Dikenal Perantau, Suku Batak Selalu Menjunjung 3 Filosofi Hidup, Apa Saja?

Masyarakat Batak terkenal dengan istilah perantau tangguh yang akhirnya memilih menetap di perantauan.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 31 Agu 2022, 15:12 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2022, 14:00 WIB
Tari Tor-Tor Jadi Pelajaran Wajib Sebuah Sekolah di Australia
Bangga banget. Tari Tor-Tor, khas Suku Batak, Sumatera Utara, Indonesia bikin siswa-siswi Australia tergila-gila

Liputan6.com, Bandung - Sudah jadi buah bibir bahwa orang Batak melekat dengan perantauan. Persebaran salah satu suku kolektif yang mendiami wilayah Sumatra bagian utara tidak hanya ada di daerah Sumatera, akan tetapi sudah tersebar hingga pelosok negeri.

Hal itu terjadi karena masyarakat Batak terkenal dengan istilah perantau tangguh yang akhirnya memilih menetap di perantauan.

Riyadi, A (2019) dalam bukunya, Merantau: Sebuah Pilihan Atau Keterpaksaan? Studi Supir Angkutan Kota Perantau Batak Angkola-Mandailing Di Kota Bandung menyebutkan, orang-orang Batak memiliki keinginan mencari rezeki di kota lain atas dasar keinginan mengubah nasib karena menyadari penghidupan di kampung halaman tidak lagi menjamin.

Sedangkan Nur, S M, Rasminto, & Khausar (2019) mengemukakan, orang Batak juga terkenal dengan sikap tidak memilih-milih pekerjaan ketika merantau, kesadaran betapa sulitnya kehidupan di perantauan, kemudian keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarga menjadi alasan.

Dikutip dari laman pmb.brin.go.id, masyarakat Batak memiliki tiga falsafah hidup. Ketiga falsafah hidup Batak itu yaitu hamoraon (kekayaan), hagabeon (berketurunan dalam artian keturunannya sukses), dan hasangapon (kehormatan dalam status sosial).

Untuk mencapai 3H ini, begitu banyak orangtua yang mendorong anaknya dalam dunia pendidikan karena para orangtua sadar, akan sulit mencapainya jika pendidikan anak-anaknya biasa saja (Dalimunthe & Lubis, 2019).

"Pada akhirnya, orang-orang Batak akan berusaha memenuhi pendidikan anak-anaknya dan biasanya jika salah satu anak dari satu keluarga memiliki ekonomi yang cukup, ia akan memiliki kesadaran sendiri untuk membantu saudara/i-nya untuk mencapai pendidikan yang lebih baik juga seperti dirinya," ulas peneliti Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas BRIN Ririn Purba.

Ririn melanjutkan, ikatan marga dan kekeluargaan yang kuat menanamkan rasa tanggung jawab dan sikap saling membantu. Tidak harus keluarga inti, tetapi keluarga jauh yang memiliki ikatan marga juga harus dibantu jika memang ia memiliki rezeki yang berlebih.

Hubungan Kekerabatan Batak

FOTO: Masyarakat Adat Tono Batak Geruduk Kantor Menteri Luhut
Massa yang tergabung dalam Aliansi Gerak Rakyat Tutut TPL menggelar aksi di depan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Rabu (24/11/2021). Aksi diikuti 40 orang perwakilan masyarakat adat Tono Batak. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Hal tersebut juga berhubungan dengan falsafah Batak yang mengatur tentang kekerabatan dan relasi marga yakni Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga).

Dalihan Na Tolu ini diibaratkan seperti tungku berkaki tiga (tolu) di mana jika salah satunya tidak seimbang maka akan memengaruhi yang lain. Dasar dari falsafah.ini terdiri hula-hula (pihak keluarga dari perempuan/istri), dongan tubu (orang yang semarga dengan kita) dan yang terakhir boru (keluarga dari pihak lelaki/suami).

Marga memiliki peran penting dalam menentukan posisi dalam suatu kegiatan. Selain itu, jika dua orang atau lebih memiliki marga yang sama, tetapi tidak sedarah akan dianggap saudara (Berlian et al., 2019).

"Hal inilah yang menjadi alasan kekerabatan dan rasa saling menolong bagi orang Batak tidak hanya berdasarkan ikatan darah tapi juga persaudaraan atas dasar marga," ungkap Ririn.

Selain itu, masyarakat Batak juga mengenal istilah yang dipopulerkan oleh Alm Raja Inal Siregar, mantan Gubernur Sumatera Utara yaitu ‘Marsipature Hutana Be’ atau saling membenahi kampung halaman masing-masing. Istilah ini menjadi sebuah panggilan untuk masyarakat Batak yang sukses di perantauan untuk membenahi kampung halamannya sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi.

Perantau diharapkan dapat bergotong royong membangun kampung halamannya, terutama dalam hal pendanaan (Sibarani, 2018).

3H sebagai falsafah hidup orang Batak juga menjadi salah satu alasan orang batak memiliki jiwa saling menolong sesama keluarga hingga bisa meraih kesuksesan karena falsafah ini tidak hanya mencakup dirinya sendiri melainkan anggota keluarganya yang lain.

Ketika ia mampu menghidupi dirinya sendiri dan membantu saudara-saudaranya tanpa harus diminta, maka ia akan lebih dihormati di dalam keluarganya dan di kampung halamannya. Namun, bukan hanya perantau, nama orangtuanya juga akan harum di kampung halamannya sebab dianggap telah berhasil mendidik anaknya hingga sukses di perantauan dan telah banyak membantu keluarganya.

Ketika hal tersebut terjadi maka hagabeon (keturunan yang sukses) dan hasangapon (kehormatan) yang merupakan bagian dari tiga nilai hidup yang diperjuangkan oleh masyarakat Batak telah terpenuhi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya