Belajar dari Bahri Asyik, Dunia itu Tempatnya Bercanda Kawan

Hati yang ringan memudahkan siapa pun menemukan kejenakaan dalam setiap kesulitan.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 18 Feb 2020, 18:00 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2020, 18:00 WIB
Taman Desa
Taman ini milik Desa Pakong, Modung. Di Kabupaten Tidak banyak desa punya taman.

Liputan6.com, Bangkalan - Jika sebuah nama adalah doa, Bahri Asyik termasuk orang yang menjalani hidup sesuai makna dalam namanya.

Meski untuk makan hari ini harus dicari hari ini, pria 45 tahun ini menjalani semua itu dengan asyik. Dan agar tetap asyik di saat sulit, kata Bahri, kuncinya ada dalam hati. Hati yang ringan katanya, memudahkan siapa pun menemukan kejenakaan dalam setiap kesulitan.

Menjadi pengangguran dengan 7 orang anak, memaksa Bahri menjadi sosok ayah yang panjang akal.

Pernah suatu kali, anak bungsunya merengek minta jajan, sementara tak sereceh pun uang di sakunya. Ia robek secarik kertas dan menuliskan sesuatu.

"Ini bawa ke warung, pasti kamu dapat jajan" kata Bahri.

"Mana bisa, kertas jadi jajan," jawab si anak tak percaya.

"Percayalah sama bapak, sana ke warung,"

Berbekal kertas itu, si anak bergegas ke warung dekat rumah. Sejurus kemudian dia pulang dengan senyum mengembang, tentu dengan aneka jajan di genggaman. "Bapak hebat," kata si anak.

Rupanya di kertas itu, Bahri menuliskan kalimat ini ke pemilik warung. "Tolong berikan dulu anak saya jajan, saya belum punya uang, kasihan dia".

Hidup Jenaka

Bahri Asyik
Bahri Asyik (kemeja batik) menunjukkan buku yang dia jual. Buku tentang sejarah ulama di Madura.

Di Pakong, sebuah desa tandus padat penduduk di Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, tempat kini Bahri tinggal. Pria 42 tahun ini amat populer hingga ke desa tetangga.

Ketika namanya disebutkan, yang meluncur dari mulut orang-orang yang kenal adalah kisah sesosok pria dengan hati yang lempeng dan jalan hidupnya yang jenaka.

Ahmat misalnya bercerita, Bahri pernah jadi bahan tertawaan warga sekampung karena berjalan di tempat umum hanya mengenakan kolor di siang bolong. Rupanya, semua pakaian yang dipakai, mulai dari kopiah, baju dan sarung sold out alias laku terjual hari itu.

"Anda pasti tak akan mampu melakukan apa yang dilakukan Bahri," kata teman Bahri itu. Ketika diingatkan lagi insiden itu Bahri hanya cekikikan tiada henti.

Bahri mengibaratkan badannya seumpama sebuah manekin berjalan. Maka pakaian yang ia pakai adalah pajangan. Bila ada yang tertarik dan cocok harga Bahri tak akan berfikir dua kali untuk melegonya.

"Saya kalau ingin jual barang, harus saya pakai. Kalau gak dipakai, susah laku," katanya.

Semenjak insiden kolor itu, Bahri selalu mengenakan baju berlapis saat ke luar rumah. Agar kalau ada yang laku, masih ada pakaian untuk menutupi badannya. "Agar istri dan anak-anak saya gak malu," tuturnya.

Berdamai dengan Takdir

Sunan Cendana
Seorang tukang becak sedang menunggu penumpang di pintu masuk menujuk makam Sunan Cendana Bangkalan. Sunan cendana termasuk salah satu penyebar islam pertama di Bangkalan.

Dalam lubuk hatinya, Bahri ingin bekerja seperti orang kebanyakan. Aneka usaha sudah ia coba namun gagal semua. Maka dia memilih berdamai dengan takdir, mungkin profesi marketing yang out of the box itu sudah menjadi suratan hidupnya.

Bahri tak butuh modal. Stok dagangan ia dapat lewat hibah. Rupanya, teman-teman sepesantren Bahri, banyak yang sukses. Ada yang berbisnis, jadi politisi sebagian jadi pejabat pemda. Dari merekalah Bahri mendapat baju, sarung, sandal hingga jam tangan second berkualitas sehingga masih laik pakai dan berharga mahal.

Dan para temannya pun mafhum belaka, semua pemberian itu suatu saat pasti akan dijual oleh Bahri demi membiayai sekolah ke 7 anaknya, dan juga agar tungku dapurnya tetap ngebul.

"Banyak juga, orang meminta barangnya saya yang jualkan karena dijual sendiri tak laku," ungkap Bahri.

Dan agaknya, para pelanggan mau membeli barang yang ditawarkan Bahri, kebanyakan bukan karena butuh melainkan karena iba dengan kondisi ekonomi keluarga Bahri.

Konon, Kepala Desa Pakong sampai menjadi kolektor jam tangan dengan jumlah 25 buah dan semuanya dibelinya dari Bahri.

"Di rumah, tiba-tiba ada sound aktif. rupanya itu punya Bahri, ditawarkan ke ibu saya. Sama ibu dibeli walau tak butuh. Kasihan lihat Bahri katanya," tutur Zuhud, karib Bahri.

Pandai Membaca Peluang

Rujak Pakong Madura
Desa Pakong di Bangkalan juga terkenal karena rujaknya. Warung rujak rata-rata adalah rumahan. Karena buka 24 jam.

Di luar hidupnya yang serba bondo nekat itu, Bahri memang seorang yang pandai membaca peluang. Pertemuan saya dengan Bahri adalah sebuah ketidaksengajaan.

Kebetulan Saya ke Desa Pakong untuk ziarah ke makam seorang ulama Bujuk Mukiman, salah satu penyebar Islam di sana dan masih keturunan Sunan Cendana Kwanyar.

Di sebuah bengkel, di seberang makam. Teman yang mengantar saya, menyapa seseorang di bengkel itu. Dialah Bahri. Yang kemudian menawarkan diri mengantar ke pusara Bujuk Mukiman.

Selesai berdoa, kami Mengobrol sejenak. Saya kagum padanya karena tahu seluk beluk Kiai Mukiman. Katanya, dia tahu karena punya buku sejarah para bujuk di Madura. Dan sudah hatam membacanya. Kalimat berikut ini yang tak saya duga sama sekali: “kalau sampean mau, saya jual bukunya, cuma 25 ribu.”

"Sebenarnya harga aslinya 40 ribu, tapi karena ada bekas terbakar obat nyamuk, 25 ribu saja," ujar Bahri.

"Kalau mau, saya ambil di rumah," kata saya sambil mengangguk.

Tak lama berselang dia sudah nongol di bengkel tadi dan jual beli terjadi. Ketika saya membuka sampul, di halaman pertama buku tertulis nama “Alwi Bahri”. Kata Bahri itu adalah nama anaknya, itu juga berarti, buku itu milik anaknya.

"Gak apa-apa, dia sudah mengerti, kalau buku tak ada di rumah, pasti dijual. Toh untuk bayar sekolahnya juga," jawab Bahri.

Sejuta Akal

Sunan Cendana
Seorang peziarah sedang berdoa di depan pusara Sunan Cendana.

Punya 7 orang anak - tiga di pesantren dan sisanya masih SD- tahun ajaran baru adalah 'neraka' bagi Bahri bila tak punya uang. Tapi ia tak pernah mau mengeluh di depan mereka.

Pernah suatu kali, saat tiba waktu anak-anaknya kembali ke pesantren dan tak punya uang. Bahri tetap berangkat. Di tengah jalan munculah ide, dia bawa anaknya pamit door to door ke semua warga di desa Pakong dan Alaskokon.

Tiap rumah yang diketuk memberi 10 atau 20 ribu sebagai sangu, setelah dihitung terkumpul total uang Rp3 juta, jumlah yang cukup untuk biaya ketiga anaknya balik ke pesantren.

"Karena semua orang dipamiti, berangkat jam 6 pagi, sampai ke pondok baru jam 6 sore," katanya sambil tertawa.

Untuk kebutuhan SPP bulanan, Bahri tak kehabisan akal bila sedang tak punya uang. Sebelum ke pesantren menjenguk anaknya, ia akan mampir ke rumah teman-teman sekolahnya yang kini jadi pejabat dan politisi itu.

Bila Bahri sudah muncul di pintu, mereka sudah tahu, dia sedang butuh biaya untuk anaknya dan hampir pasti selalu dibantu. "Paling mereka bilang, jangan sering-sering," katanya sambil tertawa bahagia.

Dan ketabahan Bahri itu berbuah. Anak-anaknya mayoritas punya suara merdu dan pandai qiroat. Di bulan-bulan tertentu dalam penanggalan hijriyah, undangan untuk mereka full. Dan saat momen itu tiba, Bahri pun alih profesi menjadi manager bagi anak-anaknya. Seorang diantaranya bahkan pernah juara MTQ tingkat provinsi.

"Kalau ada yang ngundang dan kebetulan kepepet uang. Honornya kadang saya minta duluan, padahal undangannya masih dua bulan lagi," kenang Bahri sambil tertawa dan terdengar geli sekali.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya