Sejak Pagi Melekat di Museum, Mengenal Seluk-Beluk Cokelat Sejati

Museum ini tidak hanya menjelaskan sejarah dan latar belakang cokelat, melainkan juga jenis cokelat dan cara pembuatan serta pengolahan yang tepat.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 16 Feb 2019, 06:06 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2019, 06:06 WIB
museum cokelat monggo
museum cokelat monggo mengedukasi pengunjung soal seluk beluk cokelat termasuk pengolahan yang tepat (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Cokelat nyaris menjadi makanan favorit setiap orang. Rasa manis dan citra cokelat yang identik dengan kebahagiaan, cinta, dan kesenangan juga menjadi daya tarik tersendiri.

Sayangnya, sebagai negara penghasil cokelat terbesar ketiga di dunia, belum banyak orang Indonesia yang memahami seluk beluk cokelat secara detail. Kebanyakan orang hanya suka mengonsumsi cokelat tanpa mengetahui seperti apa cokelat yang sesungguhnya.

"Kebanyakan yang dijual di swalayan atau pasar itu cokelat compound dan itu berbeda dengan cokelat sebenarnya yang berasal dari massa kakao," ujar Tri Widiantoro, koordinator Museum And Factory Chocolate Monggo Bantul, beberapa waktu lalu.

Museum cokelat yang berdiri sejak Januari 2017 ini memberi edukasi kepada masyarakat mengenai cokelat yang sesungguhnya. Lantas, dari mana cokelat sejati itu muncul?

Museum ini tidak hanya menjelaskan sejarah dan latar belakang cokelat, melainkan juga jenis cokelat dan cara pembuatan serta pengolahan yang tepat.

Cokelat yang paling sehat adalah yang mengandung massa kakao paling tinggi, seperti cokelat hitam. Cokelat susu dan putih memiliki nutrisi lebih rendah, sedangkan cokelat compound sama sekali tidak sehat.

Ia menuturkan sebagian besar orang Indonesia tidak tahu jenis kakao. Persepsi yang salah soal cokelat semakin kuat ketika mereka berpikir cokelat rasanya manis dan cokelat diberi nama cokelat karena warnanya yang coklat.

Menurut Tri, petani kakao di Indonesia memilih untuk mengganti pohon kakao dengan tanaman lain karena sering dianggap tidak menguntungkan. Cokelat yang dihasilkan dari biji kakao kurang berkualitas.

"Padahal itu karena pengolahan biji kakao menjadi cokelat yang tidak tepat," ucapnya.

Salah Persepsi Mengolah Cokelat

museum cokelat monggo
museum cokelat monggo mengedukasi pengunjung soal seluk beluk cokelat termasuk pengolahan yang tepat (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Tri bercerita, kebanyakan orang menikmati kakao hanya buahnya saja. Buah dimakan dan bijinya dibuang, padahal biji kakao itulah asal muasal cokelat.

"Kalau pun ada yang mengolah, biasanya hanya dicuci saja bijinya dan berujung pada menghasilkan cokelat berkualitas rendah, karena hanya menjadi bubuk kakao," tutur Tri.

Ia mengungkapkan, mengolah biji kakao harus melewati proses fermentasi. Caranya, memasukkan biji ke dalam kotak kayu yang bagian pinggirnya berlubang. Setelah itu, biji ditutup dengan daun pisang dan didiamkan selama tujuh hari.

Jika proses fermentasi selesai, maka barulah biji kakao dicuci, dibersihkan dari selaput, dan dikeringkan.

"Fungsi fermentasi, mengurangi rasa pahit, meningkatkan rasa cokelat, dan membersihkan selaput putih di biji kakao," ucap Tri.

Setelah biji kakao kering, proses selanjutnya adalah roasting. Cangkang biji dipisahkan dan bisa dimanfaatkan untuk pupuk. Isi cangkang disebut nibs yang biasa digunakan untuk cokelat.

Satu biji nibs mengandung 54 persen cocoa butter. Nibs digiling menjadi kakao liquor yang berbentuk cair. Di sinilah letak perbedaan cokelat dengan kopi. Cokelat dapat meleleh karena mengandung minyak (cocoa butter).

Setelah digiling, nibs yang masih cair disimpan di dalam kotak sampai menggumpal dan menjadi kakao massa.

Kakao massa digiling kembali menggunakan stone grinder. Alat dari batu dipilih karena tidak akan mempengaruhi rasa cokelat. Kakao massa yang sudah digiling, dipress kembali menjadi kakao butter.

"Komposisi kakao butter ditambah kakao massa ditambah gula menjadi cokelat yang siap dikonsumsi," kata Tri.

Ia mengungkapkan cokelat compound bukan cokelat yang sesungguhnya karena menggunakan bahan ampas dari cokelat butter ditambah gula dan minyak kepala sawit. Persentase komposisi tertingginya pun berupa gula.

Belajar Mencetak dan Mencicipi Cokelat

museum cokelat monggo
museum cokelat monggo mengedukasi pengunjung soal seluk beluk cokelat termasuk pengolahan yang tepat (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Museum And Factory Chocolate Monggo didirikan oleh seorang Belgia bernama Thierry Detournay. Sejak 2005, ia berjualan cokelat yang diberi merek Monggo.

Di atas lahan seluas tiga hektare di Sribitan, Bangunjiwo, Bantul ini museum, pabrik, show room, dan kafe cokelat Monggo berdiri. Untuk mencapai lokasi ini tidak sulit, cukup masuk dari Desa Wisata Kasongan menuju ke barat dan memakan waktu sekitar 10 menit.

Untuk masuk ke museum ini sebenarnya gratis. Pengunjung membayar tiket Rp 10.000 dan mendapatkan voucher belanja di show room dengan nominal yang sama.

Tidak hanya berkunjung ke museum ditemani pemandu, pengunjung juga bisa memilih paket aktivitas. Ada dua paket aktivitas yang ditawarkan, yakni creating experiece dan tasting experience.

Creating experience adalah praktik mencetak cokelat. Paket ini dibanderol harga Rp 200.000 untuk 20 keping cokelat dan maksimal diikuti 10 orang. Apabila lebih dari 10 orang, maka setiap orang dikenakan biaya tambahan Rp 20.000.

Untuk paket tasting experience, per orang harus membayar Rp 50.000. Mereka bisa mencicipi beragam jenis cokelat dari awal sampai proses akhir.

Museum ini buka setiap hari kerja mulai pukul 09.00 sampai 17.00 WIB dan akhir pekan mulai pukul 09.00 sampai 19.00 WIB.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya