Nelayan-Nelayan Lokal Bisa Turut Menjaga Kedaulatan di Natuna, Bagaimana Caranya?

Aktifitas nelayan-nelayan lokal bisa membantu pemerintah mempertahankan kedaultan negara di ZEE Natuna.

oleh Abelda RN diperbarui 09 Jan 2020, 13:33 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2020, 13:33 WIB
Kapal Nelayan Natuna
Kapal nelayan Natuna. (Dok. Ajang Nurdin)

Liputan6.com, Jakarta Ketegangan sempat meningkat di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Natuna, Kepulauan Riau, beberapa waktu terakhir. Kapal nelayan dan coast guard China masuk wilayah Indonesia itu.

“Itu akibat perairan di ZEE Natuna kosong,” sesal Pengamat Transportasi Darat dan Laut Bambang Haryo Soekartono, Kamis (9/1/2020).

Bambang mengatakan, perairan ZEE Indonesia minim aktifitas kapal tangkap nelayan Indonesia. Pemerintah melarang aktiftas kapal nelayan ukuran 150 GT yang dianggap menimbulkan kerusakan lingkungan.

“Kebijakan tersebut membuat perairan ZEE, Natuna kosong sehingga kapal China dengan leluasa masuk,” kata mantan anggota DPR RI ini.

Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Dirjen Tangkap melalui SE No D1234/DJPT/PI470D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)/SIPI/SIKPI. Peraturan ini membatasi aktifitas kapal nelayan tanah air.

Akibatnya ribuan kapal nelayan dengan GT diatas 150 GT tidak boleh beroperasi. Kapal kapal bertonasi besar ini mangkrak di Muara Baru, Muara Angke, Indramayu, Pekalongan, Pati, dan Banyuwangi.

“Sementara kapal-kapal kecil tidak mampu mencapai perairan ZEE. Tidak mampu menghadapi gelombang yang besar. Kemudian, efisiensi daya angkut hasil ikan yang tidak visible dari sisi teknis dan ekonomis dibandingkan biaya operasional,” ujarnya.

Sehubungan itu, Bambang meminta pencabutan aturan yang membelenggu aktifitas nelayan lokal. Menurutnya, aktifitas nelayan ini membantu pemerintah mempertahankan kedaultan negara di ZEE Natuna.

“Mereka juga bisa turut serta mengamankan dan menjaga laut kita dari kapal-kapal asing,” tuturnya.

Bambang juga mengkritik larangan penggunaan alat tangkap ikan cantrang, pukat, dan troli kecil (jaring aktif). Para nelayan akhirnya beralih menggunakan gilnet (jaring pasif).

“Penggunaan gilnet mengganggu jalur pelayaran dunia seperti Laut Natuna. Sebaran jaring mencakup radius 10 kilometer. Ini dapat mengganggu dan membahayakan kapal-kapal di jalur internasional,” paparnya.

Ia mencontohkan, nelayan dari negara Vietnam, Tiongkok dan lain-lain masih menggunakan pukat karena adanya larangan penggunaan Gillnet di alur pelayaran internasional.

Bambang mendukung Menteri KKP Edhy Prabowo mencabut regulasi menyulitkan industri perikanan Indonesia.

“Utamanya bagi masyarakat nelayan kecil demi mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya bertujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan,” tegasnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya