Kisah Jein Taruh, Bertaruh Nyawa Jadi Guru di Perbatasan Filipina

Jein Taruh, guru wanita di perbatasan Filipina harus bertarung melawan gelombang laut jika ada keperluan yang harus diurus ke ibukota kabupaten.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 25 Nov 2019, 16:00 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2019, 16:00 WIB
Kisah Guru di Perbatasan
Sudah 10 tahun Jein mengabdikan diri menjadi guru di pulau terpencil Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. (Liputan6.com/ Yoseph Ikanubun)

Liputan6.com, Talaud - Sudah 10 tahun Jein mengabdikan diri menjadi guru di pulau terpencil Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Bagi perempuan bernama lengkap Jein Irene Taruh, menjadi guru di perbatasan punya tantangan tersendiri. Jumlah siswa yang sedikit ditambah mahalnya transportasi jadi tantangannya, apalagi dirinya harus menghadapi gelombang laut yang tidak bisa diprediksi.

Bukan tanpa alasan alumnus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Negeri Manado (Unima) bersedia  mengajar di pulau terluar, di SMP Negeri 4 Lirung, Kecamatan Kalongan, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara.

Jein menuturkan, dirinya lahir dan besar di dataran Dumoga, Kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara. Darah sebagai putri daerah Talaud yang mengalir dari sang ayah membawanya untuk datang mengabdi di daerah leluhurnya itu.

"Saya mengajar di sekolah ini sesuai dengan Surat Keputusan penempatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah mulai Maret 2009," ungkap Jein, guru Matematika lulusan 2008 itu.

"Suka dukanya memang terasa di awal bekerja. Transportasi dan biaya hidup sehari-hari yang mahal. Belum lagi di sekolah jumlah siswa yang sedikit untuk pemenuhan kebutuhan rombongan belajar dalam mencapai target 24 jam pelajaran," sambungnya.

Wanita kelahiran Mogoyunggung, Kabupaten Bolmong, 2 Januari 1982 ini juga mengisahkan bagaimana harus menempuh laut yang bergelombang jika ingin mengurus keperluan ke ibukota kabupaten.

"Apalagi lautan yang sewaktu-waktu cuacanya berubah-ubah," ujarnya.

Cuaca ekstrem merupakan suatu kendala besar baginya yang memang tidak terbiasa dengan kondisi daerah kepulauan. Apalagi jika harus kembali ke ibukota Provinsi Sulut, bisa menghabiskan waktu 12 jam perjalanan, dengan menggunakan kapal laut.

"Seiring berlalu waktu, semuanya itu sudah terbiasa," ujarnya.

Menjadi guru di pulau terpencil, dengan berbagai kendala yang dialami ternyata tidak menyurutan tekad Jein untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak kepulauan.

"Bahagia mengajar anak-anak yang polos dan lugu, yang baru sedikit tersentuh modernisasi dan gaya hidup masa kini. Saya akbrab dengan mereka, tidak ada jarak yang memisahkan, layaknya orang tua dan anak. Punya masalah dibicarakan bersama sehingga dapat mencari solusi bersama. Dan itulah kami berada di sini,” paparnya.

Lingkungan kerja yang nyaman, jauh dari kebisingan dan polusi juga membuat dia semakin mencintai daerah pengabdiannya. Jein mengaku sampai saat ini masih ingin bertahan di Talaud. Apalagi anggota keluarga berada bersamanya. Suaminya mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik, sementara anak-anaknya juga bersekolah di Talaud.

"Saya bahagia di sini dengan mereka yang sudah saya anggap keluarga sendiri. Saya merasa nyaman, bukan hanya di sekolah, tapi juga dalam hidup bermasyarakat. Penduduk yang ramah yang mau menerima bahkan suka berbagi dengan kami," tutur Jein.

Jein, sama halnya dengan guru-guru di perbatasan dan kawasan terpencil lainnya, hanya berharap ada perhatian lebih dari pemerintah pusat. Terlebih soal fasilitas belajar-mengajar yang masih minim, mulai dari kurangnya buku pelajjaran, alat praktikum, hingga ketiadaan laboratorium komputer. 

"Sekolah kami belum memiliki lab komputer. Kami berharap ada perhatian dari pemerintah untuk kami di daerah kepulauan," kata Jein menambahkan.

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya