Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah saat ini masih membahas dan mengkaji rencana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta. Palangkaraya, Kalimantan Tengah, disebut-sebut menjadi kandidat "terkuat" sebagai Ibu Kota Indonesia setelah Jakarta.
Meski begitu, pemerintah juga tengah mempertimbangkan kota-kota lain sebagai alternatif. "Masih studi awal mencari alternatif-alternatif," kata Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/7/2017).
Dia menjelaskan, banyak pertimbangan yang saat ini terus dikaji pemerintah. Ibu Kota baru ini harus lengkap dan berkelanjutan, tidak hanya memenuhi syarat sesaat saja.
Baca Juga
Advertisement
"Kalau ini kan keputusan administratif Presiden memutuskan. Keputusan jangka panjang implikasinya begitu kan. Oleh karena itu, kita sedang cari tempat," ujar mantan Menteri Bappenas itu.
Sofyan memang belum mau mengungkapkan kota mana saja yang sudah mulai dikaji lebih dalam oleh pemerintah. Semua itu masih bersifat alternatif dan dikaji lebih dalam agar dapat tempat terbaik.
"Saya kan juga belum boleh saya umumkan dong, tapi kita sedang cari alternatif, tempat di samping Palangkaraya, tempat yang paling sustainable, yang paling bagus," ujar Sofyan yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tersebut.
Adapun jauh sebelum rencana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta sekarang ini, pemerintah di masa lalu ternyata sudah tiga kali memindahkan Ibu Kota. Berdasarkan informasi yang dihimpun Liputan6.com, dalam catatan sejarah, setidaknya, ada tiga kota atau daerah yang dulu pernah menjadi Ibu kota Indonesia.
Â
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
3 Mantan Ibu Kota
1. Yogyakarta
Pemindahan Ibu Kota pertama terjadi hanya beberapa bulan Indonesia merdeka. Tepatnya pada 4 Januari 1946, Ibu Kota pindah ke Yogyakarta.
Pemindahan pusat pemerintahan ke Kota Gudeg ini bukan tanpa alasan. Saat itu, Belanda melancarkan agresi militer karena masih belum rela Indonesia lepas dari jajahan. Kala itu, keamanan Jakarta sebagai Ibu Kota pun terancam dengan kedatangan tentara Belanda yang membonceng pasukan Sekutu.
Pada 29 September 1945, Jakarta jatuh ke tangan militer Belanda. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII selaku penguasa Yogyakarta mengirim orang ke Jakarta untuk membawa usulan agar Ibu Kota pindah ke Yogyakarta.
Usulan itu disambut baik Presiden Sukarno. Kemudian pada 4 Januari 1946 atau kurang lebih enam bulan setelah merdeka, Ibu Kota resmi pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Apalagi Yogyakarta dikelilingi dua benteng alam, yakni Gunung Merapi di utara dan Samudra Hindia di selatan. Dua benteng alam itu membuat kota ini sulit ditaklukkan.
2. Bukittinggi (Sumatera Barat)
Bukittinggi, Sumatera Barat juga sama dengan Yogyakarta pernah jadi Ibu Kota Indonesia. Pemindahan Ibu Kota ke Bukittinggi itu terjadi pada 19 Desember 1948.
Pemindahan Ibu Kota karena Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda karena agresi militer II --Belanda menyebut sebagai aksi polisional. Saat itu, Presiden Sukarno yang seolah kebakaran jenggot memilih Bukittinggi sebagai Ibu Kota Indonesia di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Pemilihan Bukittinggi sebagai Ibu Kota ini juga bukan tanpa alasan. Sebab, di sana ada Sjafrudin Prawiranegara yang memang disiapkan untuk memimpin PDRI jika para pemimpin pemerintahan tertangkap.
Sama seperti Yogyakarta, Bukittinggi juga dikelilingi oleh benteng alam. Ada Gunung Marapi di barat, Gunung Singgalang di selatan, serta Lembah Sianok di utara dan barat. Benteng-benteng alam ini tentu dapat melindungi Ibu Kota sekaligus pertahanan dari serangan militer musuh.
3. Bireuen (Aceh)
Kemudian ada nama Bireuen, Aceh. Kota ini juga pernah dipilih sebagai Ibu Kota Indonesia pada tahun 1948.
Bireuen dipilih sebagai Ibu Kota Yogyakarta dan Bukittinggi juga karena dianggap relatif aman. Apalagi secara geografis, Bireuen juga dikelilingi perbukitan yang menjadi benteng alam untuk melindungi pusat pemerintahan dari serangan musuh.
Meski begitu, Bireuen menjadi Ibu Kota hanya seminggu. Selama seminggu itu, sejak 18 Juni 1948, seluruh aktivitas dan kegiatan pemerintahan tetap dijalankan dan dipusatkan di jantung kota.
Selama itu, Presiden Sukarno menginap di kediaman Kolonel Hussein Joesoef di Bireuen. Dari rumah itu pula Sukarno atau Bung Karno mengendalikan roda pemerintahan.
Advertisement