(OPINI) Memupuk Nasionalisme di Laut Indonesia

Perikanan, sebagai salah satu unsur utama dalam narasi pembangunan nasional, memegang peran kunci. Pada tahun 2019, pencapaian mengesankan terlihat dari nilai ekspor hasil perikanan Indonesia yang mencapai Rp 73.681.883.000, meningkat sebesar 10,1% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Udang, tuna, cumi-cumi, gurita, rajungan, dan rumput laut menjadi komoditas yang diminati dalam panggung ekspor.

oleh Tim Regional diperbarui 12 Des 2023, 13:19 WIB
Diterbitkan 12 Des 2023, 13:08 WIB
Kelautan
Dewan Pembina Angkatan Muda Prabowo (Ampera), TKN Prabowo Gibran La Ode Labsin Naadu, S.T., M.M.

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah samudera yang luas, Indonesia muncul sebagai gemerlap Negara Kepulauan. Lautan, yang mencakup 70% wilayahnya, membawa potensi ekonomi kelautan yang tak terhingga. laporan "Refleksi 2017 dan Outlook 2018: Membangun dan Menjaga Ekosistem Laut Indonesia Bersama Ditjen Pengelolaan Ruang Laut" dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kita diundang untuk menjelajahi kekayaan geografis Indonesia. Dengan kebanggaan, negara ini menempati peringkat kedua sebagai pemilik garis pantai terpanjang di dunia, membentang di wilayah seluas 99.093 kilometer persegi. Narasi ini mengungkap keajaiban lautan dan kekayaan bawah laut Indonesia yang memukau.

Tak hanya itu, terdapat di tengah-tengah samudera yang luas, Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, membentang dari Sabang hingga Merauke. Ceritanya terikat pada kekayaan alam yang menawan, dengan 17.499 pulau yang menjadi tempat tinggal untuk berbagai keindahan alam. Luas wilayahnya mencapai angka mengesankan, mencakup sekitar 7,81 juta km2.

Dari luas yang mengagumkan itu, lebih dari tiga juta kilometer persegi adalah lautan yang tak terpisahkan dari kekayaan alam Indonesia. Di antaranya, terdapat 2,55 juta km2 yang masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif, sementara daratan hanya menyumbang sekitar 2,01 juta km2. Dengan wilayah laut yang sedemikian luas, terbuka peluang besar dalam sektor kelautan khsusunya perikanan.

Perikanan, sebagai salah satu unsur utama dalam narasi pembangunan nasional, memegang peran kunci. Pada tahun 2019, pencapaian mengesankan terlihat dari nilai ekspor hasil perikanan Indonesia yang mencapai Rp 73.681.883.000, meningkat sebesar 10,1% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Udang, tuna, cumi-cumi, gurita, rajungan, dan rumput laut menjadi komoditas yang diminati dalam panggung ekspor. Kesuksesan ini memberikan pemahaman mendalam akan urgensi menjaga dan merawat kelimpahan produksi perikanan di Indonesia. Tetapi, seperti kisah alam yang rapuh, tanpa manajemen dan pengawasan yang efektif, sektor perikanan di Indonesia dapat terancam oleh pelanggaran yang mengancam kelangsungan sumber daya laut yang melimpah.

 

Masyarakat Pesisir dan Potensi Perikanan Indonesia

Di tepian wilayah pesisir, masyarakat hidup bergantung pada kekayaan laut sebagai dasar ekonomi. Dalam kelompok beragam ini, terdapat nelayan, petani, pedagang, pembudidaya ikan, dan petambak yang saling bersinergi. Nelayan, sebagai mayoritas di antara mereka, menjadi pilar utama yang mengandalkan hasil laut untuk bertahan hidup.

Menurut riset Mulyadi pada tahun 2005 tentang Ekonomi Kelautan, pemasukan ekonomi masyarakat nelayan erat kaitannya dengan cara mereka mengelola potensi sumberdaya perikanan. Namun, kehidupan di wilayah pesisir pantai juga dihadapkan pada tantangan ekonomi. Pada musim barat, sebagian nelayan memilih untuk tidak melaut, sementara mayoritas bergantung sepenuhnya pada hasil tangkapan laut.

Dinamika ekonomi semakin kompleks dengan jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing ground) yang turut memengaruhi pendapatan mereka. Di daerah padat penduduk, seperti pantai utara Jawa, terjadi kelebihan tangkapan (overfishing) yang merugikan. Ini menyebabkan penurunan volume hasil tangkapan, memberikan dampak negatif terhadap pendapatan nelayan, dan menandai tantangan dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.

Dalam laporan Food and Agriculture Organization (FAO), tergambar tentang dominasi Cina sebagai pemasok utama tangkapan laut global. Meskipun, volume tangkapan mereka mengalami penurunan signifikan, turun dari 14,4 juta ton pada tahun 2015 menjadi 11,77 juta ton pada tahun 2020. Sebuah cerita yang mencerminkan perubahan dan dinamika peran Cina dalam industri perikanan dunia.

Berada di peringkat kedua sebagai produsen produk perikanan terbesar di dunia, Indonesia melukis prestasi cemerlangnya, berada tepat di belakang Cina. Menurut data terkini dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2020), panorama produksi perikanan di negeri ini menyoroti keunggulan pada sektor budidaya dibandingkan dengan perikanan tangkap laut atau perikanan di Perairan Umum Darat (PUD).

Produksi perikanan budidaya mencatat pencapaian gemilang, melonjak dari 7,94 juta ton pada tahun 2011 menjadi 15,79 juta ton pada tahun 2018. Sementara itu, produksi perikanan tangkap laut nasional pada tahun 2010 mencapai 5,04 juta ton, terus meningkat setiap tahunnya, mencapai puncaknya pada tahun 2018 dengan jumlah 6,70 juta ton. Pertumbuhan produksi perikanan tangkap laut mencapai 32,88 persen dalam periode 2010-2018, sementara pertumbuhan produksi perikanan budidaya melonjak hingga 98,83 persen, meskipun menunjukkan kecenderungan perlambatan bahkan penurunan pada tahun 2018. Sebuah narasi produktivitas perikanan Indonesia yang mempersembahkan pencapaian dan dinamika unik dalam setiap lingkupnya.

Dari sisi ekspor, China dan Amerika Serikat tetap mendominasi pasar ekspor hasil perikanan Indonesia, baik dari segi volume maupun nilai. Tergambarlah sebuah peta perjalanan ekonomi dan perdagangan, di mana Indonesia menjalin hubungan yang signifikan dengan dua kekuatan ekonomi global tersebut, menciptakan dinamika menarik dalam cerita ekspor perikanan Indonesia. Di atas kertas, Indonesia memancarkan potensi besar dalam dunia perikanan. Potensi ini tak hanya mencatatkan diri sebagai fakta semata, melainkan sebagai modal besar yang bisa menjadi pendorong utama pembangunan. Sebuah peluang berharga yang tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menjadi pondasi yang kokoh untuk menopang ketahanan pangan nasional.

 

Modernisasi Nelayan dan Perikanan Berlanjutan di Indonesia

Potensi besar yang dimiliki laut Indonesia segesit mungkin direspon dengan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menglobalkan laut Indonesia. Tentunya, hal ini diwujudkan dalam gerakan konkrit melalui kolaborasi antar pemerintah, nelayan dan stakeholder lainnya, sebagai upaya memodernisasikan sektor perikanan Indonesia. Istilah “modern” pastinya sangat melekat dengan penggunaan teknologi, tetapi kenyataan yang terjadi di masyarakat pesisir saat ini ialah ketertinggalan dalam literasi teknologi. Ini juga pastinya akan menjadi pernyataan fundamental yang akan selalu muncul di benak kita, perihal bagaimana memodernkan sektor perikanan Indonesia, sekaligus memodernkan nelayan sebagai aktor utama di sektor tersebut.

Dag Standal & Bjørn Hersoug (2015) dalam risetnya “Shaping technology, building society; the industrialization of the Norwegian cod fisheries” menuturkan bahwa transformasi organisasi dan teknologi menuju industrialisasi sektor perikanan semestinya mengutamakan kondisi psikologis-sosial nelayan agar terjadinya kesepemahaman dan ketersesuaian persepsi antar pemerintah dan masyarakat pesisir, khususnya para nelayan. Riset ini sebagai kritik pada pemerintahan Norwegia yang melakukan agenda politik melalui kebijakannya tentang industrialisasi sektor perikanan, tetapi tidak memperhatikan persepsi dasar masyarakat tentang perikanan. Walhasil, meskipun adanya adaptasi teknologi terkini yang dilakukan pemerintah Norwegia, tetapi itu tidak berdampak siginifikan pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat pesisir dan nelayan di negara mereka.

Fakta di atas memerlukan reinterpretasi yang tepat dalam mengaktualkan modernisasi di sektor perikanan, khususnya di bumi Indonesia. Dalam hal ini, penulis menegaskan bahwa modernisasi dalam arti pilihan teknologi yang diimplementasikan ke masyarakat tidak selalunya harus menggunakan "teknologi terbaik”. Tetapi, dengan mengadopsi teknologi yang dapat disesuaikan dengan nilai-nilai sosial, persepesi sosial dasar masyarakat pesisir, kondisi dinamika ekonomi masyarakat pesisir, dan konteks politik di negara kita, Indonesia. Hemat penulis, ini bisa memberikan sedikit jawaban tentang bagaimana menata sektor perikanan yang modern dan mewujudnyatakan nelayan-nelayan yang berkualitas di Indonesia. Menurut penulis, Pembangunan armada perikanan dengan skema Public-Private-People Partnership (PPPP) dapat menjadi solusi inovatif untuk mengatasi tantangan dalam modernisasi sektor perikanan di Indonesia, dengan memperhatikan kritik yang muncul dari riset Dag Standal & Bjørn Hersoug (2015) terhadap industrialisasi perikanan di Norwegia.

Skema Public-Private-People Partnership (PPPP) adalah bentuk kemitraan strategis antara pemerintah (Public), sektor swasta (Private), dan masyarakat atau individu (People) untuk bekerja sama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan proyek atau program. Dalam konteks pembangunan sektor perikanan, PPPP memungkinkan kolaborasi yang holistik untuk memastikan keberlanjutan, inklusivitas, dan keseimbangan antara kepentingan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

Melalui skema di atas, ada beberapa hal yang menurut penulis mesti menjadi perhatian. Pertama, kesadaran psikologis-sosial nelayan. Dalam skema PPPP, penting untuk memberikan perhatian khusus pada kondisi psikologis-sosial nelayan. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memahami kebutuhan, aspirasi, dan kekhawatiran nelayan. Program pelatihan dan pendidikan dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kesadaran tentang teknologi modern dan manfaatnya bagi nelayan. Sebagai  contoh, di aspek pemerintah dengan mengadakan pertemuan dialog terbuka bersama nelayan dan melakukan survei untuk memahami kebutuhan psikologis-sosial. Di aspek swasta, dengan mendukung pelatihan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nelayan dan berkolaborasi dengan lembaga pendidikan setempat. Di aspek masyarakat, dengan mengorganisir kelompok diskusi komunitas dan membangun jaringan komunitas untuk berbagi pengalaman. Program-program yang bisa dijalankan dapat berbentuk penyelenggaraan workshop di lokasi nelayan dan menyesuaikan aspek psikologis-sosial nelayan dalam kurikulum pelatihan

Kedua, adopsi teknologi sesuai konteks lokal. Penting untuk mengadopsi teknologi yang sesuai dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik Indonesia. Skema PPPP dapat membantu mengidentifikasi teknologi yang dapat disesuaikan dengan nilai-nilai sosial masyarakat pesisir, kondisi ekonomi mereka, dan konteks politik di tingkat lokal dan nasional. Sebagai contoh, pemilihan jenis peralatan penangkapan ikan yang cocok dengan ukuran dan kedalaman perairan setempat, penggunaan teknologi ramah lingkungan yang disetujui oleh masyarakat setempat, pengenalan alat tangkap ikan yang efisien secara biaya untuk nelayan skala kecil, hingga mengidentifikasi hambatan regulasi dan bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi kendala tersebut.

Ketiga, peningkatan infrastruktur dan akses pemasaran. Skema PPPP dapat digunakan untuk meningkatkan infrastruktur perikanan dan memastikan akses pemasaran yang adil bagi nelayan. Investasi dari sektor swasta dapat mendukung pembangunan pelabuhan, cold storage, dan jaringan distribusi yang memadai. Sebagai contoh, dalam peningkatan infrastruktur dapat dilakukan melalui integrasi kerja antar pemerintah, swasta, dan masyarakat dengan Berkolaborasi dengan sektor swasta untuk merencanakan dan membangun infrastruktur perikanan yang diperlukan, seperti pelabuhan modern, fasilitas penanganan ikan, dan perbaikan sarana transportasi. Selain itu, di sektor swasta menyumbangkan investasi finansial dan pengelolaan proyek infrastruktur, misalnya, mendanai pembangunan cold storage untuk menjaga kualitas ikan yang ditangkap. Sehingga di masyarakat dapat memberi masukan terkait kebutuhan infrastruktur di tingkat lokal, memastikan bahwa pembangunan ini benar-benar memenuhi kebutuhan nelayan setempat.

Selain peningkatan infrastruktur, akses pemasaran juga harus menjadi hal yang diutamakan. Dalam hal ini, pemerintah dapat membuat kebijakan untuk memastikan akses pemasaran yang adil bagi nelayan, termasuk regulasi yang mendukung jaringan distribusi yang efisien dan penjualan ikan dengan harga yang menguntungkan. Sehingga sektor swasta dapat membantu menciptakan saluran distribusi yang efisien dan memberikan pelatihan kepada nelayan terkait strategi pemasaran yang memadai. Masyarakat pun dapat berpartisipasi secara aktif, dengan memastikan bahwa sistem pemasaran yang diimplementasikan memberikan keuntungan yang merata kepada semua pihak, termasuk nelayan lokal.

Terakhir, Penguatan Regulasi. Dalam hal ini, pemerintah dapat menggunakan PPPP sebagai alat untuk memperkuat regulasi perikanan yang berkeadilan. Keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan dapat membantu menciptakan kerangka kerja yang mendukung dan melindungi kepentingan nelayan. Sebagai contoh, melalui asas kebersamaan dengan skema PPPP dapat merancang peraturan yang mengatur kuota penangkapan ikan untuk memastikan keberlanjutan sumber daya dan memberikan masukan ahli dan data terkait praktik-praktik perikanan berkelanjutan yang dapat membentuk regulasi yang lebih efektif. Selain itu, membuka forum konsultasi dan dialog dengan masyarakat pesisir serta nelayan untuk memastikan kebutuhan dan aspirasi mereka tercermin dalam kebijakan dan menyelenggarakan pertemuan atau lokakarya yang melibatkan perwakilan nelayan dalam diskusi tentang regulasi dan kebijakan perikanan. Dengan pendekatan ini, PPPP di sektor perikanan dapat menggabungkan aspek teknologi, keberlanjutan ekonomi, dan kesejahteraan sosial, menciptakan landasan untuk pengembangan sektor perikanan yang modern, inklusif, dan berkelanjutan di Indonesia.

 

Jalan Terjal Blue Economy Berbasis Perikanan Menuju Indonesia Emas 2045

Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045, transformasi dari konsep Blue Economy bukan hanya menjadi keniscayaan tetapi sebuah tantangan yang menuntut revolusi dalam pengelolaan sumber daya laut. Bagaimana langkah strategis dalam mengubah Blue Economy menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan lingkungan? Inilah perbincangan mendalam yang akan membawa kita melewati perairan biru menuju cakrawala emas Indonesia pada tahun 2045. Berdasarkan data dari kementrian investasi/BKPM, sejak tahun 2016 hingga 2022, dari segi kontribusi terhadap PDB nasional, PDB Sektor Perikanan tahun 2016-TW 1 2022 relatif stabil (pada kisaran 2,2-2,4%). Dari segi nominal, PDB di sektor perikanan rata-rata mengalami peningkatan sebesar Rp 10,7 triliun/tahun, namun pada tahun 2019-2020, peningkatan hanya sebesar Rp 1,6 triliun (0,65%) sebagai dampak pandemi Covid-19. Peningkatan kembali normal memasuki tahun 2021 (Rp 13,9 triliun). Pada TW 1 tahun 2022, PDB Perikanan mecapai 63,3 Triliun Rupiah (berkontribusi sebesar 2,25% terhadap PDB nasional TW 1 tahun 2022).

Selain itu, berdasarkan data trademap, hingga tahun 2021, Indonesia masih berada di posisi 13 negara-negara eksportir produk perikanan. Dalam hal ini, nilai ekspor produk perikanan nasional pada tahun 2021 sebesar USD 3,7 Miliar meningkat 5,5% dibanding tahun 2020. Akan tetapi, untuk menjadi 5 besar negara eksportir produk perikanan, paling tidak nilai ekspor produk perikanan nasional harus mencapai > USD 5,9 Miliar. Meskipun kontribusi perikanan masih dianggap rendah dalam realisasi investasi maritim dan membutuhkan nilai ekspor yang lebih tinggi, peningkatan nilai PDB sektor perikanan dan nilai ekspor menunjukkan adanya potensi pertumbuhan yang signifikan.

Menurut penulis, yang membuat Norwegia berada di puncak pertama sebagai negara yang memiliki nilai ekspor tertinggi berdasarkan data trademap 2021, itu dikarenakan adanya adaptasi teknologi yang sesuai dengan pemahaman masyarakat dan kebijakan limited access, yang berarti sektor penangkapan ikan tertutup bagi orang asing dan kapal asing dan mensyaratkan izin penangkapan ikan. Berangkat dari hal itu, kita dapat berkesimpulan bahwa meskipun ada hasil yang signifikan dari perikanan terhadap PDB dan nilai ekspor, tetapi kurang menyoroti kesejahteraan sosial nelayan dan upaya lebih menjaga keberlanjutan sumber daya laut, yang seharusnya itu bisa dicapai melalui penguatan regulasi dan penerapan skema Public-Private-People Partnership (PPPP). Sehingga pendekatan holistik yang mencakup pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial nelayan, dan keberlanjutan sumber daya laut menjadi kunci. Norwegia berhasil menggabungkan adaptasi teknologi yang sesuai dengan pemahaman masyarakat, kebijakan limited access, dan perhatian terhadap kesejahteraan sosial.

Dalam mencapai Indonesia Emas 2045, penting untuk mengadopsi teknologi yang relevan dengan kebutuhan lokal. Skema PPPP dapat menjadi wadah untuk membawa inovasi teknologi ke sektor perikanan, tetapi perlu diperhatikan agar teknologi tersebut dapat diintegrasikan dengan baik dalam kehidupan masyarakat pesisir. Selain itu, regulasi yang ketat dalam skema PPPP perlu diperkuat untuk menjaga keberlanjutan sumber daya laut. Keberhasilan Norwegia dalam mengamankan posisi ekspornya sebagian besar disebabkan oleh kebijakan limited access yang melibatkan izin penangkapan ikan. Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa untuk melindungi sumber daya lautnya.

PPPP juga dapat menjadi alat yang efektif untuk memberdayakan nelayan. Melalui kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, program pemberdayaan seperti pelatihan keterampilan dan akses pendidikan dapat memberikan manfaat langsung kepada nelayan. Ini akan membantu meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi mereka. Bahkan, keterlibatan langsung masyarakat pesisir, termasuk nelayan, dalam pengambilan keputusan melalui skema PPPP menjadi kunci kesuksesan. Ini memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan realitas lokal, sehingga dapat lebih efektif dalam menjaga keberlanjutan sumber daya laut.

PPPP juga dapat menjadi pendorong inovasi dan kreativitas dalam sektor perikanan. Kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah dapat membuka pintu bagi solusi-solusi baru yang berfokus pada efisiensi operasional, keberlanjutan, dan peningkatan nilai tambah dalam rantai pasok perikanan. Terakhir, Skema PPPP dapat memberikan akses pendanaan yang lebih baik untuk pembangunan armada perikanan. Dengan melibatkan sektor swasta, pemerintah dapat mengurangi beban fiskal dan membuka pintu untuk investasi yang lebih besar dalam infrastruktur perikanan. Dengan demikian, menuju Indonesia Emas 2045 dengan membangun armada perikanan menggunakan skema PPPP memerlukan pendekatan terintegrasi yang melibatkan berbagai pihak. Dengan memperhatikan aspek pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan, skema PPPP dapat menjadi instrumen yang kuat untuk meraih visi Indonesia sebagai negara yang makmur, berkelanjutan, dan adil hingga tahun 2045.

(Penulis: Dewan Pembina Angkatan Muda Prabowo (Ampera), TKN Prabowo Gibran La Ode Labsin Naadu, S.T., M.M.)

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya