Kawa Daun, Jejak Budaya dalam Seduhan Daun Kopi dari Ranah Minang

Dalam keterbatasan itulah lahir cita rasa baru yang khas dan unik, sekaligus menjadi bukti kecerdikan masyarakat lokal

oleh Panji Prayitno Diperbarui 21 Apr 2025, 07:00 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2025, 07:00 WIB
Kawa Daun, Jejak Budaya dalam Seduhan Daun Kopi dari Ranah Minang
Kawa daun yang ditambah susu kental manis. (Liputan6.com/ Novia Harlina)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Kawa Daun adalah salah satu warisan budaya kuliner Indonesia yang sarat makna dan sejarah, berasal dari Ranah Minang, tepatnya Sumatera Barat.

Minuman ini berbeda dengan kopi pada umumnya, karena bukan biji kopi yang digunakan, melainkan daun kopi yang telah melalui proses pengeringan dan pemanggangan. Di kalangan masyarakat Minangkabau, kawa daun bukan sekadar minuman, tetapi juga simbol kedekatan sosial dan cerminan daya cipta dalam memanfaatkan alam sekitar.

Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, ketika biji kopi yang dihasilkan petani lokal harus diserahkan kepada penjajah, sehingga masyarakat hanya menyisakan daun pohon kopi yang kemudian diolah menjadi minuman alternatif masyarakat Minangkabau.

Dalam keterbatasan itulah lahir cita rasa baru yang khas dan unik, sekaligus menjadi bukti kecerdikan masyarakat lokal dalam menghadapi kondisi sosial ekonomi yang tidak berpihak.

Dari sejarahnya yang sederhana namun bermakna ini, kawa daun tumbuh menjadi identitas budaya yang melekat kuat di hati masyarakat Minangkabau hingga kini.Kawa daun disajikan dengan cara yang cukup unik dan tradisional, yakni menggunakan tempurung kelapa sebagai wadah minumnya, memberikan sensasi berbeda dalam setiap tegukan.

Penyajiannya sering kali dibarengi dengan kudapan tradisional seperti lamang tapai atau pinyaram, menciptakan pengalaman yang tidak hanya menyentuh lidah, tetapi juga hati dan ingatan. Daun kopi yang digunakan dalam pembuatan kawa daun biasanya berasal dari pohon kopi robusta atau arabika yang tumbuh subur di perbukitan Sumatera Barat.

Setelah dipetik, daun-daun tersebut dijemur hingga kering, kemudian disangrai di atas tungku kayu dengan api kecil agar aroma khasnya keluar dengan maksimal. Proses ini bukan hanya sekadar teknik memasak, tetapi juga bagian dari tradisi yang diturunkan secara turun-temurun.

Rasa yang dihasilkan dari kawa daun sangat berbeda dengan kopi biasa lebih ringan, tidak pahit, dengan aroma herbal yang lembut dan menenangkan. Bahkan, beberapa orang menyebut rasanya lebih mirip teh dengan nuansa kopi, menjadikannya minuman yang cocok bagi mereka yang ingin menikmati cita rasa kopi tanpa kandungan kafein berlebih.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Perjalanan Kuliner Bangsa

Di tengah derasnya arus modernisasi dan masuknya beragam budaya luar, kawa daun tetap bertahan sebagai simbol lokalitas yang kuat. Banyak kedai tradisional di Padang Panjang, Bukittinggi, dan wilayah lainnya di Sumatera Barat yang masih mempertahankan tradisi menyajikan kawa daun.

Bahkan, minuman ini kini mulai mendapatkan tempat di hati para wisatawan domestik maupun mancanegara yang tertarik mengeksplorasi kekayaan kuliner Nusantara. Kawa daun bukan sekadar minuman yang memanjakan lidah, tetapi juga pintu masuk untuk mengenal lebih dalam falsafah hidup orang Minang yang menjunjung tinggi kearifan lokal dan semangat bertahan dalam kesederhanaan.

Dalam secangkir kawa daun, terkandung filosofi gotong royong, kesetaraan, dan kesederhanaan hidup yang diajarkan sejak kecil dalam budaya Minangkabau. Maka tak heran jika kawa daun tidak hanya dinikmati, tetapi juga dihargai sebagai bagian dari perjalanan sejarah dan identitas masyarakat Sumatera Barat.

Kini, di tengah tren kopi modern yang menjamur di berbagai kota besar di Indonesia, kawa daun perlahan-lahan mulai bangkit kembali. Para pegiat kuliner tradisional dan pelestari budaya mulai memperkenalkan kembali minuman ini ke generasi muda melalui festival, pameran kuliner, hingga media sosial.

Banyak anak muda Minangkabau yang kini bangga menyuguhkan kawa daun sebagai simbol kecintaan terhadap tanah kelahiran mereka. Tak sedikit juga yang melakukan inovasi, seperti menambahkan rempah-rempah khas seperti jahe, serai, atau kayu manis untuk memberikan variasi rasa yang lebih beragam.

Hal ini menunjukkan bahwa tradisi tidak harus berhenti di masa lalu, melainkan dapat bertransformasi dan hidup berdampingan dengan zaman. Kebangkitan kawa daun ini juga menjadi penanda bahwa masyarakat mulai kembali melihat pentingnya mempertahankan kearifan lokal sebagai bagian dari identitas nasional yang tak ternilai.

Dalam perjalanan kuliner bangsa, kawa daun adalah secangkir kecil dari laut rasa yang luas dan mendalam, namun cukup kuat untuk membawa kita kembali pada akar budaya yang sesungguhnya.

Penulis: Belvana Fasya Saad

 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya