Liputan6.com, Jambi- Di sebuah teras rumah panggung di Desa Muara Jambi, Maryani (24) duduk di sebelah anaknya yang berusia empat tahun. Raut muka ibu rumah tangga itu tampak lesu. Dia menatap gunungan batu bara di tempat penumpukan (stockpile) batu bara yang berada di seberang sungai Batanghari.
"Ado debu batu bara?," tanya Ridho Saputra, ketua Pemuda Peduli Lingkungan Desa Muara Jambi ketika bertandang di rumah Maryani.
"Belambun (banyak) nempel di lantai," jawab Maryani, seorang ibu rumah tangga sembari menunjukan telapak tangannya yang hitam setelah mengusap lantai papan rumahnya.
Advertisement
Baca Juga
Siang itu, matahari sedang tinggi-tingginya ditambah deru angin, membuat Maryani khawatir. Debu hitam yang berasal dari aktivitas bongkar muat di lokasi penumpukan batu bara itu sering kali sampai ke rumahnya dibawa hembusan angin.
Maryani kini hanya bisa pasrah. Anaknya yang masih kecil kerap sakit akibat sering menghirup debu batu bara yang berasal dari stockpile di seberang sungai Batanghari di Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi.
"Pernah sampai tigo bulan anak sayo batuk dak pernah sembuh, kalau ado angin debunya melayang," ujar Maryani kepada Liputan6.com, Senin 24 Agustus 2020.
Saat musim kemarau aktivitas warga di Desa Muara Jambi, desa yang terdekat dengan kompleks percandian Muarajambi, selalu dihadapkan pada masalah debu batu bara. Aktivitas perusahaan tak hanya membuat polusi udara buruk, debu hitam itu juga sampai masuk ke dapur rumah warga.
Terkadang debu hitam batu bara itu juga menempel di peralatan dapur dan pakaian yang dijemur di luar. Juga saat anaknya main di lantai membuat kondisi pakaiannya hitam. Maka ia, harus betul-betul menjaga tempat makanan dan berulang kali membersihkannya.
"Lantai baru nyapu tadi, ini sudah hitam lagi, harus dibersihkan terus kalau dak tu hitam parah. Pintu kalau ditutup tetap bae debunyo samo anginnyo masuk, debu juga nempel di gelas dan tudung nasi," kata Maryani.
Kondisi yang sama juga dirasakan warga di Desa Muara Jambi lainnya. Zalmiati (42) turut dihadapkan nestapa pelik ini. Ia menunjukan serpihan debu hitam yang menempel di sela jendela dan lantai papan rumahnya.
Zalmiati mengatakan, kondisi debu batu bara di kampungnya berlangsung sudah lama. Saat musim kemarau tahun ini, Zalmiati masih mengeluhkan debu hitam. Air yang ditampung di bak juga terkena imbas debu batu bara, kondisinya hitam.
"Kalau musim kemarau macam ini angin kuat debu banyak yang kesini, sehari itu dak terhitung lagi berapo kali nyapu," kata Zalmiati, seorang ibu rumah tangga.
Akibat polusi yang ditimbulkan dari aktivitas penumpukan batu bara, warga mengaku belum pernah menerima kompensasi atau santunan untuk biaya berobat. Zalmiati masih ingat perusahaan stockpile batu bara yang beraktivitas di seberang rumahnya hanya memberikan bantuan sembako.
"Pernah kami satu rumah, batuk semua satu bulan dak sembuh-sembuh, itu pas kemarau tahun kemarin, sudah tigo kali suntik dak sembuh," ujarnya.
"Batuknyo berdahak hitam, memang bahaya. Kalau perusahaan lagi muat itu debunya nampak ke sini semua," sambung Zalmiati.
Sementara itu, dalam sebuah makalah menulis dampak batu bara terhadap lingkungan. Batu bara telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, baik itu air, tanah, dan udara.
Aktivitas penambangan batu bara, menyebabkan polusi udara. Partikel debu hasil dari aktivitas batu bara sangat berbahaya bagi kesehatan. Kondisi itu dapat menyebabkan timbulnya penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA).
"Dan dalam jangka panjang jika polusi batu bara terus dihirup akan menyebabkan kanker paru-paru, dan kemungkinan bayi lahir cacat," demikian artikel tentang pertambangan batu bara yang berjudul "dampak dan solusi"
Simak juga video pilihan berikut ini:
Sudah Belasan Tahun
Perkampungan kuno di tepi sungai Batanghari itu masih dihadapkan gunungan batu bara. Jarak antara kawasan penumpukkan batu bara dengan perkampungan warga hanya dipisahkan sungai Batanghari.
Gunungan batu bara itu terlihat jelas menumpuk di seberang sungai Batanghari, Desa Muara Jambi. Sesekali kapal tongkang yang membawa muatan batu bara, berjalan pelan di depan rumah warga di tepian sungai Batanghari.
Sesekali kapal tongkang juga terlihat bersandar di tepian Batanghari. Dengan menggunakan conveyor system, batu batu bara dimuat ke kapal tongkat dari lokasi penumpukan yang berada di sempadan sungai.
Aktivitas penumpukan batu bara itu telah berdampak pada warga di Desa Muara Jambi. Desa ini merupakan desa ring satu yang berada di kompleks percandian Muarajambi.
Menurut penuturan warga, stockpile batu bara di Desa Muara Jambi telah beraktivitas sejak periode Bupati Muara Jambi Burhanuddin Mahir tahun 2006. Kemudian terus berlanjut hingga kepemimpinan Bupati Masnah Busro, aktivitas penumpukan batu bara di kawasan itu semakin ramai hingga tahun 2020.
Artinya sudah 15 tahun sampai sekarang, aktivitas penumpukan batu bara itu masih beroperasi dan menimbulkan kerugian bagi warga. Debu batu bara itu juga berdampak pada pelestarian Candi Muarajambi yang telah ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya peringkat nasional itu.
Kepala Desa Muara Jambi Abu Zar AB mengatakan, terdapat tiga rukun tetangga (RT) yang paling berdampak debu batu bara. Ketiga RT itu, yakni RT01, 02, dan 03 yang paling terdampak karena sangat dekat dengan lokasi lapangan penumpukan batu bara.
Adapun sekitar 250 kepala keluarga di Desa Muara Jambi yang paling berdampak debu batu bara. Menurut Abu Zar, di lokasi penumpukan batu bara itu tak hanya satu perusahaan yang perusahaan yang beroperasi.
Khusus di desanya kata Abu, terdapat lima perusahaan stockpile batu bara yang beroperasi.Tak hanya mengganggu aktivitas warga, keberadaan perusahaan penumpukan batu bara itu juga mengancam kelestarian candi Muarajambi.
"Debu batu bara sudah jelas berterbangan di desa kami. Tidak ada solusi, padahal sudah nampak buktinya, lantai rumah warga hitam debunya nampak," ujar Abu Zar.
Awal pekan lalu, Pemerintah Desa memanggil salah satu perusahaan stcokpile yang beroperasi. Pihak Pemdes ingin meminta solusi konkrit tentang permasalahan yang dihadapi warga desa.
PT Tegas Guna Mandiri (TGM), salah satu perusahaan penumpukan batu bara, datang menemui pemerintah desa. Perusahaan datang diwakili pejabat perusahaan bagian legal dan hukum.
Dalam pertemuan itu, perusahaan mengklaim telah memperhatikan tata kelola lingkungan agar debu batu bara tidak sampai ke perkampungan warga. Perusahaan juga mengklaim saat musim kemarau seperti ini mereka beraktivitas muat batu bara pada malam hari.
"Kita juga sudah mengadakan conveyor yang otomatis supaya debunya tidak kemana-mana, ditambah lagi penyiraman. Jadi dampak-dampak debu bisa dikurangi," ujar JA Ginting, pejabat bagian legal dan hukum PT TGM.
Advertisement
Pembiaran
Lapangan penumpukan atau stockpile batu bara menjadi ancaman nyata bagi penduduk desa yang bermukim di ring satu kompleks percandian Muarajambi. Ancaman sudah ada di depan mata, tapi pemerintah daerah terkesan tutup mata.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Rudiansyah mengatakan, Desa Muara Jambi merupakan desa dengan populasi penduduk yang banyak. Kondisi ini menurut Rudi, sudah berlarut dan tidak ada solusi dari pemerintah.
Padahal lanjut Rudi, sudah jelas secara visual kegiatan perusahaan penumpukan batu bara sudah dipastikan berdampak pada ekosistem sungai dan warga di sekitarnya. Kemudian aksesibilitas ekonomi dan kebutuhan udara bersih yang dibutuhkan warga juga terganggu.
"Pasti ini ada pembiaran dan pengabaian, seakan-akan mereka (pemerintah) menutup mata, padahal jelas dampaknya sudah ada," ujar Rudi.
Menurut Rudi, permasalahan penumpukan batu bara yang telah berdampak terhadap warga, kepala daerah mesti turun langsung. Kewenangan itu kata Rudi, sudah jelas karena perangkat di bawahnya tidak berfungsi menyelesaikan dampak dari debu batu bara yang praktis terjadi setiap tahun.
"Harus bupati yang turun tangan untuk eksekusi menyelesaikannya, karena kewenangannya jelas," kata Rudi.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Muaro Jambi Firmansyah mengklaim telah meninjau kegiatan perusahaan penumpukan batu bara itu. Perusahaan diminta mengatur posisi penumpukan batu agar tidak berlawanan dengan arah angin.
Kemudian dalam kegiatan loading (pemuatan) pihaknya memerintahkan agar perusahaan menggunakan convayer yang memiliki pelindung. Hal itu supaya debu yang dihasilkan dari aktivitas pemuatan ke kapal tongkang dapat diminimalisir.
"Sudah lama sekali dan berkali-kali kami perintahkan itu," kata Firman ketika dihubungi Liputan6.com.
Firman mengatakan, lebih dari satu perusahaan yang beroperasi dekat dengan kompleks percandian Muarajambi. Perusahaan itu mulai dari minyak kelapa sawit atau CPO, penumpukan cangkang hingga penumpukan batu bara.
"Kalau yang namanya limbah fleksibel, pemeriksaan kadar asam mereka (perusahaan) jauh lebih lebih baik, untuk perusahaan stockpile kadar asamnya tidak boleh kurang dari enam, itu diukur setiap sebulan sekali, dan ketika ada keluhan masyarakat kita akan turunkan alat ISPU," kata Firman.