Mengapa Penentuan 1 Ramadan Sering Berbeda? Pahami soal Hisab, Rukyat, dan Sidang Isbat

Mengapa di Indonesia penentuan 1 Ramadan kerap kali berbeda dan harus dilakukan dengan Sidang Isbat? Berikut penjelasannya.

oleh Tim Regional Diperbarui 26 Feb 2025, 16:11 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2025, 16:11 WIB
Pantauan Hilal Penentuan 1 Syawal 1443 H
Petugas Masjid Al-Musyariin mengamati posisi hilal menggunakan teropong saat Rukyatul Hilal di Jakarta, Minggu (1/5/2022). Pemantauan hilal yang dilakukan menggunakan teropong tersebut memastikan Idul Fitri 1443 H jatuh pada 2 Mei 2022. (Liputan6.com/Faizal Fanani)... Selengkapnya

 

Liputan6.com, Jakarta - Berbeda dengan negara lain, di Indonesia penentuan 1 Ramadan kerap kali berbeda dan harus dilakukan dengan Sidang Isbat. Perbedaan pendapat di antara para ahli, khususnya antara mereka yang lebih menekankan hisab (seperti Muhammadiyah) dan rukyat (seperti NU), seringkali menjadi sorotan utama. Proses ini melibatkan perhitungan astronomis (hisab) dan pengamatan langsung (rukyat) hilal, bulan sabit muda, yang penampakannya menandai awal bulan baru dalam kalender Hijriah.

Hisab, menggunakan perhitungan matematis dan astronomi untuk memprediksi posisi hilal. Jika perhitungan menunjukkan hilal telah terwujud di atas ufuk, maka awal bulan baru dapat ditetapkan. Namun, hisab tak menjamin terlihatnya hilal secara kasat mata karena faktor cuaca. Rukyat, sebaliknya, melibatkan pengamatan langsung hilal setelah matahari terbenam. Keberhasilannya bergantung pada kondisi cuaca dan kemampuan pengamat. Inilah sumber utama perbedaan pendapat.

Perbedaan pendapat utama terletak pada kriteria hilal yang terlihat. Beberapa organisasi menggunakan kriteria lebih ketat, menetapkan awal bulan hanya jika hilal terlihat jelas, sementara yang lain lebih longgar. Ini berdampak pada penetapan tanggal awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Pemerintah, melalui sidang Isbat, berupaya mengakomodasi kedua metode, mempertimbangkan hasil hisab dan rukyat, serta masukan dari berbagai organisasi Islam. Namun, keputusan akhir bisa berbeda dengan penetapan organisasi Islam independen.

Metode Hisab dan Rukyat: Dua Pendekatan Berbeda

Metode hisab, yang dianut Muhammadiyah, bersifat lebih prediktif. Perhitungan astronomis yang teliti digunakan untuk menentukan posisi hilal. Jika hisab menunjukkan hilal telah wujud, maka awal bulan baru ditetapkan, terlepas dari apakah hilal terlihat atau tidak. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa perhitungan astronomis sudah cukup akurat.

Sebaliknya, metode rukyat, yang lebih diutamakan NU, menekankan pada pengamatan langsung hilal. Pengamatan ini dilakukan oleh tim rukyat yang terlatih di berbagai lokasi. Awal bulan baru hanya ditetapkan jika hilal terlihat secara kasat mata. Metode ini lebih bergantung pada faktor alamiah, seperti kondisi cuaca dan ketajaman penglihatan.

Perbedaan mendasar ini terletak pada prioritas: kepastian perhitungan (hisab) versus kepastian pengamatan (rukyat). Tidak ada yang salah dengan kedua metode tersebut, tetapi perbedaan kriteria inilah yang menyebabkan perbedaan penetapan tanggal.

Perbedaan Pendapat dan Dampaknya

Perbedaan penetapan tanggal-tanggal penting keagamaan ini menimbulkan beberapa dampak. Pertama, ketidakpastian bagi umat Islam dalam menentukan kapan memulai ibadah puasa atau merayakan hari raya. Kedua, potensi perpecahan dan perdebatan antar kelompok umat Islam. Ketiga, keraguan dan mengurangi kesatuan umat.

Pemerintah dan organisasi Islam berupaya mengurangi perbedaan ini melalui standarisasi kriteria, sosialisasi metode hisab dan rukyat, serta dialog dan musyawarah. Namun, perbedaan pendapat tetap menjadi bagian dari dinamika keagamaan dan ijtihad. Yang terpenting adalah menjaga toleransi dan persatuan umat.

Sidang Isbat: Mencari Titik Temu

Sidang Isbat menjadi forum utama untuk membahas dan memutuskan penetapan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Dalam sidang ini, hasil hisab dan laporan rukyat dari berbagai wilayah di Indonesia dipertimbangkan. Tujuannya adalah mencapai kesepakatan dan kepastian bagi seluruh umat Islam.

Meskipun demikian, keputusan pemerintah tetap dapat berbeda dengan penetapan beberapa organisasi Islam. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam menggabungkan dua metode yang berbeda dan mengakomodasi berbagai pandangan keagamaan.

Proses ini melibatkan berbagai pihak, termasuk ulama, ahli astronomi, dan pemerintah. Tujuannya adalah untuk memastikan penetapan awal bulan-bulan penting dalam kalender Islam dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan keagamaan.

Perbedaan metode hisab dan rukyat dalam menentukan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha merupakan realitas yang perlu dipahami. Meskipun perbedaan pendapat dan penetapan tanggal dapat terjadi, penting untuk menjaga toleransi dan persatuan umat Islam. Sidang Isbat, dengan upaya mengakomodasi berbagai pandangan, berperan penting dalam mencari titik temu dan memberikan kepastian bagi seluruh umat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya