The Philosophers, Membumikan Filsafat

The Philosophers sejatinya lebih dari sekadar film Hollywood Cinta Laura. Apa makna terdalamnya?

oleh Ade Irwansyah diperbarui 12 Jun 2014, 16:20 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2014, 16:20 WIB
The Philosophers, Membumikan Filsafat
The Philosophers sejatinya lebih dari sekadar film Hollywood Cinta Laura. Apa makna terdalamnya?

Liputan6.com, Jakarta Siapa yang suka mencurigai dan membenci filsafat, pergilah nonton The Philosophers. Resapi filmnya. Sebab, di film itu Anda akan menyaksikan sesuatu yang asyik bernama filsafat.

Filsafat, dalam film ini merupakan tokoh utama yang tak nampak, tapi dengan cepat menyihir sejumlah anak muda.

Di sebuah kelas di satu sekolah menengah atas internasional di Jakarta, anak-anak muda cemerlang dari berbagai bangsa ditantang sang guru di hari terakhir kelas fiilsafat jelang kelulusan. Mereka bermain-main dengan filsafat, logika dan moral, juga nasib manusia pasca hari akhir.

Di kelas, sang guru (diperankan James D’Arcy) mengajukan persoalan: Jika sebuah bencana nuklir dalam skala global mengancam kehidupan manusia, dan hanya tersedia sebuah bunker yang cukup diisi sepuluh orang untuk hidup selama setahun, terbebas dari udara yang tercemar radiasi, siapa yang layak masuk bunker dan siapa yang harus tersingkir?

Sebelum menjawabnya, baiknya meresapi dahulu apa itu filsafat. Filsafat sering disebut juga ibu ilmu pengetahuan. Dalam esai panjangnya di edisi khusus majalah Time berjudul "The Asking Animal" awal tahun 1998, sejarawan Amerika Daniel J. Boorstin menyebut filsafat sebagai sebentuk pencarian manusia sebagai makhluk yang haus akan pengetahuan, makhluk yang bertanya-tanya.

Di Yunani abad ke-4 SM, tersebutlah apa yang dinamakan Boosrtin sebagai "Greek miracle", keajaiban dari tanah Yunani Kuno. Di sana, Socrates, sang filsuf, mengajarkan pandangan filsafatnya tidak didaktik atau selayaknya seorang guru otoriter di kelas. Ia mengajak orang-orang maupun muridnya berdialog, mencari kebenaran bersama-sama.

Saat mengantarkan buku filsafat Berkenalan dengan Eksistensialisme (1973), Fuad Hasan menulis filsafat merupakan sebuah pencarian kebenaran yang terbuka; terbuka untuk diketahui, dipelajari, dan diteliti. Tapi selain itu juga terbuka untuk dinilai dan dikritik. Pada titik ini, filsafat adalah semacam suatu ikhtiar berpikir dan bukan dimaksudkan untuk merumuskan suatu doktrin yang final dan konklusif sehingga tidak boleh digugat.

Next page: Klik angka 1 di bawah.

Hakikat The Philosophopers

The Philosophers Syuting di Indonesia, Adakah Kendalanya?
Penggambaran alam Indonesia terlihat indah di The Philosophers. Namun, di balik gambar indah itu ada cerita kerja keras sineasnya.

Ada praduga filsafat adalah semacam spekulasi belaka dan tidak berakar pada realitas, hingga filsafat tidak mempunyai nilai apapun bagi kehidupan di dunia nyata. Ada juga yang menganggap filsafat sekadar kegiatan kontemplasi utuk mencari hakikat atas sesuatu yang nyata. Atau lagi ada yang mempersempitnya, memandang filsafat identik hanya sebatas logika, atau etika, atau kadang-kadang estetika.

Semua pandangan itu keliru. Dan film ini, `The Philosophers` atawa para filsuf, membantahnya dengan amat baik. Filsafat juga persoalan praktis.

Syahdan, di sebuah kelas filsafat kita bertemu 20 murid yang melakukan simulasi filsafati bermain-main dengan nasib manusia di kala nasib umat manusia sebagai spesies di Bumi berada di ujung tanduk akibat sebuah malapetaka nuklir. Para siswa ini berperan sebagai individu dengan bermacam profesi: petani organik, insinyur bangunan, ahli kimia, pembuat es krim, pialang saham, tentara, pemain harpa, penyanyi opera, dokter ahli bedah, tukang kayu, ahli anggur, penyair, hingga bidan pria.

Mereka berdebat siapa yang lebih layak untuk masuk ke dalam bunker dan terpaksa disingkirkan. Apa petani lebih layak hidup dari penyair? Apa tentara lebih berguna daripada pemain harpa? Atau, mana yang lebih berharga pasca bencana nuklir, tukang kayu atau penyanyi opera?

Di awal film, penonton diajak pada sebuah persoalan, jika ada lima orang terikat di sebuah rel kereta, sedang di rel satu lagi ada seorang yang terikat, sahkah bila kereta kemudian diarahkan untuk menabrak hanya seorang dan menyelamatkan lima orang? Atau, bila ada lima orang terikat di sebuah rel, dan ada seorang gemuk yang beratnya cukup untuk bisa menghalau laju kereta, salahkah bila kita mengorbankannya tertabrak kereta dan dengan begitu, menyelamatkan lima orang yang terikat?

Sebagai suatu ikhtiar berpikir, filsafat menuntut untuk berpikir radikal. Pegangannya etika dan moral, serta logika.

Di film karya John Huddles ini kita diajak pada tiga simulasi filsafat yang berlangsung di tiga lokasi eksotis Candi Prambanan, Gunung Bromo, dan sebuah pantai di Belitung. Pada setiap simulasi menghasilkan akhir yang berbeda atas keputusan yang diambil.

***

Pada akhirnya, memaknai film ini sebatas "film Hollywood Cinta Laura" atau bahkan "film Hollywood yang memperkenalkan keindahan Indonesia", sebetulnya sedikit mengerdilkan esensi filmnya. `The Philosophers` lebih dalam dari dua hal yang tampak di permukaan itu.

Film ini, dengan segala niat baiknya mengangkat nama Indonesia ke pentas industri film dunia, sejatinya adalah sebentuk ajakan bagi kita, untuk memantik rasa kemanusiaan kita, memantik otak kita berpikir jernih, serta mempertanyakan keputusan moral dan logika yang akan kita ambil.

Bersiaplah terpantik wahai makhluk yang bertanya-tanya. Ready, get set, think… (Ade)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya