Komunitas Pecinta Alam KPA Lancah Ajak Anak Muda Peduli Lingkungan

Semua orang mesti mencintai dan merawat alam dengan cara yang ia bisa

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 02 Feb 2024, 18:00 WIB
Diterbitkan 02 Feb 2024, 18:00 WIB
KPA Lancah
Pelantikan angkatan ke-3 Komunitas Pecinta Alam (KPA) Lancah, Kampung Sukanagara, Desa Maruyung, Kecamaten Pacet, Kabupaten Bandung. Minggu, 28 Januari 2023.

Liputan6.com, Bandung - Lestarikan alam hanya celoteh belaka. Oh, jelas kami kecewa menatap rimba yang dulu perkasa, kini tinggal cerita. Bencana erosi selalu datang menghantui, tanah kering kerontang, banjir datang itu pasti. Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi musnah dengan sendirinya akibat rakus manusia.

Dengan suara separuh sumbang, lagu "Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi" karya Iwan Fals itu dilantunkan Fajar Ramadan dan karib-karibnya di depan hangat api unggun, Minggu malam, 28 Januari 2024 lalu.

Mereka yang berkumpul adalah anak muda anggota Komunitas Pecinta Alam (KPA) Lancah. Meski lelah sehabis turun gunung dari Gunung Kolotok, Kabupaten Bandung, Fajar dan teman-temannya masih cukup tenaga untuk bercengkrama dan saling berbagi kisah kecintaan dan harapan mereka akan kelestarian alam.

"Manusia harus mencintai dan merawat alam untuk kehidupan berkelanjutan, bukan hanya untuk sekarang saja," kata lelaki berusia 24 tahun itu kepada Liputan6.com di pinggiran lapangan voli Kampung Sukanagara, Desa Mekarsari, Kecamaten Pacet, Kabupaten Bandung.

Selama tiga hari, dari tanggal 26-28 Januari 2024, Fajar dan senior lainnya membimbing adik-adik mereka yang akan jadi anggota muda KPA Lancah. Fajar jadi salah satu panitia Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) angkatan ke-3 KPA Lancah itu.

Diklatsar diisi ragam kegiatan dari mulai penyampaian materi dasar seperti cara menyalakan api, cara bertahan di hutan, navigasi darat, hingga vertical rescue, serta soal merawat solidaritas antarkawan.

Menurut Fajar, anak muda penting untuk aktif di komunitas pencinta alam. Dengan berkumpul dan berorganisasi, mereka bisa saling belajar menumbuhkan kepedulian pada lingkungan, pun lebih memahami hubungan diri dengan alam.

"Jadi pendaki gunung adalah pilihan, tapi jadi pencinta alam adalah kewajiban. Semua orang mesti mencintai dan merawat alam dengan cara yang ia bisa," kata lelaki yang juga dikenal sebagai Fajar Kaldera itu.

"Mendaki gunung, masuk ke hutan, bagi saya terasa membentuk karakter diri agar jadi manusia yang lebih memerhatikan alam. Sekarang banyak terjadi bencana, longsor, banjir dan sebagainya karena hutan kian kritis," imbuhnya.

Lalakon Carita Kahirupan

KPA Lancah disepakati berdiri sejak 6 Juni 2016. Dirintis sekian pendiri yang di antaranya seorang guru dan pegiat kebudayan Sunda, Ius Rusli alias Ki Jagur (47).

Dia bercerita, nama Lancah diambil dari Bahasa Sunda yang berarti laba-laba, juga berupa akronim dari Lalakon Carita Kahirupan, secara bebas dapat diartikan perjalanan cerita kehidupan.

"Apapun yang kita dengar, lihat atau rasa itu adalah pelajarannya tergantung kita membacanya. Pelajaran yang tersurat atau tersirat. Yang tersirat tuh, ya, ini semua (alam semesta), pohon, suara kodok," ujarnya.

Bagi Ki Jagur, hidup adalah suatu perjalanan berkisah dalam bentuk ucapan dan tingkah polah, entah baik atau buruk, sepanjang usia.

Setiap manusia mesti berupaya menorehkan cerita yang baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, pun alam sekitar. Harga diri itu terletak pada cerita apa yang kita ukir semasa hidup.

"Selama kita hidup berarti kita mempunyai cerita, cerita kehidupan kita disebutnnya lalakon. Bagaimana kita selama ini berhubungan dengan alam adalah bagian di antaranya," kata dia.

KPA Lancah didorong oleh semangat bermain, berbuat baik pada sesama, dan pelestarian lingkungan. Kata Ki Jagur, semangat dan nama KPA Lancah pun terinspirasi dari surat laba-laba, surat Al Ankabut dalam Al-Qur'an.

"Kurang lebih disebutkan bahwa hidup adalah tempat senda gurau dan permainan belaka, bagi mereka yang mengetahuinya. Kalau dalam Bahasa Sunda mah alam dunya teh tempat kaulinan jeng kaheureuyan, eta ge lamun maraneh nyaho," katanya.

"Makanya, hidup adalah ulin (bermain). Dengan banyak ulin kita bisa banyak mengetahui. Saat ulin itu ada silaturahmi dengan sesama termasuk dengan alam. Silaturahmi membukakan pintu-pintu kebaikan. Ulin itu kudu (harus) dan jangan lupa ceria," lanjutnya.

Sejak berdiri, KPA Lancah sudah memiliki tiga angkatan. Kebanyakan merupakan pelajar yang mukim di kisar Kecamatan Pacet, Ciparay, Majalaya. Meski begitu, komunitas mereka adalah perkumpulan umum, anak-anak muda dari berbagai latar sosial bisa berkumpul.

"Untuk masuk KPA lancah syaratnya hanya dua. Izin orang tua dan berkeinginan berorganisasi, maksudnya bergerak, bekerja, berkehidupan. Tidak jadi masalah mau siswa SMA, kuliah atau pengangguran karena kita semua sama-sama manusia. Selama ada kemauan dan dilaksanakan, punya niat baik dan niat baik itu dilaksanakan, Insha Allah bakal jadi nilai," katanya.

KPA Lancah kerap menyorot masalah sampah dan penghijauan lahan. Dengan menenam pohon, kata Ki Jagur, semoga bisa menjadi sedekah oksigen, bekal amal yang panjang.

 

Keresahan Soal Kerusakan Alam

Ajeng Siti Sopiah (16), Widiawati Komalasari (19), Alifiannur (18), dan Fahmi (19), adalah empat anak muda yang baru dilantik jadi anggota muda KPA Lancah di lapangan voli Kampung Sukanagara, Desa Mekarsari, Kecamaten Pacet, Kabupaten Bandung, pekan lalu, 28 Januari 2024.

Mereka sama-sama memendam kecintaan, harapan dan keresahan soal lingkungan. Ajeng, misalnya, merasa jika persoalan sampah di lingkungannya adalah masalah yang mesti diselesaikan bersama-sama. Sampah bisa turut jadi pangkal kerusakan alam.

Ajeng juga resah soal wilayah hijau yang dilihatnya kian menyusut akibat alih fungsi lahan jadi perumahan-perumahan.

"Di gunung, di daerah itu kan banyak pohon. Terus ditebang untuk bikin perumahan. Serapan airnya jadi kurang. Soal sampah juga. Aku sering lihat (sampah-sampah) di sungai, sungainya jadi tersendat lalu banjir," ucapnya.

Kita harus menjaga alam, kata Ajeng. Kita harus sadar hidup berdampingan dengan alam. Kita butuh alam. Ketika kita menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita.

Di samping Ajeng, Widiawati pun punya keresahannya sendiri. Dia resah melihat kerusakan daerah resapan air yang dinilai dapat memicu bencana longsor di Kabupaten Bandung.

"Longsor itu kan karena ulah manusia juga. Sangat bahaya kalau pohon di gunung itu terus berkurang karena ditebang. Pohon itu bisa menahan air, tanahnya jadi kuat. Pohon juga menghasilkan oksigen. Kalau tidak menjaga alam, akibatnya akan kita rasakan sendiri berupa bencana," kata Ajeng.

Sementara Fajar Kaldera, mengaku tengah resah soal ancaman alih fungsi cagar alam menjadi taman wisata alam. Dalam hal ini, Fajar menyinggung Keputusan Menteri LHK Nomor SK.25/Menlhk/Setjen/PLA.2/1/2018 tentang Perubahan Fungsi Sebagian Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam.

Fajar resah dengan perubahan status Cagar Alam Kamojang di Kabupaten Bandung dan Cagar Alam Gunung Papandayan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, menjadi Taman Wisata Alam.

"Parahnya lagi kawasan cagar alam, kawasan konservasi, sudah dirusak oleh segerombolan manusia tidak bertanggung jawab," katanya.

"Kenapa menjadi keresahan buat saya? karena mungkin nanti beberapa tahun yang akan datang, bencana ekologi, bencana kemanusiaan akan terus terjadi bahkan bisa lebih parah. Dan generasi saya dan adik-adik saya sangat mungkin yang akan menanggungnya" tegas Fajar.

 

Jaring Lancah di FKPA

KPA Lancah kini turut jadi bagian dalam Forum Komunitas Pencinta Alam (FKPA) Kabupaten Bandung. Sekjen FKPA Kabupaten Bandung, Wisnu Budi Irawan, mengatakan, KPA Lancah menjadi komunitas pencinta alam umum yang berjejaring dengan anggota forum lainnya.

Berdasarkan pendataan FKPA, kata Wisnu, ada sekitar 540 komunitas pencinta alam se-Kabupaten Bandung yang masuk forum. Tapi yang aktif tercatat 270 komunitas, baik KPA umum, sispala di sekolah, maupun mapala di tingkat universitas.

"Yang mendorong dibentuknya FKPA di Situ Cisanti pada 2005 lalu itu adalah munculnya ketakutan terhadap lingkungkan tempat tinggal kita sehari-hari, baik kawasan hutan, kampung halaman, yang semakin ke sini itu semakin rusak," kata Wisnu.

Wisnu menyampaikan, fokus FKPA di antaranya mendata lahan kritis dan melakukan penghijauan lahan-lahan kritis, penyelamatan mata air, kebencanaan, serta pelestarian seni budaya lokal.

"Dari tahun 2005 sampai hari ini, Alhamdulillah teman-teman ini tanpa ada bantuan dari pemerintah kabupaten pun tetap bergerak. Selama ini kita mengandalkan uang kas atau hasil dari patungan atau reongan, swadaya kelompok," katanya.

Wisnu berharap, anak muda di KPA Lancah bisa terus tumbuh menjadi individu yang peduli sesama dan alam sekitar. Berjejaring dengan komunitas lain, sehingga kelak turut jadi bagian masyarakat yang sadar akan hubungannya dengan alam.

"Kita semua itu sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, dan kita manusia ini bisa jadi adalah sumber masalah. Tapi ingat, kita juga bisa berupaya untuk turut menjadi solusi dalam masalah lingkungan," katanya.

 

Susutnya Lahan Hijau

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat (Jabar) menyoroti masalah alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Selatan (KBS). Ancaman yang kiranya sedang dijelang akibat masalah lingkungan itu adalah krisis air.

Tidak hanya jadi ancaman serius bagi KBS, penyempitan lahan terbuka hijau itu juga diyakini bakal berimbas ke daerah lainnya di sekitar Cekungan Bandung.

Amatan Walhi Jabar, alih fungsi lahan di KBS masif terjadi akibat beberapa kepentingan di antaranya perluasan pemukiman, industri dan pembukaan kawasan wisata.

Kondisi kini diyakini bisa semakin parah mengingat Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung merupakan bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Alih fungsi lahan untuk pemukiman di antaranya terjadi di daerah seperti Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, Ciparay, Arjasari, Katapang, Soreang, Majalaya, Solokan Jeruk, Cicalengka dan Rancaekek.

Lahan terbesar yang berubah menjadi pemukiman adalah kawasan pertanian. Padahal, seburuk-buruknya wilayah pertanian dianggap masih bisa meresapkan air. Berbeda dengan lahan pemukiman, tanah-tanah akan tertutup dengan tembok dan aspal jalan.

Merujuk opendata.jabar, tercatat seluas 907.683,68 hektare lahan kritis di Jawa Barat per 2022 lalu. Diduga, luasan lahan kritis tersebut semakin bertambah tiap tahun, seiring dengan intervensi berbagai kegiatan, salah satunya rencana-rencana kegiatan infrastruktur serta pembangunan properti, tambang, dan maraknya izin usaha wisata alam di Jawa Barat.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudi Iwang, mengatakan, dari tahun ke tahun wilayah Provinsi Jawa Barat mengalami deforestasi serta degradasi kawasan hutan yang signifikan.

Bentang alam berubah akibat alih fungsi lahan yang berlebihan, baik daerah perdesaan, rural hingga daerah urban.

Khusus di Bandung Raya, lahan yang berstatus sangat kritis di Kabupaten Bandung tercatat seluas 46.678,84 hektare, Kabupaten Bandung Barat seluas 53.018,62 hektare, Kota Cimahi seluas 616,03 hektare dan Kota Bandung 837,42 hektare.

Memasuki 2024 ini, luasan lahan kritis itu diduga kian bertambah, di antaranya terjadi penyusutan tutupan lahan (Tuplah) di Bandung Raya.

"Kebijakan pemerintah pun paling dominan juga memberikan kontribusi kuat terhadap masalah tersebut," kata Iwang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya