Menjaga Hutan Mangrove Demi Keanekaragaman Hayati Lewat Ekowisata di Batu Bara

Pemerintah Kabupaten Batu Bara memberikan dukungan penuh untuk Pantai Sejarah, memungkinkan Azizi dan rekannya untuk menjalankan program jasa lingkungan di hutan Mangrove tanpa merusaknya.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 01 Nov 2023, 00:28 WIB
Diterbitkan 01 Nov 2023, 00:27 WIB
Mangrove
Suasana hutan mangrove Pantai Sejarah di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Jakarta - Pantai Sejarah terik saat siang, namun hutan mangrove memberikan keteduhan kepada siapapun yang berkunjung. Matahari menembus ranting kering bakau yang rapat, menerangi ikan gelodok yang berkumpul di sekitar akar mengambang di air payau. Ikan-ikan ini melintas di setiap sisi jalan setapak yang dikelilingi dedaunan mangrove.

Masuk ke dalam hutan mangrove terasa seperti berada di dalam gua yang sejuk dan temaram. Hijau dedaunan mangrove menyegarkan mata. Liputan6.com berkesempatan mengunjungi Pantai Sejarah di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, sebagai salah satu Finalis dalam kompetisi Karya Jurnalistik MediaMIND 2023, Rabu (18/10/2203).

Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit perjalanan untuk mencapai kawasan wisata hutan mangrove di Pantai Sejarah. Jenis mangrove, seperti api-api dari genus Avicennia, tumbuh di atas endapan lumpur, sementara jenis lainnya adalah Rhizophora.

Azizi menunjuk ke arah bentangan hutan mangrove di dekat rumahnya di Desa Perupuk, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Rabu pagi, lelaki 56 tahun itu memperlihatkan hasil membangun kesadaran masyarakat mengenai betapa penting mangrove bagi kehidupan pesisir.

Sejak meninggalkan aktivitas memikul tangkul (sejenis alat tangkap kepiting), Azizi merawat hutan bakau seluas 456 hektar. Tutupan mangrove seluas itu bisa saja menyusut dan akan memungkinkan angin kencang melewati dan berpotensi merusak lingkungan terdekat mereka.

"Kalau hutan mangrove tidak ada, seketika ada angin kencang, ini angin kan lepas saja ke kampung, bisa saja banyak rumah orang roboh kena puting beliung karena hutan tidak ada lagi yang memecahnya. Maka, hutan mangrove ini perlu membentengi kampung kita dari serangan angin kencang dan ombak," ucap Azizi kepada Liputan6.com.

Azizi merupakan seorang petani mangrove sekaligus Ketua Kelompok Tani Cinta Mangrove di Pantai Sejarah, Kabupaten Batu Bara. Kalau saja ia tidak menanam kembali mangrove di lokasi ini, tentulah keadaannya kini bakal jauh berbeda.

Di masa kecilnya, Pantai Sejarah pernah dipenuhi mangrove dan kemudian habis ditebang oleh warga yang memerlukan kayu untuk dijadikan bahan bakar. Selain itu, lahan yang sudah ditebang kemudian digunakan membangun rumah. Belakangan, warga menebas mangrove agar lahannya bisa dijual kepada investor.

"Masalahnya orang di desa yang kurang pendidikan, dia tahunya manfaat hutan mengambil kayu dijadikan arang atau dijual, lainnya tidak mengerti," ujar Azizi.

Sekitar 20 tahun lalu, Azizi mengawali kegiatan menanam bibit mangrove. Kemudian, bibit-bibit itu disebar untuk ditanami di area bibir pantai.

Setahun kemudian, pada 2003 Azizi lebih memfokuskan penanaman Mangrove di Desa Perupuk. Saat itu, penanaman sudah menjadi upaya reboisasi yang dibantu oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Asahan.

"Sepanjang 2002-2003 itu saya tanam sekitar 30 hektare tanaman mangrove," ucap Azizi.

 

Menumbuhkan Kesadaran

Mangrove
Ketua Kelompok Tani Cinta Mangrove Pantai Sejarah, Azizi (56). (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Pada 2006, ketika Kabupaten Batu Bara mengalami perkembangan yang pesat, Azizi menggaet sejumlah rekannya melaksanakan program penanaman bibit mangrove bersama anggota Kelompok Tani Cinta Mangrove. Hasil dari upaya ini adalah semakin bertumbuhnya kesadaran anggota kelompok dan sebagian nelayan akan pentingnya hutan mangrove.

"Jadi, pada  2006 saya dipercaya memegang proyek Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) sebanyak 50 hektare. Waktu 2006 juga pemenang tender waktu itu Pak Zahir (Bupati Batu Bara), saya sudah kenal," ungkapnya.

Pada 2010 dan 2015, kelompok tani yang diketuai Azizi menjalin kerja sama dengan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) di Sumatera. Di sinilah Azizi mendapat dukungan dari Kepala Balai Hutan Mangrove untuk proyek penanaman bibit mangrove. Kemudian, BPHM berubah menjadi Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup (BPSKL).

Dalam kerangka Perhutanan Sosial, Kelompok Tani Cinta Mangrove diberi izin untuk mengakses hutan melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm). Lalu pada 2017, kelompok ini mengambil langkah pertama untuk mengakses izin tersebut. Setahun kemudian, mereka berhasil mendapatkan izin pengelolaan kawasan hutan seluas sekitar 456 hektare.

"Dalam izin yang didapatkan ini, saya disuruh menjaga, melindungi, merawat dengan hasil pemikiran kita. Tetapi kadang dengan regulasi ini, saya mendapat ngeri-ngeri sedapnya," ucap Azizi.

Azizi bercerita, dia beberapa kali dilaporkan ke pihak kepolisian lantaran dituding telah merusak kawasan hutan bakau. Padahal, sejatinya ia sedang melakukan pembersihan batang pohon yang sudah berusia tua dan perlu diganti oleh tanaman dengan akar yang lebih kuat.

"Ada istilahnya di mangrove itu untuk zona 1 apisania, zona kedua harus rhizophora. Kalau tidak mau abrasi maka secepatnya harus kita ganti rhizophora. Saat kita mau ganti ke rhizophora ini kan ada sebagian jenis apisania ini yang harus dibersihkan, nah pada saat membersihkan jenis apisania itulah dicari-cari kesalahan kita," ungkap ayah empat anak itu.

Menggeliatkan Ekonomi Masyarakat

Mangrove
Kegiatan menongkah atau "ski" untuk menanam pohon mangrove. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Langkah kaki Azizi mengarah pada jembatan kayu. Awalnya, jembatan ini difungsikan untuk jalur distribusi perikanan bagi anggota kelompok nelayan yang mengelola keramba kerang. Jembatan ini dinamai Jalan Produksi Perikanan.

Dari jauh terlihat seseorang tengah berada di atas lumpur. Orang tersebut bekerja untuk menanam bibit mangrove yang siap ditebar di lahan berlumpur. Azizi menyebut mereka sedang bermain "ski".

Ski yang dimaksud adalah kegiatan menongkah. Biasanya, menongkah identik dengan menangkap kerang di padang lumpur. Kegiatan ini menggunakan sebilah papan sebagai tumpuan sebelah kakinya dan tempat mengumpulkan kerang yang telah didapatkan. Sementara sebelah kakinya lagi adalah sebagai pengayuh tongkah.

"Kalau tak pakai ski itu, manalah bisa jalan di lumpur," ujar Azizi terkekeh.

Di kawasan Pantai Sejarah memang mudah menemukan para pemburu kerang. Mereka menongkah untuk mencari kerang yang berada di bibir pantai. Maka tak heran jika alat yang sama digunakan untuk berburu kerang diterapkan dalam penanaman bibit mangrove.

Ujung Jalan Produksi Perikanan kini hijau dengan hutan mangrove rapat. Ada jembatan kayu yang bisa membawa pengunjung meliuk-liuk di tengah lebatnya hutan bakau dan api-api.

Di beberapa lokasi ada saung-saung kecil tempat sebagian para pegiat Usaha Mikro Menengah Kecil (UMKM) kuliner, suvenir, dan lainnya. Ada menara yang bisa dipanjat untuk melihat sebaran pohon penahan abrasi itu.

Dari sinilah menggeliatnya ekonomi masyarakat yang berada di pantai, tidak terpikirkan oleh mereka lagi mengenai pondok-pondok yang dulunya menjadi tempat mesum. Dengan adanya perubahan yang cukup kencang yang dilakukan oleh Pemerintah Batu Bara, akhirnya tempat ini menjadi ikon wisata.

Setelah mendapatkan izin perhutanan sosial pada 2018, Azizi dan rekannya mulai merencanakan bagaimana memaksimalkan pemanfaatan izin ini. Dia menyadari bahwa hanya melakukan rehabilitasi hutan tidak cukup. Oleh karena itu, kelompok yang dipimpin Azizi berpikir tentang pengembangan layanan lingkungan dan mulai berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Batu Bara untuk mengembangkan pariwisata.

"Kami berkonsolidasi dengan berbagai lembaga pemerintah seperti Dinas Perikanan, Dinas Pariwisata, Dinas UMKM, dan lainnya untuk merancang ekowisata mangrove. Dengan dukungan penuh dari Pemerintah Batu Bara di bawah kepemimpinan Bapak Bupati Zahir, program-program kami didukung sepenuhnya," ujar Azizi.

Setelah pembangunan Jalan Produksi Perikanan rampung 2020, masyarakat sangat antusias untuk mengunjungi Pantai Sejarah. Ketika pandemi Covid-19 menghantam negeri, kelompok Azizi mencari cara untuk menciptakan sumber ekonomi tambahan bagi masyarakat.

 

Dukungan Pemerintah Daerah

Mangrove
Jalan Produksi Perikanan kini hijau dengan hutan mangrove rapat. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Pihak Azizi mengusulkan pada Pemerintah Kabupaten Batu Bara untuk membangun gazebo-gazebo di sekitar Jalan Produksi Perikanan, yang kini menjadi pusat kuliner di Pantai Sejarah untuk mendukung visi pantai sebagai ikon wisata Batu Bara. Pemerintah Kabupaten Batu Bara memberikan dukungan penuh untuk Pantai Sejarah, memungkinkan Azizi dan rekannya untuk menjalankan program jasa lingkungan di hutan Mangrove tanpa merusaknya.

"Saya enggak lihat ada atau tidak ada proyek penanaman mangrove. Ketika tidak menanam, saya tetap sambil cari ikan kembali jadi nelayan," ujar dia.

Salah satu fungsi mangrove yang kerap Azizi kampanyekan mengenai hutan tempat kembang biak biota laut yang akhirnya jadi sumber kehidupan nelayan dan masyarakat desa. Selain itu, fungsi hutan mangrove bisa  melindungi bencana alam, seperti abrasi, tsunami dan melindungi ekosistem dari badai besar.

"Hal yang saya maknai dari menanam dan memelihara mangrove ini adalah menjaga ekosistem karena dengan terjaganya ekosistem mangrove, maka di sini bisa mendorong ekonomi masyarakat di sekitar," katanya.

Azizi bilang, mereka yang berkecimpung di organisasi nelayan hari ini tidak tuntas mengangkat isu utama. Menurutnya, jarang yang mengekspos bahwa berbicara hasil tangkapan nelayan laut dipengaruhi hutan mangrove. Sehingga organisasi nelayan menganggap kalau hasil tangkapan mereka berkurang karena pukat harimau atau over phising, padahal ada sumbangan besar dari hutan mangrove.

"Memang fakta-fakta tersebut betul adanya. Tetapi ada sumbangan besar dari hutan mangrove. Saya pernah dengar Pak Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri (era Megawati Soekarnoputri), ada 62 jenis udang yang hidupnya dipengaruhi hutan mangrove," tuturnya.

Selain itu, lanjut Azizi, hutan mangrove adalah tempat berkembangnya biota laut. Dia mencontohkan, ikan yang baru menetas ketika terjadinya pasang, akan berlindung ke hutan mangrove.

"Jadi, bagaimana penghasilan penangkapan ikan di sana banyak kalau benihnya di sini (hutan mangrove) tidak selamat. Maka perlulah hutan mangrove ini kita jaga, kita lestarikan," ujarnya.

Latar Belakang Menanam Mangrove

Mangrove
Pembibitan pohon mangrove di Pantai Sejarah. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Langkah besar yang dilakukan Azizi tidak terbentuk begitu saja, kecintaan terhadap lingkungan mulai tumbuh sejak kecil. Terlahir di Desa Perupuk, membuatnya berpikir tentang pentingnya menjaga pesisir pantai.

Ketika lulus dari bangku sekolah tingkat pertama, Azizi menempuh pendidikan di SMK Dwi Warna, Medan. Pada 1987, ia menamatkan jenjang menengah kejuruan.

"Setelah lulus, saya bekerja serabutan. Mulai dari kernet bus di terminal, jadi jampang di terminal sampai jadi anak buah kapal penangkap ikan," ungkapnya.

Kemudian, pada Desember 1988 dia merantau ke Porsea. Di sana, Azizi bekerja untuk Inti Indorayon Utama (IIU) yang sekarang menjadi PT Toba Pulp Lestari.

"Sampai 2000 saya bekerja di sana. Dulu saya di bagian reforestasi, melakukan penanaman eucalyptus. Pernah juga ikut di bagian perencanaan," kata Azizi.

Kembali ke kampung halamannya pada 2000, Azizi memulai usaha budidaya udang windu. Waktu itu, hasil tabungannya selama bekerja di Indorayon digunakan untuk beternak udang windu.

Namun, nasib sial menimpa Azizi. Pada 2001, terjadi penurunan harga udang secara drastis. "Di situlah saya merugi hingga ratusan juta. Saya kembali ke nol," katanya.

Bisnis merugi, Azizi mencoba keluar dari tekanan mental. Ia berusaha keras menghidupi istri dan anaknya. Caranya, ia mencari kepiting di pinggir laut.

"Saya kembali lagi ke hutan mencari kepiting, orang di sini bilangnya tangkul," ucapnya.

Ketika kembali ke hutan bakau, Azizi melihat kondisi yang memprihatinkan. Kayu bakau dan api-api ditebang untuk bangunan atau pembuatan kayu arang.

"Sebelum mangrove kan di sini disebutnya hutan bakau. Melihat kondisinya semakin mengkhawatirkan, saya mulai berpikir untuk ditanam lagi," ujarnya.

Berbekal pengalaman bekerja di Indorayon dalam hal penghijauan, Azizi menanam bakau. Namun tak mudah mengembalikan pohon bakau dan api-api dengan keterbatasan pengetahuan yang dia miliki. Tanam 1.000 paling hanya tumbuh 100 pohon.

Belum lagi menghadapi penebangan liar oleh masyarakat sekitar maupun dari luar. Bahkan, ketika dia menanam bakau, orang menganggapnya sudah gila.

"Saya diejek orang sudah gila karena pergi nangkul kepiting, terus menanam bakau. Saya dianggap orang sudah stres, hampir setahun saya dianggap orang gila karena menanam bakau," tuturnya.

Alasan yang sangat mendasar dari Azizi, dia sadar betul sebagai warga pesisir dan setiap hari bersentuhan dengan laut sehingga perlu ada orang peduli terhadap lingkungan yang dinilainya saat ini sudah rusak.

Di sisi lain, Azizi juga melihat kehidupan ekonomi dan sosial, masyarakat pesisir pantai memprihatinkan. Mereka tidak mampu memanfaatkan potensi pesisir pantai, tanpa merusaknya.

"Mengapa saya cintai pekerjaan ini karena saya punya pengalaman kerja di hutan. Rentang belasan tahun bolak-balik ke hutan muncul kecintaan saya pada hutan. Sehingga saya tidak memfokuskan dalam hutan hutan ini semata-mata uang, tetapi saya berpikir pasti di dalam ini akan menyusul uang artinya saya mengalir saja," tuturnya. 

Pemikiran itu jadi pemantik Azizi melanjutkan pendidikan S1, Jurusan Ilmu Hukum di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Asahan (STIHMA) Kisaran. Dia lulus pada 2011. Azizi banyak bergulat dengan organisasi lingkungan dan lembaga advokasi.

"Jadi, kita masyarakat biasa tetapi alam ini yang mengajarkan kita. Saya berprinsip ilmu itu ada di tengah masyarakat, dan ilmu itu ada di alam ini. Belajarlah kita dengan alam ini maka dapatlah kita ilmunya," ungkapnya.

Peran Inalum

Membatik
Sejumlah ibu-ibu di Desa Perupuk tengah melaksanakan kegiatan membatik yang merupakan binaan PT Inalum. (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Di Pantai Timur Sumatera Utara, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) punya peran dalam pengembangan Ecotourism Mangrove Pantai Sejarah.

Diketahui, sejak 2014 Inalum melakukan konservasi di 20 Hektare lahan mangrove, dengan rincian sebanyak lima hektare digunakan sebagai lahan planting dan 15 Ha melakukan konservasi untuk Lahan Eksisting. Total, selama sembilan tahun Inalum telah melakukan penanaman 51.000 bibit mangrove bakau.

Masih di Pantai Timur Sumatera Utara, Inalum membuat program Edukasi Publik Burung Migran Air yang setiap tahun singgah di Desa Lalang dan Desa Prupuk, Kabupaten Batu Bara. Kedua lokasi tersebut berdekatan dengan Smelter Kuala Tanjung, yang setiap tahun selalu disinggahi 30 jenis Burung Migran yang sedang melakukan migrasi dari Belahan bumi utara ke selatan.

Sebagai langkah merawat siklus tahunan tersebut, Inalum menciptakan Program Ekowisata Bird Wathcing kepada masyarakat sekaligus melakukan sosialisasi Peraturan Desa tentang Perlindungan Burung Air Bermigrasi kepada publik.

Tak sampai di situ, Inalum yang merupakan anggota MIND ID atau Mining Industry Indonesia - holding industri pertambangan BUMN - menggelar program keterampilan masyarakat berupa pelatihan membatik bagi para ibu-ibu di sekitar Desa Perupuk.

Program pemberdayaan masyarakat tersebut bertujuan agar tercipta kemandirian dan kesejahteraan ekonomi melalui pengembangan usaha UMK bagi masyarakat yang berada di sekitaran lokasi operasi Inalum.

Selain mendapatkan pelatihan pembuatan batik mangrove, ibu-ibu di sekitar wilayah Pantai Sejarah pun terlibat langsung dalam kampanye pelestarian lingkungan sekaligus mengembangkan kondisi ekonomi masyarakat sekitar. Program keterampilan masyarakat yang dilakukan oleh Inalum pertama kali diinisiasi sejak 2019 ini dengan tujuan memberikan keterampilan teknis dan sertifikasi yang dibutuhkan di dunia usaha. 

Menurut SEVP SDM dan Pendukung Bisnis Inalum Benny Alexander Wiwoho, program CSR Ekowisata Mangrove Pantai Sejarah ini merupakan program yang bertujuan memberdayakan masyarakat yang ada di sekitar pabrik Inalum di area pembangkit listrik sampai ke area smelter.

"Program yang kita lakukan itu utamanya adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar seperti misalnya kita membina UMKM, mengajar mereka bagaimana membudidayakan tanaman cabai, ikan dan banyak hal lain," ucap Benny.

Benny menjelaskan, kegiatan yang menjadi sasaran program tersebut adalah aktivitas yang umumnya dilakukan oleh masyarakat di sekitar pantai. Namun, CSR ini berupaya untuk membantu agar hasil dari aktivitas tersebut bisa lebih membantu perekonomian mereka.

"Sebetulnya kegiatan itu bisa mereka lakukan sehari-hari, hanya saja karena mereka tidak dibimbing dengan baik, maka apa yang mereka jual hanya seadanya dan apa yang mereka dapatkan pun seadanya. Di sinilah peran kita, yaitu membimbing masyarakat itu agar hasil dan perekonomian mereka naik," katanya.

Program CSR Ekowisata Mangrove Pantai Sejarah oleh PT Inalum sendiri telah mendapat penghargaan dalam kategori Energy and Basic Materials pada gelaran B-Universe CSR Award 2023 yang dilaksanakan 31 Mei 2023 silam.

Mengangkat tema Maximizing Shared Value Through Sustainable CSR Initiatives, acara penghargaan ini bertujuan untuk memberikan apresiasi kepada perusahaan-perusahaan yang telah menjalankan program CSR yang efektif dan inovatif dalam mengatasi dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas ekonomi.

Untuk diketahui, tim riset B-Universe telah mengkurasi lebih dari 800 perusahaan untuk disaring menjadi 100 terbaik, hingga dipilih 30 perusahaan dari 23 sektor yang akan diberikan penghargaan untuk kategori terbaik dari yang terbaik.

"Program yang kita lakukan itu utamanya adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar seperti misalnya kita membina UMKM, mengajar mereka bagaimana membudidayakan tanaman cabai, ikan dan banyak hal lain," ujar Benny.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya