Bangsa Ini Dibangun Para Kutu Buku, tapi Minat Baca dan Literasi Orang Indonesia Kok Rendah?

Sukarno, Muhammad Hatta, Natsir, Agus Salim, hingga Budi Oetomo, adalah para pembaca buku.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 21 Nov 2023, 17:00 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2023, 17:00 WIB
Perpustakaan Mobil Keliling
Membaca buku menjadi salah satu aspek penting dalam mendorong literasi masyarakat Indonesia. (merdeka.com/imam buhori)

Liputan6.com, Banten - Tidak berlebihan jika ada anggapan, negeri ini didirikan oleh para kutu buku. Sebut saja Sukarno, Muhammad Hatta, Natsir, Agus Salim, hingga Budi Oetomo. Mereka para cerdik pandai yang berkontribusi besar terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia itu adalah para pembaca buku.

Sayangnya, saat ini mulai terjadi pergeseran perilaku di lingkungan sosial. Mulai dari mahalnya harga kertas, sistem pendidikan yang masih berkutat pada nilai, miskinnya keteladanan orang tua dalam membiasakan tradisi membaca sejak dini di keluarga, hingga kurangnya intervensi negara dalam mempromosikan budaya membaca, ikut mempengaruhi kualitas literasi yang dimiliki masyarakat.

"Bangsa yang literat merupakan garansi dalam menjawab tantangan zaman," kata akademisi Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA), Pandeglang Eko Supriatno, saat talkshow Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM), Selasa (21/11/2023).

Kesadaran ini yang belum kelihatan betul di masyarakat. Di tambah lagi kebiasaan buruk lainnya. Malas membaca tapi berisik ketika bermain media sosial. Bahkan, dikenal sebagai salah satu negara yang cerewet di dunia maya.

Maka, ketika terjadi perubahan dalam perilaku berliterasi, paradigma perpustakaan pun mau tidak mau juga harus berubah agar tetap menjadi bagian penting dalam pengembangan kualitas manusia unggul.

"Perpustakaan yang dikembangkan berbasis inklusi sosial akan bermanfaat bagi masyarakat," tambah Eko.

Bagi kalangan perguruan tinggi, perpustakaan adalah jantungnya. Pendayagunaan perpustakaan di perguruan tinggi nyata berkontribusi sebagai sumber referensi dan riset. Apalagi, maraknya cyber space yang menurut Wakil Rektor UNMA Taryanto mestinya dapat mendukung kreativitas mahasiswa.

"Itu artinya mahasiswa jangan hanya jago belajar learning by googling," kata anggota Komisi X DPR RI Iip Miftahul Choiri.

 

Perpustakaan sebagai Ruang Publik

Sementara itu, Pustakawan Utama Perpusnas Nelwati menerangkan, sebagai top level pendidikan, perguruan tinggi mesti memiliki strategi pengembangan budaya baca sehingga tercipta iklim yang mendukung kegemaran membaca dan literasi mahasiswa dan dosen.

Ketika perpustakaan diletakkan di masyarakat maka kualitas pengetahuan dan keterampilan, literasi menjadi penting untuk dimiliki siapa pun. Masyarakat dapat berkegiatan di situ dan menjadikan perpustakaan sebagai ruang publik.

"Keunggulan sumber daya manusia suatu bangsa sangat mempengaruhi kemajuan dan peradaban suatu bangsa," kata Nelwati menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya