Film Dokumenter Sangihe Not For Sale, Cara Warga Melawan Perusahaan Tambang

Film dokumenter Sangihe Not For Sale menjadi salah satu bentuk perlawanan warga yang menolak keberadaan tambang di Sangihe.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 18 Agu 2021, 14:00 WIB
Diterbitkan 18 Agu 2021, 14:00 WIB
Peluncuran film dokumenter Sangihe Not For Sale di Sekretariat AMSI Sulut, Selasa (17/8/2021).
Peluncuran film dokumenter Sangihe Not For Sale di Sekretariat AMSI Sulut, Selasa (17/8/2021).

Liputan6.com, Manado - Berbagai kelompok warga Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulut, terus melancarkan aksi menolak perusahaan tambang emas di wilayah perbatasan RI-Filipina tersebut.

Selain melalui sejumlah aksi unjuk rasa, gugatan ke pengadilan, serta tanda tangan petisi, kali ini mereka melawan dengan meluncurkan film dokumenter Sangihe Not For Sale.

Film karya Audro Chrustofel dan kawan-kawannya dari Sangihe Documentery Film (SDF) itu, secara resmi diluncurkan di Sekretariat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMS) Sulut, Jalan Elang Raya 3, Kelurahan Malalayang 1 Timur, Kecamatan Malalayang, Kota Manado, Selasa (17/8/2021).

"Sebelumnya, kami hendak meluncurkan film ini di Tahuna, Sangihe, namun tidak diizinkan oleh aparat keamanan," ujar Audro yang memberikan penjelasannya secara virtual dari Sangihe. 

Audro mengatakan, film ini berdurasi satu jam lebih itu pengambilan gambar melalui ponsel saja. Itu film dokumenter ketiga yang dibuat Sangihe Documentery Film.

"Film Sangihe Not For Sale memotret kondisi terkini masyarakat Sangihe melawan perusahan tambang emas PT Tambang Mas Sangihe," ujarnya.

Audro menceritakan bagaimana dia 'membangunkan' rekan-rekannya untuk berjuang, karena daerah Sangihe akan rusak dengan dengan kehadiran perusahan tambang. 

"Termasuk juga melahirkan berbagai hal negatif lainnya," ujar lelaki lulusan Intitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak juga video pilihan berikut:

Bentuk Perlawanan

Sementara itu, aktivis Save Sangihe Island (SSI) Jull Takaliuang, mengapresiasi semangat Audro yang membuat film tersebut. Menurutnya, perjuangan membutuhkan energi yang panjang dan cara-cara kreatif dalam melakukan perlawanan terhadap perusahan tambang yang punya duit besar.

"Salut untuk Sangihe Documentery Film yang berjuang keras melahirkan film ini, sebagai salah satu bentuk perlawanan," ujar aktivis perempuan Sulut ini.

Jull mengatakan, nantinya film ini akan menjadi media edukasi ketika turun menemui masyarakat di kampung-kampung. Terutama untuk terus menggelorakan perjuangan bersama.

"Sehingga sejengkal pun tanah kita tidak direbut oleh perusahan tambang yang merugikan masyarakat kita sendiri," tutur Jull.

 

Media Ikut Berperan Aktif

Ketua AMSI Sulut Agust Hari berharap, media memberikan porsi pemberitaan untuk kasus-kasus tambang, termasuk di Sangihe. Dengan kegiatan peluncuran dan nonton bareng film di Sekretariat AMSI Sulut, memberi pesan bahwa media ikut bersama memberitakan kasus tambang di Sangihe.

"Sekretariat ini tak hanya tempat berkumpul media dan jurnalis saja untuk pelatihan dan diskusi, tapi memberi ruang bagi masyarakat yang tertindas untuk berekspresi," kata Agust, didampingi Sekretaris AMSI Sulut Supardi Bado.

Kegiatan peluncuran, nonton bareng, dan diskusi film ini digagas oleh sejumlah lembaga yakni Gerakan Cinta Damai Sulut (GCDS), AJI Manado, Save Sangihe Island (SSI), Yayasan Suara Nurani Minaesa (YSNM), Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan AMSI Sulut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya