Liputan6.com, Jambi - Provinsi Jambi terletak di tengah Pulau Sumatera. Posisinya diapit gugusan bukit dengan puncak tertinggi adalah Gunung Kerinci di sebelah barat dan dataran rendah gambut di sisi timur hingga bagian pantai.
Kemudian di tengahnya mengalir sungai terpanjang di Sumatera, yakni Sungai Batanghari. Letaknya yang strategis sekaligus subur, menjadikan Jambi banyak dihuni sejumlah kelompok penduduk sejak ratusan tahun lampau. Kelompok-kelompok ini membentuk suku-suku Melayu.
Dari beberapa catatan di Museum Negeri Jambi, salah satu suku tertua di Jambi adalah suku Bathin. Suku Bathin adalah keturunan Proto Melayu atau Melayu Tua. Jejak tempat tinggal suku tertua di Jambi ini masih bisa dilihat hingga saat ini. Yang paling dikenal adalah sebuah perkampungan purba di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Oleh sebagian besar warga Jambi, daerah ini dikenal dengan nama Rumah Tuo (rumah tua) atau Dusun Tuo. Disebut Dusun Tuo karena di perkampungan ini terdapat sekitar 60 rumah tua peninggalan nenek moyang suku Bathin.
Kawasan Dusun Tuo di Desa Rantau Panjang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Bangko, ibu kota Kabupaten Merangin atau sekitar lima sampai enam jam perjalanan darat dari Kota Jambi.
Menuju perkampungan purba di Desa Rantau Panjang serasa kembali ke masa lampau. Deretan rumah penduduk bergaya panggung berderet di sisi kanan dan kiri jalan. Hijau perkebunan karet tua milik warga membuat perjalanan makin terasa segar dan sejuk. Belum lagi diselingi indahnya gundukan perbukitan di sekitarnya.
"Mungkin belum begitu terkenal secara nasional. Namun, beberapa wisatawan lokal maupun asing sudah banyak yang datang ke sana (Dusun Tuo)," ujar Andre (34), salah seorang warga Kota Jambi yang pernah berkunjung ke Rumah Tuo, pertengahan September 2017 lalu.
Saksikan video pilihan berikut:
Â
Â
Pesona Rumah Tuo
Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Merangin, Dedi Darmantias, mengatakan, Rumah Tuo menjadi salah satu andalan wisata di Kabupaten Merangin di samping potensi lainnya, yakni kawasan Geopark Merangin yang tengah diupayakan mendapat pengakuan sebagai warisan dunia dari UNESCO.
"Kita beberapa kali mengadakan trip ke daerah wisata di Merangin. Bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Provinsi Jambi," ujar Dedi di sela-sela pembukaan Festival Geopark Merangin, awal September 2017 lalu.
Gugusan Rumah Tuo terlihat seragam dengan ciri khas panggung terbuat dari kayu. Jenis kayu yang digunakan sebagai rumah adalah kayu besi yang memang terkenal keras, makin tua makin kuat. Jenis kayu ini disebut sudah semakin langka, bahkan di hutan Jambi sekalipun.
Bentuk rumah tampak memanjang ke samping dengan sebuah tangga menyamping di bagian depan. Sebuah pintu masuk dan beberapa jendela dengan ukuran besar. Bentuk rumah tampak sederhana, tapi terlihat kokoh. Terdapat beberapa hiasan ukiran di sejumlah bagian, khususnya dinding rumah.
"Dulu atap Rumah Tuo dari ijuk, namun sekarang diganti seng karena untuk mendapatkan ijuk saat ini sudah sulit," ucap Dedi.
Dari sekian banyak rumah, ada satu rumah yang dijadikan museum suku Bathin. Rumah ini awalnya disebut sebagai tempat tinggal raja. Rumah tersebut ditempati oleh keluarga Iskandar. Iskandar menyebut, rumah tertua di kampungnya berusia hampir 700 tahun.
Halaman rumah milik Iskandar tampak luas. Ini berfungsi sebagai tempat berkumpul warga maupun sebagai tempat menggelar suguhan adat tari semayo (tarian selamat datang) saat ada tamu yang bertandang. Warga Desa Tuo memang dikenal ramah dan menjunjung tinggi nilai budaya gotong royong.
Iskandar yang merupakan keturunan ke-14 Puyan Bungkuk atau pendiri Dusun Tuo ini menceritakan, Rumah Tuo pertama kali dibangun pada masa Kerajaan Koto Rayo sekitar 700 tahun lalu. Rumah dibangun dengan kayu tanpa paku. Hanya menggunakan tali dan pasak.
"Awalnya hanya 19 rumah. Namun semakin bertambahnya warga, jumlah rumahnya bertambah," ujar Iskandar, Januari 2017 lalu.
Menurut dia, penduduk di Dusun Tuo awalnya adalah penganut animisme yang percaya kepada roh halus. Namun, sejak 1600-an, mereka sudah memeluk agama Islam.
Yang menarik, sekalipun tumbuh dan memiliki adat budaya tersendiri, warga Dusun Tuo ini tidak anti terhadap pengaruh atau asimilasi budaya. Sebagian besar mata pencaharian warganya adalah petani karet dan sawah. Sejak beberapa tahun terakhir, Dusun Tuo di Desa Rantau Panjang ini dijadikan sebagai desa wisata oleh Pemkab Merangin. Sejumlah perbaikan fasilitas juga terus dilakukan di sana.
Advertisement
Bangunan Sarat Nilai
Tak hanya umurnya yang tua, Rumah Tuo di Desa Rantau Panjang ternyata sarat akan nilai-nilai sosial masyarakatnya. Untuk masuk ke dalam Rumah Tuo harus membungkuk. Ini karena ketinggian pintu masuknya hanya sekitar satu meter.
"Itu adalah simbol kesopanan dan rendah hati," ucap Iskandar.
Kemudian terdapat ukiran bagian dinding, kayu penopang, dan tiang penyangga rumah. Motif ukiran itu disebut sebagai hiasan keluk paku yang keloknya seakan tidak berujung pangkal. Oleh Iskadar, motif ukiran itu melambangkan semangat berkesinambungan.
Kemudian ada hiasan di bagian tiang penyangga bermotif tali bapilin tigo (tali berikat tiga) yang melambangkan persatuan kaum agama, kaum adat, dan ninik mamak (nenek moyang atau tetua).
Rumah yang sekaligus berfungsi sebagai museum itu terbagi menjadi tiga ruangan. Ruang pertama merupakan tempat pertemuan untuk tamu maupun keluarga. Di ruangan ini juga dipajang sejumlah peralatan suku Bathin, seperti aneka keramik tua, ambung atau keranjang tempat mengangkut hasil pertanian, dan tempat sirih. Lalu ada tempat minum dari labu serta berbagai jenis tempat menaruh barang dari dedaunan yang konon juga merupakan alat untuk mengusir setan.
Selain itu, ada juga dipajang sebuah mushaf Alquran dari tulisan tangan serta kain adat kuno yang tersimpan di lemari kaca.
Di bagian ujung kanan ruang pertemuan terdapat Balai Melintang. Posisinya sedikit lebih tinggi. Pada zamannya, Balai Melintang ini diperuntukkan bagi raja, ninik mamak, dan alim ulama. Kemudian di sisi kirinya terdapat lantai lorong menuju ruangan kedua yang disebut Gaho. Ini diperuntukkan bagi pekerja.
Ruang kedua disebut Mengalam, yakni kamar tidur keluarga. Di ruangan inilah seluruh keluarga beristirahat. Kemudian ruangan ketiga difungsikan sebagai dapur.
Menurut Iskandar, ada perawatan khusus hingga Rumah Tuo bisa tetap kokoh berdiri hingga ratusan tahun. Perawatan tersebut dilakukan dengan memberikan sapuan getah dari pohon ipuh. Oleh warga setempat, getah pohon ipuh dikenal bisa mengusir rayap dan memperkuat bangunan kayu.
"Getah ipuh dicampur air, dan disapukan ke rumah lima tahun sekali," ujar Iskandar.
Iskandar menyarankan, bagi yang ingin berkunjung ke Dusun Tuo agar datang pada hari ketujuh Lebaran Idul Fitri. Saat itu, warga Dusun Tuo berkumpul dan memeragakan Silek Penyudon.
Silek Penyudon adalah adat istiadat yang diperagakan para pria Dusun Tuo sebagai penanda berakhirnya Lebaran dan dimulainya kembali aktivitas warga. Selain berkumpul, warga juga menyajikan berbagai hidangan khas Dusun Tuo, seperti nasi kukai, lepek pucung, gudok memantai dan pakis gulai belut.