RSHS Akui Ada Pasien Gangguan Ginjal Akut yang Meninggal Dunia: Jangan Panik tapi Waspada

Terdapat pasien anak gangguan ginjal akut yang meninggal dunia. Masyakat diminta tidak panik tapi perlu waspada.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 19 Okt 2022, 16:32 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2022, 15:32 WIB
RSHS
Kepala Divisi Nefrologi Klompok Staf Medis (KSM) Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSHS, Prof Dany Hilmanto (kanan) dan Staf Divisi Nefrologi KSM IKA RSHS Ahmedz Widiasta (kiri), saat konferensi pers di RSHS, Rabu (19/10/2022). (Liputan6.com/Dikdik Ripaldi)

Liputan6.com, Bandung - Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung menyatakan sudah merawat 12 anak yang mengalami gangguan ginjal akut progresif atipik (unknown origins) hingga Oktober 2022 ini. Diakui, terdapat pasien yang telah meninggal dunia. Namun, RSHS belum merilis jumlah tersebut secara lebih rinci. Masyarakat pun diminta untuk tidak panik, tapi perlu waspada.

Hal itu disampaikan Kepala Divisi Nefrologi Klompok Staf Medis (KSM) Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSHS, Prof Dany Hilmanto saat konferensi pers di RSHS pada 19 Oktober 2022 ini. Dari 12 pasien tersebut, tiga anak kini masih yang dirawat. Satu pasien disebut dalam kondisi yang membaik.

"(Jumlah yang meninggal) nanti kita rilis," katanya.

Sebagai rumah sakit rujukan tersier, katanya, RSHS menerima kasus-kasus dengan kondisi berat atau stadium akhir. Adapun, data yang disampaikan RSHS tersebut berbeda dengan jumlah kasus yang disampaikan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Per 18 Oktober 2022, di Jawa Barat terdata sebanyak 24 kasus.

"Barangkali, menurut saya, ada dokter di layanan kesehatan primer atau sekunder yang melaporkan langsung. Sehingga dataya tidak sampai ke kami di RS rujukan tersier," kata Dany menanggapi perbedaan data.

Secara keseluruhan, rata-rata anak berusia di bawah 6 tahun, meski juga terdapat pasien berusia 13 tahun. Pasien berasal dari sejumlah daerah termasuk Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Namun, dalam kesempatan itu, pihak RSHS tidak menyebutkan asal kasus di luar Bandung. Kasus di RSHS disebut mencuat pada Agustus-September lalu.

Dany menegaskan, penyebab penyakit ini masih belum diketahui. Dengan adanya kasus ini, masyarakat diminta tidak panik, tapi mesti meningkatkan kewaspadaan. "Kami sudah berupaya menelusuri ini karena terus terang kami pun sudah merawat beberapa pasien disini tidak diketahui sebabnya," katanya.

Selain itu, tenaga kesehatan juga turut meningkatkan kewaspadaan, menerapkan pedoman tata laksana terkait penyakit tersebut yang sudah dikeluarkan pihak Kementerian Kesehatan.

"Misalnya, jika ada anak yang datang ke fasilitas kesehatan primer (bergejala) panas, batuk dan pilek lebih dari 7-14 hari, kemudian disertai diare, maka dokter dianjurkan memeriksa kreatinin, kalau kreatinin tidak normal harus dirujuk ke rumah sakit rujukan," jelasnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya