Petisi Ubah Nama Stadion JIS Menguat, JJ Rizal: MH Thamrin Reaktor Kebangsaan

Thamrin membangun sepak bola modern Indonesia sebagai reaktor kebangsaan, sehingga Jakarta jadi ibu kota sepak bola kebangsaan Indonesia. Inilah warisan (legacy) Thamrin yang berharga dan khas, tapi terlupa.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 08 Jun 2022, 16:04 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2022, 13:30 WIB
Seminar MH Thamrin
Sejarawan, JJ Rizal, saat berbicara dalam seminar "Dari Stadion VIJ menuju Stadion MH Thamrin" di Balai Kota, Jakarta, Jumat (15/2). Acara ini rangkaian dari Festival 125 Tahun MH Thamrin. (Bola.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta Sejarawan JJ Rizal membuat petisi di Change.org menuntut perubahan nama stadion sepak baru di Jakarta, Jakarta International Stadium, menjadi Stadion Muhammad Husni Thamrin. Berdasarkan pantauan Liputan6.com di laman Change.org hari ini, petisi itu telah ditandatangani 4.752 orang.

Jj Rizal menyebut setidaknya ada dua alasan kenapa nama MH Thamrin lebih cocok disematkan sebagai nama stadion megah tersebut.

Pertama, penamaan Jakarta International Stadium (JIS) dianggap melanggar Undang-Undang No. 24/2009 karena menggunakan Bahasa Inggris. Menurut Undang-Undang 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, setiap bangunan yang bersifat publik dan demi kepentingan masyarakat luas, wajib menggunakan bahasa Indonesia, tak terkecuali Jakarta International Stadium.

Dengan demikian, dapatlah dianggap bahwa penamaan yang memakai istilah asing ini kurang mencerminkan perasaan nasionalisme. Alasan kedua, menurut JJ Rizal, nama ‘JIS’ sepertinya tidak dapat memacu semangat untuk memajukan persepakbolaan nasional karena tidak menggunakan nama tokoh sejarah yang inspiratif.

Rizal mengatakan, sebelumnya memang sempat ada usulan untuk memakai nama Soeratin, yang merujuk kepada nama tokoh pendiri Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Hal ini diusulkan oleh sejarawan dari LIPI, Asvi Warman Adam, melalui surat pembaca di harian Kompas, 10 Mei 2022. Namun, menurut Rizal, sejarah menunjukkan ada tokoh yang lebih tepat, yaitu MH Thamrin.

“Thamrin adalah pahlawan nasional sekaligus tokoh Betawi, warga asli Jakarta. Lebih jauh lagi Thamrin pun bukan hanya pendiri bangsa yang gibol (gila bola), dalam arti doyan merumput, melainkan juga punya visi sepak bola modern Indonesia sebagai reaktor kebangsaan,” kata Rizal dalam petisinya.

Usulan sudah digulirkan 3 tahun lalu

Seminar MH Thamrin
Sejarawan, JJ Rizal, saat berbicara dalam seminar "Dari Stadion VIJ menuju Stadion MH Thamrin" di Balai Kota, Jakarta, Jumat (15/2). Acara ini rangkaian dari Festival 125 Tahun MH Thamrin. (Bola.com/Yoppy Renato)

Sebenarnya usulan untuk memakai nama MH Thamrin sebagai nama stadion itu bukan kali ini saja dilontarkan. Tiga tahun lalu, saat Stadion JIS masih angan-angan, Perkumpulan Betawi Kita pernah mengusulkan agar stadion yang nanti kelak dibangun diberi nama Stadion Internasional MH Thamrin.

JJ Rizal terlibat bersama Perkumpulan Betawi Kita dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah membuat Festival 125 Tahun MH Tamrin bertema “Jungkir Balik demi Jakarta” pada 15-16 Februari 2019.

Festival itu dibuat dengan tujuan memperingati perjuangan MH Thamrin khususnya di bidang olahraga sepak bola. MH Thamrin adalah salah satu penggagas klub VIJ (Voertbalbond Indonesia Jacatra) pada tahun 1928 yang kemudian menjadi Persija pada tahun 1942. Sebagai pelindung VIJ, MH Thamrin menyumbangkan 2000 gulden dari kantong pribadinya dalam pembangunan lapangan sepak bola berstandar internasional yang saat ini dikenal sebagai lapangan VIJ di Jalan Petojo VI, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat.

Rizal menegaskan, sejak awal mula, MH Thamrin telah menegaskan perjuangan mewujudkan sepak bola yang berpihak pada pribumi. Menurut Thamrin, tidak boleh ada larangan bagi anak bangsa Indonesia untuk bertanding sepak bola di tanah kelahirannya sendiri.

Dia merespons positif ketika beberapa orang dari klub sepak bola pribumi mengadu kepadanya lantaran tak dipinjami lapangan untuk mengadakan pertandingan amal demi korban kebakaran di Gang Bunder, Pasar Baru, pada 1927.

Sepak bola untuk pribumi

Jakarta International Stadium di Malam Hari
Foto udara yang diambil pada 17 April 2022 ini menunjukkan Jakarta International Stadium (JIS) yang baru didirikan untuk pertandingan sepak bola dan konser musik, di Jakarta. Stadion termegah di Indonesia tersebut mampu menampung 82.000 penonton. (ADEK BERRY/AFP)

Pada zaman penjajahan, politik ras tidak hanya dalam pendidikan, tapi juga lari ke lapangan sepak bola. Kala itu, di lapangan milik orang Belanda, terpampang tulisan “Verboden voor inlander en honden” (dilarang bagi pribumi dan anjing) adalah kata-kata menyakitkan yang seringkali terpampang dalam gelanggang olahraga Belanda. Thamrin berusaha menepis perbedaan ras yang menyakitkan ini.

Tidak hanya itu, Thamrin sendiri adalah pencandu sepak bola. Sebagai politikus Volksraad atau Dewan Rakyat yang dianggap paling berbahaya, Thamrin mendesak pemerintah kota untuk memperhatikan dunia persepakbolaan di kalangan rakyat sendiri.

Di stadion yang didirikannya ini, VIJ mengklaim empat gelar juara pada tahun 1931, 1933, 1934 dan 1938, dan menampilkan bakat-bakat asli seperti Roeljaman, Iskandar, A. Gani, Djaimin, Moestari, dan Soetarno. Bahkan pada saat pertandingan final antara VIJ dan PSIM, Thamrin secara khusus meminta Sukarno yang baru saja keluar dari penjara Sukamiskin untuk melakukan tendangan pertama tanda dimulainya pertandingan.

MH Thamrin, dengan kecintaannya yang kuat terhadap sepak bola, telah membawa tokoh pergerakan bangsa dan proklamator Sukarno ke dalam stadion. “Ini sesungguhnya melambangkan visi nasionalisme MH Thamrin bahwa sepak bola bukan medan kepentingan, melainkan perjuangan dan ujung tombak gerakan kebangsaan,” kata Rizal ketika berbincang dengan Liputan6.com (7/6/2022).

 

Sepak bola sebagai alat perjuangan politik

MH Thamrin
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, melihat pameran sejarah MH Thamrin di lapangan VIJ, Petojo, Jakarta, Sabtu (16/2). Acara ini rangkaian dari Festival 125 Tahun MH Thamrin. (Bola.com/Yoppy Renato)

Sebelum pelaksanaan festival saat itu, untuk menegaskan peran MH Thamrin, diadakan seminar bertemakan 'Dari Stadion VIJ menuju Stadion MH Thamrin: Thamrin Memulai, Anies Baswedan Mewujudkan' diadakan di Blok G Lantai 22, Gedung Balai kota Jakarta, pada Jumat (15/2/2019).

Seminar ini menghadirkan pembicara Sejarawan JJ Rizal, tim penulis buku Gue Persija Abdillah Afiif, dan Iwan Takwin sebagai perwakilan BUMD Provinsi DKI Jakarta, PT Jakpro. Dalam seminar ini, Iwan juga menerangkan paparan progres rencana pengembangan kawasan Taman BMW sebagai markas Persija yang direncanakan target ground breaking pada bulan Maret 2019.

Roni Adi, Ketua Umum Betawi Kita, mengatakan, "Kegiatan ini salah satu bentuk dukungan kami dan usulan kami supaya Stadion Persija nanti diberi nama Mohammad Husni Thamrin. Karena, kita tahu Thamrin tidak hanya sebagai pahlawan nasional, beliau tidak hanya berbicara tentang kampung dan nasib orang kampung, kemiskinan maupun tentang politik. Tapi, beliau juga seorang yang berjuang untuk mendukung persepakbolaan di Tanah Air. Dan pada saat itu, sepak bola sebagai salah satu alat perjuangan politik."

Menyambung semangat Sumpah Pemuda

MH Thamrin
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, melihat pameran sejarah MH Thamrin di lapangan VIJ, Petojo, Jakarta, Sabtu (16/2). Acara ini rangkaian dari Festival 125 Tahun MH Thamrin. (Bola.com/Yoppy Renato)

MH Thamrin telah mengadopsi semangat persatuan tidak hanya di ruang-ruang sidang, tapi juga di lapangan sepak bola. Sebagai pendiri VIJ, Thamrin telah memulai visi sepak bola yang mementingkan rakyat dan kebangsaan, dengan menyambung semangat Sumpah Pemuda dalam perjuangannya.

Thamrin berhasil menyatukan sepak bola dengan gerakan kebangsaan. “Bukti paling ketara Voetbalbond Indonesia Jakarta (VIJ) lahir sebulan pasca-Kongres Pemuda 28 Oktober 1928," kata Rizal.

Thamrin meyakini sepak bola bukan sekadar olahraga rakyat, melainkan medium gerakan kebangsaan. Rizal mengatakan, riset sejarah Srie Palupi, Politik dan Sepak Bola, membenarkan hal itu. Sepak bola yang masuk Hindia akhir abad ke-19 berbareng ideologi-ideologi besar—nasionalisme, komunisme, islamisme, sosialisme—sama diterima dan tumbuh jadi counter culture terhadap perkembangan masyarakat serta sejarah kolonial. "Inilah jalan keluar yang ditawarkan Thamrin," katanya.

Visi sepak bola Thamrin terbukti. Di negeri jajahan, profesionalisme itu tumbuh karena para pemain merumput dengan keyakinan mempertaruh sejarah dan kultur sepak bola sejak diterima di negerinya, yaitu sebagai counter culture kolonialisme. Dari sini, ia membangun sepak bola modern Indonesia sebagai reaktor kebangsaan, sehingga Jakarta jadi ibukota sepak bola kebangsaan Indonesia. Inilah warisan (legacy) Thamrin yang berharga dan khas, tapi terlupa.

“Memberi nama JIS dengan MH Thamrin Stadion Internasional Jakarta adalah awal yang baik. Bangunan monumental harus diimbangi nama dari amal sejarah yang monumental dan tak kering-kering mengalirkan keteladanan bagi sepak bola serta kebangsaan kita hari ini juga masa depan,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya