BSSN Belum Utuh, Perang Siber di Depan Mata

BSSN belum resmi disahkan akibat struktur organisasi dan susunan tugas pokok dan fungsi yang belum rampung.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 24 Okt 2017, 23:00 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2017, 23:00 WIB
BSSN Belum Utuh, Perang Siber Di Depan Mata
Pakar keamanan siber Indonesia, Pratama Persadha mempresentasikan makalahnya. (foto : Liputan6.com/dok.CISSReC/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Pepres pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sudah ditandatangi sejak Mei 2017, namun sampai saat ini BSSN ternyata tak memiliki struktur. Padahal ancaman siber sepanjang 2017 sangat memprihatinkan, mulai dari wannacry hingga nopetya yang efeknya sangat memprihatinkan.

Melalui surat elektronik kepada Liputan6.com, Selasa (24/10/2017) lembaga keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) menyebutkan bahwa cybercrime terus mengancam masyarakat. Diambil dari makalah pakar keamanan siber, Pratama Persadha, disebutkan bahwa akibat Cybercrime, masyarakat mulai merasakan ancaman ATM mati, listrik mati, bahkan gas sebagai penghangat ruangan juga tidak berfungsi.

"Itu terjadi di negara yang menjadi target perang siber," kata Pratama dalam makalah yang disampaikan saat menjadi pembicara seminar nasional Joint Statement Forum yang diadakan Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” dengan thema "Peningkatan Pertahanan Nasional Indonesia dalam Sektor Siber".

Menurutnya, selain regulasi dan infrastruktur, keamanan dunia siber juga perlu didukung dari sisi pemerintah selaku pemegang kekuasaan. Pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melalui Perpres Nomor 53 Tahun 2017 merupakan langkah awal pemerintah dalam menyikapi isu strategis ini.

"Sayangnya, hingga kini BSSN belum resmi disahkan akibat struktur organisasi dan susunan tugas pokok dan fungsi yang belum rampung. Padahal kita tahu, manusia semakin tergantung pada teknologi teknologi informasi," kata Pratama.

Atas hal ini, keamanan siber harus menjadi prioritas utama negara, sebelum kerugian yang lebih besar terjadi. Hasil riset di CISSReC menunjukkan bahwa potensi ancaman siber pada 2018 akan bertambah besar jika BSSN masih belum efektif berjalan. Sepanjang 2016 saja, biaya kerugian akibat cybercrime secara global mencapai 450 miliar dolar.

"Angka tersebut bisa terus naik bila para warganet, khususnya di kota besar yang banyak terkait dunia usaha dan pemerintah, masih mempunyai kesadaran siber yang rendah. Kelalaian sederhana bisa berakibat fatal," kata Pratama.

Saat ini, tingkat kesadaran siber pengguna internet di Indonesia masih rendah. Pada kasus Wannacry, misalnya, masyarakat cenderung abai terhadap himbauan pemerintah untuk melakukan setting pada PC atau laptop bersistem operasi Windows.

"Berdasar fakta ini dan kenyataan bahwa BSSN belum berjalan, pasti memperbesar peluang serangan siber. Efek selanjutnya, hal ini akan menjadi pertimbangan negatif investor ke tanah air," kata Pratama.

Kasus peretasan website Telkomsel dan tiket.com merupakan contoh kecil rendahnya keamanan siber di Indonesia. Dari kedua kasus itu, sesungguhnya negara bisa belajat bahwa ancaman cybercrime dan perang siber di Indonesia sudah di depan mata.

"Kerugian tak ternilai bisa terjadi bila peretasan berhasil menarget dan melumpuhkan objek kritis sebuah negara, meliputi sistem layanan pemerintahan, layanan gawat darurat, cadangan minyak dan gas, keuangan dan perbankan, transportasi, telekomunikasi, energi listrik, dan sistem pengairan," kata Pratama.

Bahkan ancaman keamanan siber yang sebelumnya hanya dirasakan oleh negara dan dunia usaha, kini dirasakan mulai meluas oleh individu di masyarakat, baik karena serangan [siber](BSSN "") maupun adanya celah keamanan pada sistem.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya