Liputan6.com, Jakarta - Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur memiliki koleksi objek wisata alam yang cukup lengkap. Tak hanya Taman Nasional Alas Purwo, dengan wisata Pantai Plengkung yang berombak besar dan kerap menggoda turis-turis mancanegara.
Wisata tersebut adalah Hutan De Djawatan yang berlokasi di Desa Benculuk, Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi. Hutan seluas 4 hektare tersebut berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyuwangi Selatan.
Pohon trembesi merupakan tumbuhan mayoritas di Hutan De Djawatan sekaligus menjadi daya tarik utama. Ini adalah alasan terbesar pengunjung untuk datang berwisata ke kawasan sejuk yang resmi masuk dalam daftar objek wisata Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi sejak Juni 2018.
Advertisement
Baca Juga
Tumbuhan bernama ilmiah Samanea saman tersebut tumbuh subur di De Djawatan dengan ketinggian 25-30 meter dari permukaan tanah. Menurut Administratur Perhutani KPH Banyuwangi Selatan Panca Putra Sihite, pohon-pohon trembesi di De Djawatan jumlahnya ratusan batang, sepertiganya berusia 100-200 tahun.
Trembesi dikenal sebagai pohon hujan karena kemampuan besarnya dalam menyerap air sehingga menyebabkan dahannya begitu lembab dan menjadi rumah paling nyaman bagi tumbuhan epifit, seperti jenis paku-pakuan. Rumput-rumputan pun ikut tumbuh subur di sekitar trembesi.
Pohon asli Amerika Selatan ini dapat cepat tumbuh membesar dengan karakteristik khas, yaitu belasan dahan pohonnya meliuk-liuk melebar membentuk kanopi atau payung.
Kesuburan tanah latosol berunsur hara yang memadai di kawasan De Djawatan ikut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan pohon-pohon trembesi hingga tinggi menjulang dan membuat kawasan sekitarnya menjadi teduh.
Daun-daun trembesi memang tidak selebar daun pohon mangga, tapi memberikan keuntungan berupa kemampuan menghadirkan sebuah atraksi alam yang indah, terutama di siang hari saat cuaca cerah. Itu terjadi ketika sinar mentari berlomba-lomba menyelinap masuk menembus sisi-sisi dahan kecil dan batang besar trembesi dan jatuh ke permukaan tanah.
Terjangan sinar mentari di antara daun-daun dan dahan trembesi membentuk siluet indah dan pemandangan ini dapat dengan mudah ditemukan di De Djawatan setiap harinya.
Saksikan video pilihan berikut ini:Â
Sensasi Siluet
Selintas, De Djawatan dengan lebatnya hutan trembesi ditambah kanopi alami beserta efipit dan siluet indah sinar mentari karya Sang Pencipta mirip dengan penggambaran hutan pada film layar lebar The Lords of The Rings.
Film trilogi fenomenal karya sutradara Peter Jackson ini banyak mengambil latar kawasan hutan di kampung halamannya, Selandia Baru. Salah satunya Taman Nasional Kaitoke di North Island, Wellington. Taman nasional seluas 2.500 ha ini dalam film dikisahkan sebagai Rivendell, tempat tinggal kaum Elven.
Begitu juga penggambaran hutan lebat Mirkwood di Dunia Tengah pada kisah versi novel The Lord of The Rings karya sastrawan legendaris Inggris, John Ronald Reuel Tolkien, yang hidup antara 1892-1973.
Tolkien menggambarkan lebatnya Mirkwood seperti Puzzlewood, hutan alam hijau seluas 14 ha di Coleford, Gloucesteshire, Inggris, dikarenakan ia kerap menyinggahinya.
Karena alasan itu pula, tak sedikit dari pengunjung yang menyebut De Djawatan sebagai hutan The Lords of The Rings dan kemudian foto-fotonya menjadi viral di media sosial pada 2017. Semakin seringnya masyarakat yang mengunjungi kawasan sejuk ini pascaviral menjadi alasan pemerintah setempat menjadikannya sebagai obyek wisata alam.
Lingkungan hutan ini pun ditata ulang agar menarik untuk dikunjungi sekaligus sebagai pelepas penat, dengan tambahan ratusan meter jalan setapak beralas tanah, pemagaran pohon-pohon trembesi raksasa, dan tambahan fasilitas toilet dan musala.
Di beberapa sudut disediakan pula bangku-bangku terbuat dari kayu jati. Agar pengunjung tak cepat lelah, pengelola menyediakan fasilitas delman. Pengelola juga menyediakan sudut-sudut cantik bagi para pengunjung untuk berfoto dengan latar pohon pohon trembesi raksasa.
Sebelum terkenal sebagai objek wisata seperti sekarang ini, masyarakat Benculuk lebih mengenal hutan ini sebagai Tapel Pelas. Selama puluhan tahun, bahkan sejak masa kolonial Belanda, Tapel Pelas dijadikan lokasi tempat penimbunan kayu (TPK) dan hasil hutan yang dikelola Perhutani.
Advertisement