Liputan6.com, Jakarta - Kondisi kesejahteraan akibat kemiskinan menjadi alasan kuat Perpustakaan Nasional melakukan perubahan paradigma dengan menelurkan program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) sejak 2018.
Program inklusi sosial memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan kemampuan diri lewat bahan bacaan dan pendampingan yang disediakan perpustakaan.
"Inklusi sosial sosial adalah pendekatan berbasis sistem social approach atau pendekatan kemanusiaan (humanistic approach)," ujar Pustakawan Utama Perpusnas Sri Sumekar, saat menghadiri peresmian fasilitas layanan perpustakaan umum bersama Sekretaris Daerah Kabupaten Nganjuk Nur Solekan, Kamis (7/12/2023).
Advertisement
Pendekatan inklusif memandang perpustakaan merupakan sub sistem sosial dalam sistem kemasyarakatan. Untuk itu, perpustakaan harus dirancang agar memiliki nilai kebermanfaatan yang tinggi di masyarakat.
Melalui pendekatan inklusif perpustakaan umum mampu menjadi ruang terbuka bagi masyarakat untuk memperoleh solusi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Hingga saat ini sudah 4.500 mitra Perpusnas yang terdata dalam pengelolaan TPBIS.
"TPBIS melibatkan 3.476.985 anggota masyarakat di kegiatan perpustakan di 3.985 desa/kelurahan yang tersebar di 399 kabupaten/kota," tambah Sri Sumekar.
Dampak positif dari TPBIS terjadi penurunan penduduk miskin di desa sebesar 0,21 persen bilang dibandingkan data per September 2022 (sumber BPS, 2023). Dan yang ikut membanggakan juga dari program ini adalah tidak kurang 18 kabupaten/kota dan 1.125 desa/kelurahan mereplikasi program TPBIS.
Sederhananya, program TPBIS mengubah paradigma perpustakaan yang dahulu hanya sebatas layanan, kini semua sudah bergerak untuk bertransfomasi dalam meningkatkan kesejahteraan sosial.
"Dunia melalui organisasi perpustakaan internasional, IFLA, mengapresiasi program yang dibuat Peprusnas dan menjadi percontohan bagi negara lain," ungkap Sri.
Akademisi dari IAI Diponegoro, Sophingi, menambahkan literasi memang menjadi kunci pembangunan sumber daya manusia. Kehadiran perpustakaan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam pembangunan literasi di masyarakat. Maka itu, perpustakaan diharapkan berkembang cepat menyesuaikan dengan teknologi yang semakin cepat.
"Bahkan, ada satu desa di Nganjuk, yaitu Desa Klagen yang menjadi ladang literasi karena berdiri sekolah perempuan yang dibekali pengajaran dan pendampingan dari program TPBIS," ujar Sophingi.
Literasi di Nganjuk
Aktivitas literasi di Kabupaten Nganjuk bisa dikatakan cukup baik, mengingat banyak penulis lokal yang justru mayoritas adalah para siswa dan guru sekolah. Siswa diwajibkan minimal membuat satu karya tulis per kelas, lalu dikumpulkan dalam bentuk antologi.
"Hasilnya, telah terbit 50 buku karya siswa di Kertosono, Nganjuk, yang sudah dilengkapi ISBN," ujar pegiat literasi Sigit Priyanto.
Pembangunan fasilitas gedung layanan perpustakaan umum Kabupaten Nganjuk menelan biaya sebesar Rp9 miliar yang bersumber dari APBN tahun 2022 melalui dana alokasi khusus (DAK). namun Sekda Nganjuk meminta pada 2025 dianggarkan lagi untuk melengkapi gedung layanan perpustakaan berupa sarana prasarana.
"Bagus, sudah dilengkapi pelayanan bagi disabilitas. Tapi saya harap ruang digital juga semoga bisa dipenuhi pada tahun depan," kata Solekan.
Sejauh ini upaya keras telah ditunjukkan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Nganjuk, seperti program pelayanan Dongkel Beras (Dongeng Keliling Bersama Anak-Anak), perpustakaan keliling, Martabak (Membaca Ragam Cerita Bersama Anak), pelayanan perpustakaan Car Free Day, dan sosialisasi e-book melalui aplikasi e-pusda.
Advertisement