membuat ogoh-ogoh. Dan sejak kejadian yang kedua tahun 1995 itu, kita sudah tidak buat ogoh-ogoh lagi," tuturnya.

Sebagai penggantinya, api penerangan yang terbuat dari janur yang kering, bisa juga dari obor dengan diiringi bunyi-bunyian. Saat ini yang dipakai gamelan.

"Ada juga bawang merah yang diyakini memiliki nilai spiritual penolak bala. Itu sarana mebuwbuw. Kita saat malam pengerupukan hanya membawa kentongan, obor dan sarana mebuwbuw itu dan bleganjur," ucap Sutama.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya