Forum Gajah Sebut Pembunuh Gajah di Riau dan Aceh Masih Satu Kelompok

Kematian dua gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) secara beruntun di Riau dan Aceh pada November ini membuat Forum Gajah Indonesia prihatin.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Nov 2019, 21:00 WIB
Diterbitkan 29 Nov 2019, 21:00 WIB
Gajah Berusia 25 Tahun Ditemukan Mati Keracunan di Aceh
Petugas dan dokter hewan dari lembaga konservasi Aceh memeriksa gajah betina yang ditemukan mati karena keracunan di Desa Semanah Jaya, Aceh Timur, Kamis (21/11/2019). Bangkai gajah betina berusia 25 tahun itu ditemukan di sebuah perkebunan kelapa sawit pada hari ini. (CEK MAD/AFP)

Liputan6.com, Pekanbaru - Kuat dugaan dua kasus pembunuhan gajah sumatra di Riau dan Aceh dilakukan oleh kelompok yang sama. Hal tersebut setidaknya diungkapkan Wishnu Sukmantoro dari Forum Gajah Indonesia.

"Biasanya kalau ada satu kasus mereka berhasil, cepat ke yang lain. Tak lama di Aceh (gajah) mati juga, biasanya mereka begitu," katanya, seperti dikutip laman Antara, Jumat (29/11/2019).

Hal itu dikatakannya menanggapi kematian dua gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang terjadi secara beruntun pada November ini di Riau dan Aceh. Kedua satwa dilindungi tersebut mati akibat perburuan gading gajah. Pelaku pembantai gajah sumatra itu hingga kini masih berkeliaran.

Ia mengatakan kejadian serupa yang pernah terdeteksi terjadi pada 2010 dan 2016. Pada 2010, kelompok pemburu gading mengeksekusi gajah di Riau, Aceh sampai Lampung. Kemudian pada 2016 juga sama dua titik di Riau, yakni di Kabupaten Bengkalis dan Pelalawan. Namun, kelompok terakhir yang disebut sebagai kelompok Fadli, berhasil diringkus.

"Proses eksekusinya sama, artinya mereka juga. Motif mereka begitu, tidak hanya satu titik, dua titik. Kalau berhasil eksekusi hari ini, pasti lima hari kemudian eksekusi di tempat lain," ujarnya.

Sukmantoro yang pernah menjabat manajer program WWF Sumatera Tengah ini mengatakan, setidaknya ada tiga kelompok pemburu gading gajah di Riau dan Jambi. Mereka secara spesifik mengincar gading gajah, dan bisa beroperasi sampai ke Aceh dengan melibatkan oknum kepala desa.

Menurut dia, kelompok pemburu biasanya terdiri dari pemodal, satu orang penembak selaku eksekutor. Mereka mengumpulkan gading dan tidak menjual langsung, melainkan melalui perantara (broker).

"Mereka tidak jual langsung," katanya.

Ia mengatakan dalam jaringan perdagangan tersebut ada penampungnya di Jakarta. Penampung tersebut tidak hanya membeli gading, tapi semua hal yang berkaitan dengan satwa langka seperti kulit harimau. Selain itu ada satu penampung besar yang berlokasi di Malaysia.

"Itu yang penampung besar jual sampai Thailand, termasuk kulit-kulit harimau," katanya.

Ia mengatakan solusi untuk mencegah perburuan gajah adalah memperketat pengawasan kawasan, apalagi dua kasus di Riau dan Aceh terjadi di dalam konsesi perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri.

Ketika ada satu kasus pembunuhan gajah bisa cepat diketahui, maka pergerakan kelompok tersebut bisa dilacak dan diblok.

"Tapi kasus yang di Riau terlambat diketahui, karena gajah sudah mati lima hari," ujarnya.

Selain itu, pemegang izin konsesi juga harus memperketat semua orang yang keluar-masuk dan melarang semua jenis perburuan. Ia mengatakan pemburu kini lebih lihai karena menggunakan mobil minibus dan menyembunyikan gading di kolong kendaraan. Pemburu juga kerap berkedok sebagai anggota persatuan penembak, dan menggunakan koneksi ke jajaran manajemen tertinggi untuk bisa masuk ke dalam konsesi.

"Kenapa kelompok (pemburu) ini masih ada, ya karena uang. Ketika mereka berhasil jual (gading), dengan hanya dihukum dua tahun enam bulan kalau tertangkap, mereka masih bisa makan dipenjara," katanya.

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya