Liputan6.com, Aceh - Bagi sebagian orang, pekerjaan menyedot tinja mungkin bukan pilihan, tapi, tidak sedikit juga yang menggantungkan hidup pada pekerjaan yang lekat dengan kotoran manusia itu. Liputan6.com mewawancarai dua orang di antaranya, meluncurkan kisah-kisah di balik pekerjaan mereka, dari yang mulanya malu-malu tapi mau, sampai akhirnya mantap pada pekerjaan tersebut.
Senin sore (2/7/2021), Marzuki (32) ikut serta bersama dua orang anak buahnya untuk menyedot water closet (wc) di sebuah rumah kawasan Gampong Pango Raya, Kecamatan Ulee Kareeng, Kota Banda Aceh. Lelaki ini kini berstatus sebagai tauke alias pemilik mobil tangki penyedot tinja yang mereka kendarai.
Mobil tangki berwarna kuning blonde dominan terparkir di halaman, pantat mobil itu mengarah ke belakang, mendekat ke septic tank agar tidak banyak memakan jarak antara selang penyedot dengan penampung kotoran tersebut. Jarak antara selang dan septic tank bisa masuk dalam hitungan harga jasa.
Advertisement
Dua anak buah Marzuki bergegas turun. Salah satunya menarik selang spiral ke belakang, satu lagi menuju ke kamar mandi, mengisi air ke timba besar yang akan mereka gunakan untuk membersihkan ujung selang ketika pekerjaan selesai agar sisa kotoran tidak tercecer ke mana-mana.
Lelaki itu mengarahkan ujung selang ke mulut septic tank sementara senter di kepalanya menyala karena kondisi hari yang mulai gelap. Sesaat kemudian, mesin vakum dari mobil tangki menyala dan mengeluarkan suara yang menderu-deru.
Selang sempat menggeliat pada tarikan pertama namun kemudian terasa lebih stabil. Penyedotan tidak memakan waktu lama, bahkan tidak sampai sepuluh menit sampai semua selesai dan selang penyedot telah terikat kembali di mobil.
Marzuki yang tidak ikut serta dengan apa yang sedang anak buahnya kerjakan tampak duduk di atas undakan tangga rumah. Bercelana ponggol, baju kaus bergaris, serta topi baseball yang sengaja ia putar ke belakang, lelaki itu mengaso sambil merokok, bercakap-cakap dengan penghuni rumah sambil terus mengawasi pekerjaan kedua anak buahnya.
Ada dua jenis septic tank menurut Marzuki, yaitu jenis bulat dan petak. Pengguna jenis kedua biasanya adalah kantor atau gedung yang memiliki penghuni lebih banyak karena daya tampungnya juga lebih besar dari jenis yang bulat.
Dari kedua jenis, yang paling memakan waktu penyedotan paling lama adalah yang petak. Bahkan, apabila tangki penampung telah lebih dulu terisi, adakala mereka perlu membuang terlebih dahulu hasil sedotan tinja yang telah menumpuk.
"Biasanya kami buang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Bayar Rp 15 ribu. Atau, ada peternak kambing yang minta, kami kasih," terang Marzuki.
Untuk harga jasa penyedotan tinja, septic tank petak mencapai Rp250 ribu sekali sedot tapi tergantung daya tampung, karena, semakin besar berarti semakin mahal. Untuk septic tank bulat biasanya Rp150 ribu per sekali sedot.
Kadang-kadang, mereka harus berhadapan dengan septic tank yang isinya telah mengeras. Ini berarti kerja ekstra, dan bayarannya lebih mahal, biasanya Rp350 ribu.
"Kotoran yang telah mengeras harus kita aduk, siram dengan air. Biasanya kami tuang adonan (kotoran) itu dengan minyak tanah. Itu untuk menyamarkan bau," tambahnya.
Simak video pilihan berikut ini:
Kisah di Balik Pekerjaan Sedot Tinja
Lelaki kelahiran Pidie Jaya 1987 ini sudah menjajal pekerjaan yang bersinggungan dengan feses manusia sekitar 6 tahun. Karena jenis pekerjaannya, di awal-awal ia mengaku sempat berbohong karena alasan gengsi.
"Saya bilang saja bahwa saya kerja bawa-bawa mobil (sopir)," ujarnya seraya terkekeh.
Pernah suatu kali, rupanya rumah yang menelepon untuk meminta bantuan jasa sedot tinja adalah rumah di mana sang gebetan berada. Marzuki mengaku sampai-sampai tidak berani turun dari mobil karena malu.
"Saat itu, masih ada rasa rada-rada malu. Kayaknya, itu sampai sekarang masih berlaku sama anak-anak muda yang ikut bekerja sama saya," kisahnya.
Marzuki juga pernah terjerembab ke dalam septic tank karena lantai penampung kotoran itu jebol setelah tidak kuat menahan dirinya. Pada waktu yang lain, ia pernah memecahkan keramik WC karena keramik tersebut tidak kuat menahan tekanan vakum.
"Saat itu, WC-nya tersumbat. Meski kita tembak dari luar," tambahnya.
Badrudin (45), salah seorang pekerja Marzuki mengaku pernah kecipratan kotoran saat sedang menyedot tinja di kawasan Darussalam pada 2019. Saat itu, septic tank yang mereka sedot berisi kotoran yang sudah lumayan mengeras.
"Karena tahinya sudah keras, selang tersedak. Kita pun berusaha memperbaiki agar lancar sedotannya," tuturnya.
Saat sedang berusaha mengangkat ujung selang, sedotan vakum yang sangat kuat menyebabkan selang tersebut lepas dari genggaman lantas menggeliat tak tentu arah. Badrudin yang saat itu berada di lini depan pertarungan dengan selang penyedot pun kena semburan kotoran itu.
Advertisement
Kredit Mobil
Sebenarnya, jasa sedot tinja berbayar juga tersedia di dinas lingkungan hidup dan kehutanan setempat. Namun, karena tidak mampu mencakup seluruh wilayah sebab terhalang jumlah armada, pemerintah mengizinkan masyarakat membuka jasa yang demikian dengan catatan harus berstatus CV (Commanditaire Vennootschap) atau perusahaan berbasis persekutuan komanditer, yang tingkatannya berada di bawah PT (Persereoan Terbatas).
Marzuki melepas tabungannya sebesar Rp50 juta, termasuk perhiasan istrinya demi membeli mobil tangki berstatus kredit dari bank. Per bulan ia mesti menyisihkan uang sebesar Rp3,5 juta untuk menutupi kredit tersebut.
Uang segitu untuk Marzuki berarti sekitar satu pekan mobil tersebut beroperasi. Artinya, dari pekerjaan sebagai tauke, yang kadang juga ikut turun langsung, ia bisa mendapat laba bersih sebanyak Rp500 ribu per hari.
"Per bulan, bilang saja saya dapat bersih Rp15 juta," ujarnya bangga.
Untuk anak buah, per hari paling sedikit Rp150 ribu. Itu belum lagi jika permintaan datang dari kantor kedinasan apalagi perusahaan yang notabene menawarkan bayaran yang tidak sedikit, bahkan mencapai jutaan.
Agar jasa sedot tinja miliknya bisa bersaing dengan jasa yang berbasis CV, ia tidak hanya bermodal menempel nomor telepon seluler beserta keterangan dengan memanfaatkan tiang listrik atau dinding. Ia juga membuat kartu nama, bahkan menggunakan media lain, seperti menyerbu kotak masuk orang lain dengan pesan broadcast, atau mengiklankannya ke media cetak.
Kini, Marzuki sudah bekeluarga. Ia mengaku tidak malu-malu lagi mengungkapkan apa pekerjaannya kepada setiap orang yang ia temui, misal, di kedai kopi, bahkan ikut membagikan kartu nama berisi jasa sedot tinja miliknya.
Dari jasa sedot tinja-lah Marzuki mantap mengantungkan hidup. Ia akan terus bertahan di sana karena permintaan jasa penyedotan tinja tidak akan ada habisnya selama manusia masih makan, dan buang air besar.