Lebih Dekat dengan Timo Tjahjanto, Sutradara Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2

Selaku sutradara, Timo Tjahjanto berhasil mencampuradukkan rasa takut penonton lewat atmosfer kengerian yang ia ciptakan dalam film.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Mar 2020, 15:30 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2020, 15:30 WIB
[Fimela] Timo Tjahjanto
Timo Tjahjanto, siap menyutradarai film Si Buta dari Gua Hantu. foto: Instagram (@timobros)

Liputan6.com, Jakarta - Film Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 yang sudah dirilis 27 Februari lalu cukup mendapatkan sambutan positif dari pecinta film. Hingga hari kelima penayangan, SIM Ayat 2 sudah disaksikan lebih dari 400 ribu penonton. Perhatian kemudian tertuju pada sang kreator, yaitu Timo Tjahjanto.

Selaku sutradara, Timo Tjahjanto berhasil mencampuradukkan rasa takut penonton lewat atmosfer kengerian yang ia ciptakan dalam film.

Ya, untuk urusan takut menakuti, horor intens, sampai brutal, Timo adalah jagoannya. Dari berbagai film horor-thriller yang telah ia sutradarai, SIM Ayat 2 adalah sekuel pertama bagi Timo.

Lantas mengapa Timo Tjahjanto amat suka men-direct film-film bertema "kengerian dan sadistis"? Bagaimana sepak terjang karier Timo di dalam dan luar negeri? Mari mengenal lebih dekat tentang Timo Tjahjanto!

 


Sejak 7 Tahun

Timo Tjahjanto
Timo Tjahjanto, sutradara Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2. (Screenplay Productions)

Timo mulai bersentuhan dengan film horor bahkan sejak masih berumur 7 tahun. Saat itu sang kakak mengajak Timo menonton film di rumah lewat Betamax Tape (sekarang sudah dalam bentuk DVD).

Mengira itu film anak-anak, ternyata film yang diputar adalah film Psyco (1960). Film horor lawas Alfred Hitchock yang dibintangi Marion Crane dan Norman Bates.

Sebuah adegan penusukan dalam film hitam putih tersebut membuat Timo kecil sangat trauma. Ia sadar bahwa visual dan images dalam film akan membekas di ingatannya. Saat umur 12 tahun, Timo secara tidak sengaja menonton film IT (Stephen Kings, 1991) dan melihat Badut Pennywise yang begitu menyeramkan.

Traumaticnya pun timbul. Namun berawal dari situlah, keinginan Timo untuk mengeksplorasi rasa takut mulai ia dalami. Ketimbang takut terus menerus, ia mulai memikirkan untukmerubahnya menjadi sesuatu yang dapat dibuat secara kreatif, yaitu film.


Film Pertama

Mo Brothers  (Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel)
Mo Brothers, Kimo Stamboel. (kiri) dan Timo Tjahjanto. (foto: Herman Zakharia/Liputan6.com)

Keingin-tahuannya akan dunia film pun tumbuh. Ia sempat menjadi freelance sebagai story board artist dan fotografer. Saat berkuliah di School of Visual Arts, Australia pada 2002, Timo bertemu dengan Kimo Stamboel.

Panggilannya untuk mengerjakan sesuatu entertaining dan terrifying pun seolah terjawab. Klop dengan Kimo, keduanya dijuluki The Mo Brothers dan mulai memproduksi film horor pendek pertama mereka berjudul Dara (2007), bagian dari enam film pendek antologi Takut: Faces of Fear.

Dara memiliki ide cerita horor yang fresh dimana seorang wanita muda bernama Dara memiliki restoran dengan sajian makanan enak, ternyata daging manusialah yang menjadi bumbu kelezatan.

Tak seperti kebanyakan film horor yang sekadar menjual jumpscare, The Mo Brothers lebih dari itu. Mereka tak segan menghadirkan cipratan-cipratan darah dalam bentuk visual yang mengerikan.


Film-Film Lain

Sukses dengan Dara, The Mo Brothers kemudian menuangkan skenario panjangnya dengan merilis film Rumah Dara (2010) atau Macabre, yang sukses menuai pujian dari para kritikus film.

Lewat Rumah Dara, The Mo Brothers turut melejitkan nama pemeran utama Shareefa Daanish sebagai Ibu Dara, mengantarkanDaanish sebagai aktris terbaik di Puncheon International Fantastic Film Festival di Buncheon, Korea Selatan.

Mengikuti kesuksesan Rumah dara, The Mo Brothers kemudian menyutradarai film bergenre sejenis, Killers (2013). Killers merupakan kolaborasi pertama Indonesia-Jepang yang berhasil tampil dalam festival international bergengsi di Amerika yakni, Sundance Film Festival.

Timo kemudian mulai mendirect film antologi perdananya V/H/S/2 (2013) – Segmen “Safe Haven”. Ia berkolaborasi dengan sutradara The Raid, Gareth Evans. Safe Haven dinilai sebagai segmen terbaik.


Penghargaan

Kembali lagi mengusung nama The Mo Brothers, Timo dan Kimo membuat film action pertama mereka berjudul Headshot (2016) yang dibintangi oleh Iko Uwais. Tak hanya diapresiasi di dalam negeri, Headshot juga menoreh prestasi dunia dengan mendapatkan standing ovation saat world premiere diToronto International Film Festival (TIFF).

Film laga ini juga diganjar penghargaan prestisius dalam ajang L'Etrange Festival Paris 2016. Setelah film Headshot, Timo kemudian melanjutkan untuk membuat film-film solonya.

Nama Timo kian diperhitungkan setelah ia merilis film The Night Comes For Us (2018), film action yang menghadirkan Joe Taslim dan Iko Uwais. Timo menciptakan adegan laga yang penuh tumpah darah dengan cerita yang kompleks dari banyaknya karakter yang terlibat.

TNCFU menjadi film original Netflix pertama dari Indonesia dan sukses mencuri perhatian sineas internasional. Salah satunya adalah kreator film Deadpool, Robert Liefield. Ia menilai masa depan film-film bergenre action ada di tangan Timo Tjahjanto.


Sebelum Iblis Menjemput

Pada 2016, Timo menyutradarai film Sebelum Iblis Menjemput yang dibintangi Chelsea Islan dan Pevita Pearce. Horor, slasher dan gore menjadi elemen-elemen dalam film tersebut.

Bukan setan lagi yang dihadapi, tapi Timo menciptakan kengerian dan menyematkan teror satanic dengan frasa Iblis. Film SIM pun melalang buana ke sejumlah festival kelas dunia LEtrange Festival Paris, US Fantastic Festival, BFI London Film. Bahkan berhasil memenangkan penghargaan sebagai film horor terbaik di SITGES Film Festival.

Sukses dengan film pertama, Timo kemudian melanjutkan cerita iblis di sekuel Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 yang sedang tayang di bioskop.

(Screenplay Films)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya