Liputan6.com, Bandung - Pekan pertama Juni 2022. Saya bertemu Liedzikri Risqi Insani, dokter hewan dari Tim Kesehatan Hewan (Keswan) Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Perkenalan kami diawali utas tentang Penyakit Mulut dan Kaki (PMK) yang ia tulis pada 5 Juni 2022 lalu.
Advertisement
Baca Juga
Saat itu, Liedzikri mengabarkan ribuan sapi perah di Pangalengan terjangkit virus hanya dalam kurun belasan hari.
Kematian ternak mendadak menghantui. Puluhan sapi ditemui terkapar di kandang, produksi susu juga kerontang.
Beberapa waktu lalu, saya pun membuntuti Liedzikri bekerja. Dia mengantar saya melihat bagaimana kondisi sapi-sapi itu di kandang, mencatat secuplik kasus PMK di sana.
Saya dibawa ke kandang Wanasuka IV, mayoritas peternaknya adalah anggota KPBS. Kandang-kandang di sana berada pencil di cekungan daerah berbukit. Dapat dilalui dengan berjalan kaki melewati jalur tanah berbatu.
Semakin dekat, lenguh atau suara sapi itu membelasut terdengar selang-seling seperti menyambut. Menapak jalan menanjak, terlihat beberapa para peternak berduyun mengangkut wadah susu hasil perahan sendiri-sendiri.
"Pak Dokter," sambil melempar senyum ramah, seorang di antara mereka menyapa Liedzikri saat berpapasan.
"Dapat banyak, Pak?" saya menyeling.
"Wah, sedikit," jawabnya sambil bergegas.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Sapi Bergilir Mati
Â
Ada puluhan kandang berjejer di sana, padat. Satu kandang bisa diisi 4-8 ekor. Ada sekitar 95 ekor sapi betina dewasa, 32 ekor pejantan, dan 29 pedet atau anak sapi. Padatnya populasi di kandang Wanasuka diakui jadi faktor virus itu sangat gancang menular.
Liedzikri berhenti di sebuah kandang milik seorang peternak senior di sana, Alex namanya. Seekor sapi betina miliknya tergolek. Mata sapi itu terbuka tapi badannya cuma geming.
"Kunaon ieu, Bah, bangkar? (Kenapa ini, Bah, mati?," tanya Liedzikri.
"Muhun (iya). Ujug-ujug ambruk pas beres nyatu (makan)," katanya.
Cerita sang pemilik, sudah sekian hari sapinya terjangkit PMK. Kakinya luka-luka dan jungurnya ingusan. Saat diperah, air susunya tak setetes pun. Semula, sapinya tak mau makan. Belakangan sempat membaik, tapi tak lama si sapi didapati sudah ambruk di kandangnya, mati.
Memakai bedog juga kapak, Liedzikri mulai membedah tubuh sapi itu. Beberapa organ dikeluarkan di antaranya jantung, paru-paru, hingga limpa. Ia memperlihatkan adanya kelainan semisal bercak membiru di sisian paru-paru.
Menurut Liedzikri, kasus serupa kerap ditemui di kandang-kandang lain. Sapi-sapi itu mendadak mati padahal kondisinya dianggap sudah membaik.
Dalam sepekan ke belakang, ia telah melakukan nekropsi pada empat sapi dan temuannya sesuai dengan literatur yang ia pelajari, kerusakan pada jantung dan paru-paru. Tak hanya pada sapi dewasa, juga anak-anak sapi.
"Dugaan kami, sapi mati karena gagal jantung. Virusnya bikin peradangan pada otot jantung," jelasnya.
Sejak kasus PMK merebak di Pangalengan pada pertengahan Mei lalu, katanya, perhari ada 2-5 ekor sapi bergilir mati. Bahkan, saat kami bertemu pada hari itu, sudah ada lima sapi mati lebih dulu di kandang lain.
Liedzikri sibuk pontang-panting dari satu kandang ke kandang lain. Maklum, hanya ada sekitar lima dokter hewan dari KPBS, sementara jumlah sapi yang harus diawasi mencapai 14 ribu ekor.
Â
Advertisement
Susu Antibiotik
Saat sapi diserang PMK, mulutnya luka dan tak kerasan makan. Selain menurunkan daya tahan tubuh, kurangnya asupan membuat sapi tak banyak menghasilkan susu, bahkan kerap kering sama sekali.
Sejumlah peternak seperti Darman, Dalit, Dadan, dan Maman mengakui anjloknya perahan susu sapi. Mereka yang biasanya bisa memperoleh sampai 30 liter susu dalam sehari, rata-rata kini jadi hanya 6-8 liter saja, bisa lebih sedikit sekira 1-5 liter. Bahkan ada sapi yang tak memberikan setetes pun susunya.
"Kalau (disebut) putus asa, ya, putus asa," kata Darman.
"Gimana, kami emang gantungkan hidup di sini," kata Dalit.
"Kalau enggak ada (sapinya mati), paling cari kerja. Sehat gak sehat, usaha dulu sekarang mah," kata Dadan.
Seperti yang terlihat di Wanasuka IV, kata Liedzikri, setiap harinya selalu ada saja sapi yang diberi vitamin, diinfus, atau disuntik antibiotik. Obat selalu habis berdus-dus. Harapannya, sapi bisa bertahan dan perlahan pulih, tapi itu tidak menjamin.
Pemberian obat terus menerus diakui bukan tanpa efek samping. Selain kuantitas yang menurun, ada kekhawatiran soal kualitas. Antibiotik yang disuntikkan ke tubuh sapi dinilai sangat mungkin meninggalkan residu.
"Kalau kita suntik antibiotik ada residu yang bisa tertinggal di susu, jadi tidak bisa dijual. Tapi KPBS menanggung semua kerugian itu, jadi susunya tetep disetor dan dilabeli susu antibiotik," ungkap Liedzikri.
Ditemui terpisah, Ketua Satgas PMK KPBS, Asep Rahmat menyampaikan, pada waktu normal, produksi susu di KPBS Pangalengan bisa mencapai 100 ton dalam sehari. Semenjak PMK, produksinya bisa anjlok hingga 30-50 persen.
"Meski sapi membaik, produksi susu tidak lantas membaik, sulit kembali normal. Bahkan di beberapa negara, produksi turun permanen," katanya.
"Ada penurunan (kualitas) di kadar lemak dan protein," imbuhnya.
Â
Â
Yang Memancing di Air Keruh
Selain kehilangan sapi dan produksi susu, para peternak pun tak berdaya di hadapan para bandar daging. Menurut sejumlah peternak, daging sapi yang dipotong paksa karena sakit kerap dibandrol dengan harga murah.
Maman Kusmawan (71) adalah contohnya. Ia baru kehilangan tiga sapi dalam jangka waktu lima hari. Satu pedet miliknya dipotong paksa, tapi ia tak berani menawarkan harga. Sebab kata para bandar, ungkap Maman, daging sapi miliknya bisa saja tak laku di pasar.
"Belum tahu dihargai berapa," katanya.
Harga sapi yang biasanya bisa mencapai Rp 15 juta, kerap dihargai hanya Rp 5 juta. Bahkan harga pedet kini hanya Rp500 ribu.
"Padahal di pasar harga daging perkilo tetap saja sama," imbuh Liedzikri.
Juga diakui oleh Asep Rahmat. Sapi miliknya yang bisa mencapai Rp20-25 juta, dihargai Rp5 juta.
"Kalau dipotong para bandar itu murah, kemarin ditawar lebih rendah, dua juta rupiah," katanya.
Selain itu, sebagai peternak kecil anggota koperasi, peternak seperti Maman berharap mendapat asuransi atau penggantian atas sapinya yang mati dari koperasi tempatnya bernaung. Tapi harapan itu juga dirasa buram.
"Gak tahu, ya, koperasi juga kan mungkin kekurangan produksi," kata Maman.
"Kami di koperasi memang ada asuransi, tapi dari Jasindo yang dapat subsidi tidak meng-cover PMK. Yang mati mendadak tidak kepotong itu Rp10 juta, yang dipotong paksa Rp5 juta. Cuman kemarin habis preminya. Saya juga pusing gimana itu menggantinya," kata Asep Rahmat yang juga pengurus KPBS.
Â
Advertisement
Sebulan Lalu 8 Ekor, Kini 2.000 Ekor
Kasus PMK di Pangalengan sendiri diketahui pada 17 Mei 2022 di daerah Kertasari. Menurut tim Keswan dari KPBS, sapi petama yang terjangkit baru dibeli pada tanggal 12 Mei dari Pasir Jambu, Ciwidey.
Hasil penelusuran mereka, sapi dari Ciwidey itu diduga berasal dari Boyolali. Sempat sakit, setelah agak membaik dijual dengan harga murah.
Kertasari masih termasuk wilayah tugas Liedzikri. Saat itu, ia mengaku mendapat laporan langsung dari peternak. Ada delapan ekor yang bergejala, seperti ditemukannya lesi atau luka pada mulut.
"Empat hari setelah itu sekeliling kandang kena, 74 ekor terinfeksi," katanya.
Merujuk data KPBS, di Kertasari terdapat sekitar 121 populasi sapi. Memasuki awal Juni, 102 sapi di antaranya dinyatakan positif PMK. Ada 5 sapi mati dan 4 sapi dipotong paksa.
Dari Kertasari kasus merembet ke wilayah lain. Sampai 7 Juni 2022 lalu, dari 28 tempat pelayanan koperasi (TPK) yang ada di KPBS 12 di antaranya sudah terjangkit. Sebanyak 1.194 ekor sapi terkonfirmasi PMK. 36 sapi di antaranya mati, 39 ekor dipotong paksa.
Kasus terus membengkak, berdasarkan laporan terakhir diterima Liputan6.com 17 Juni 2022, sapi terjangkit sudah mencapai 2.607. Hanya tinggal 5 TPK saja yang masih bebas PMK.
Asep Rahmat mengaku, pihaknya sudah mewanti-wanti anggotanya untuk tak jual-beli sapi sejak kasus PMK pertama diumumkan di Jawa Timur, akhir April lalu. Namun, minimnya pengawasan lalu lintas ternak menuju Pangalengan diakui jadi faktor pemicu.
Dari awal, katanya, ia sudah berkomunikasi dengan Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Bandung, terlebih meminta untuk mengadakan pos-pos penjagaan untuk menghalau keluar-masuk sapi. Tapi, implementasinya ia rasa lemah.
"Saya sempat menghadang dua truk dari Bondowoso satu dari Boyolali, mau masuk Pangalengan. Surat jalan bodong, tidak ada surat keterangan sehat," katanya.
Â
Stamping Out, Vaksin dan Status KLB
Â
Saat awal kemunculan kasus, kata Liedzikri, opsi stamping out atau pemusnahan massal hewan tertular sempat dipertimbangkan. Langkah tersebut memang dianggap efektif menahan laju kasus, tapi opsi itu tak sampai dilakukan.
"Harusnya satu kandang itu dipotong semua, terus enam bulan harus dikosongkam supaya steril," katanya.
"Tapi kita gak bisa jamin, ketika kita stamping out, apakah sapi yang di sekitarnya tidak tertular? Kalau ternyata tertular semua kandang nanti bisa-bisa dimusnahkan, siapa yang ganti? Lagi pula stamping out itu, hemat saya, harus dibarengi dengan vaksinasi," katanya.
Maka, sambung Liedzikri, penanganan dan pencegahan yang paling konkret untuk saat ini adalah vaksinasi. Vaksin dibutuhkan segera dengan harapan kasus bisa diredam. Jika tidak, dampak PMK akan terus meluas dan merugikan peternak.
Selain itu, ia juga mendorong pemerintah Kabupaten Bandung agar mendesak pemerintah provinsi supaya segera menyatakan kondisi sekarang adalah wabah atau kejadian luar biasa (KLB).
"Saya sempet itung, untuk mengobati semua sapi di Pangalengan, kurang lebih butuh Rp 6 miliar untuk tiga hari. Itu sudah gak bisa ditanggung koperasi kayaknya, karena prosuksi susu juga menurun," katanya.
"Terus kalau vaksinasi tidak segera dilakukan, maka anggap saja dari Mei, Juni, Juli, tiga bulan ini Keswan tidak melakukan pelayanan inseminasi, otomatis kalaupun bunting, maka 9 bulan ke depan tidak akan ada anak sapi atau pedet di Pangalengan. Kenapa belum jadi (status) wabah (di Jawa Barat)? Mau nunggu berapa banyak dulu kasus PMK?," Ia melanjutkan.
Â
Advertisement
Katanya, Belum Pasti
Diberitakan sebelumnya, 10 ribu dosis vaksin PMK dikabarkan datang di Indonesia pada Minggu, 12 Juni 2022 lalu. Diketahui, vaksin ini diimpor dari Perancis.
sementara itu, Kepala Dinas Pertanian (Kadistan) Kabupaten Bandung, Tisna Umaran, mengaku belum mendapat informasi kapan vaksin itu akan datang ke Kabupaten Bandung.
"Belum (dapat informasi)," katanya saat dikonfirmasi Liputan6.com, Jumat, 17 Juni 2022.
Sebelumnya, Tisna menjelaskan, penanganan virus PMK mengacu pada SE Menteri Pertanian dan KIAT VETINDO (Pedoman Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Seri: Penyakit Mulut dan Kuku Edisi 3.1 2022). Katanya, ada tiga tahapan pengendalian dan penanggulangan, yakni investigasi, siaga dan operasional.
Terkait investigasi, pihaknya telah melakukan kunjungan mulai dari 10 Mei–8 Juni 2022 di 242 titik lokasi dan 136 titik lokasi suspect PMK yang tersebar di 53 desa pada 25 kecamatan, antara lain Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari, Desa Margamekar Kecamatan Pangalengan, Desa Cibodas dan Mekarmaju Kecamatan Pasirjambu.
Pihaknya juga telah melakukan penutupan Pasar Hewan Banjaran berdasarkan SE Dinas Perdagangan dan Perindustrian, nomor PT.02/1675/SPD perihal Peningkatan Kewaspadaan terhadap Penyakit Mulut dan Kuku, tanggal 25 Mei 2022.