Siklus Erupsi Gunung Tangkuban Parahu Telat Lima Tahun

Gunung Tangkuban Parahu termasuk gunung tipe A, artinya masih aktif.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 04 Agu 2019, 19:00 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2019, 19:00 WIB
Gunung Tangkuban Parahu
Area Kawah Ratu di kawasan wisata Gunung Tangkuban Parahu menunjukkan aktivitas vulkanologi normal pada Minggu (28/7/2019). (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung Pakar vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman mengatakan, erupsi yang terjadi di Gunung Tangkuban Parahu merupakan erupsi freatik. Erupsi ini disebabkan oleh uap akibat air yang berinteraksi dan terpanaskan oleh magma.

Gunung Tangkuban Parahu mengalami erupsi pada Jumat (2/8/2019) pagi. Menurut laporan dari PVMBG, erupsi freatik juga terjadi pada 26 Juli 2019 sore. Bahkan saat ini, level status gunung tersebut dinaikkan dari level I (normal) menjadi level II (waspada) terhitung sejak 2 Agustus 2019 pukul 08.00 WIB.

Gunung Tangkuban Parahu termasuk gunung tipe A, artinya masih aktif. Di Jawa sendiri terdapat 35 gunung api dan 19 di antaranya tipe A.

Mirzam mengungkapkan, Gunung Tangkuban Parahu memiliki siklus letusan 10 tahunan. Berdasarkan data dan penelitian yang pernah dilakukan, gunung tersebut pernah meletus pada, 1951, 1961, dan 1971.

"Namun terdapat perubahan setelah tahun 1971, harusnya 1981 tapi menjadi meletus pada 1983. Bergeser 12 tahun, namun setelah itu bergeser kembali menjadi hampir 10 tahunan lagi, yaitu 1994 dan 2004," kata Mirzam dinukil dari laman resmi ITB.

Dia menjelaskan, Gunung Tangkuban Parahu terakhir meletus tahun 2004. Jika mengacu pada pola volume dan interval waktunya, maka seharusnya meletus pada 2014. Namun ternyata pada 2013, terdapat erupsi kecil sehingga tahun 2014 tidak terjadi apa-apa.

Setelah itu kemudian terjadi erupsi kecil lagi pada 2015, 2016, dan 2017, 2018 dan terakhir 2019 yang lalu. Mirzam sendiri mengkhawatirkan karena belum ada letusan lagi sejak terakhir 2004. Kendati erupsi freatik, hal ini tetap perlu menjadi kewaspadaan.

"Tapi saya tidak bisa mengatakan bahwa freatik ini tidak apa-apa, terjadi sesaat dan akan berhenti," katanya.

Dosen dari Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB ini menjelaskan, gunung yang berada di antara Kabupaten Subang dan Bandung Barat tersebut memiliki potensi untuk mengalami letusan karena secara interval waktunya sudah telat lima tahun.

Namun dia berharap, letusan-letusan kecil yang terjadi sebelum dan sesudahnya, itu bisa mengurangi akumulasi energi yang terkumpul.

"PVMBG sendiri sudah mengamati aktivitas dengan benar. Sudah diamanati dengan peralatan seharusnya, misalnya dilihat perubahan seismisitasnya, perubahan temperatur, perubahan bentuk tubuh gunung api dan bacaan gas. Itulah yang dimaksud dengan prediksi jangka pendek yaitu dengan cara peningkatan status atau level," ujarnya.

Letusan freatik yang terjadi beberapa waktu lalu, tidak berbahaya karena jarak vertikalnya pun hanya 200 meter. Hal itu disebabkan karena musim kering sehingga volume air yang terpanaskan sedikit. Namun jika dalam jumlah besar, erupsi freatik tetap saja berbahaya.

"Yang saya lakukan adalah prediksi jangka panjang yang caranya ialah dengan mengetahui berapa interval waktu rata-ratanya. Jadi kalau misalnya kalau sekarang sering batuk-batuk tapi memang belum waktunya ya itu relatif aman. Tapi kalau harusnya dari 2014 belum meletus sampai 2019 maka harus hati-hati sekali," kata Mirzam.

Kendati demikian, Mirzam mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir berlebih dan hendaknya mengikuti anjuran dari PVMBG. Selain itu, mereka juga harus melakukan self mitigasi, yaitu mengetahui tanda-tanda awal atau perubahan yang terjadi pada gunung api.

Menurutnya, gunung api mengeluarkan tanda-tandanya secara alami jika mengalami peningkatan aktivitas. Misalnya, ada peningkatan kegempaan, itu artinya magma sedang bergerak ke permukaan, perubahan suhu di kawah jika semakin panas berarti ada magma yang bergerak, mata air kering, dan perilaku binatang yang berubah.

"Nah harapannya, masyarakat itu bisa mengetahui tanda-tanda alam tersebut selain mengikuti anjuran dari pemerintah," ujarnya.

Simak Video Pilihan Berikut Ini

Relasi dengan Sesar Lembang

Pos Pengamatan Gunung Api
Petugas pos pengamatan gunung api Gunung Tangkuban Parahu selalu bekerja 24 jam memantau aktivitas vulkanik. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Selepas kejadian erupsi freatik, banyak yang mengaitkan dengan kondisi tersebut dengan sesar atau patahan Lembang. Namun Mirzam menegaskan, belum pernah ada di dalam sejarah, gunung api bisa membangkitkan gempa tektonik dari patahan atau sesar.

Dia menjelaskan, gempa adalah pelepasan energi yang tiba-tiba. Jenisnya ada empat, yaitu gempa tektonik karena pergerakan lempeng atau patahan, gempa terban dari runtuhan gua dan lain-lain yang skalanya lokal, ketiga gempa karena tumbukan meteorit yang memiliki skala global, dan ketiga gempa vulkanik karena bergeraknya magma ke permukaan.

"Gunung api itu menimbulkan gempa vulkanik, tapi tidak pernah ada sejarahnya gempa vulkanik mengaktifkan sesar atau lempeng tektonik," ujarnya.

Namun jika sebaliknya, gempa tekntonik memicu gunung meletus, sangat bisa terjadi. Mirzam memberikan dua contoh kasus. Pertama pada 1707 di Jepang, saat gempa besar menghantam dengan kekuatan 8,6 magnitudo, memudian Gunung Fuji ikut meletus.

"Kenapa terjadi demikian, karena Fuji sudah masuk siklusnya waktu itu," katanya.

Sementara contoh kedua, ialah Gempa Lombok. Pada saat itu, Lombok diguncang gempa berulang kali, akan tetapi Gunung Rinjani tidak bergeming karena memang belum interval waktunya untuk meletus.

"Interval waktu meletus Gunung Rinjani itu 26 tahunan, terakhir meletus 1994, artinya baru tahun 2020 Rinjani akan menyapa," kata Mirzam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya