Mariposa: Cerita Ringan Digarap Serius, Bikin Hati Riang Lalu Sedih Tergerus

Mariposa dalam bahasa Spanyol berarti kupu-kupu. Dalam film Mariposa memang tak disebutkan kata yang yang menjadi judul film ini.

oleh Wayan Diananto diperbarui 13 Mar 2020, 06:30 WIB
Diterbitkan 13 Mar 2020, 06:30 WIB
Poster film Mariposa. (Foto: Instagram @mariposafilm)
Poster film Mariposa. (Foto: Instagram @mariposafilm)

Liputan6.com, Jakarta Mariposa dalam bahasa Spanyol berarti kupu-kupu. Dalam film Mariposa memang tak disebutkan kata yang yang menjadi judul film ini. Namun karakter utamanya, Acha alias Natasha (Adhisty Zara), menyukai kupu-kupu. Setidaknya, itu tampak dari dialog Acha saat mengobrol dengan Iqbal (Angga Yunanda), teman sekelas yang dicintainya. Mariposa menyebut jatuh cinta bisa berlangsung dalam sedetik.

Kadang jatuh cinta hanya perasaan sepihak yang menciptakan efek drama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Karenanya, cinta mesti diperjuangkan. Perjuangan itu butuh waktu mencapai jutaan detik. Mariposa yang semula dilempar ke publik dalam format Wattpad oleh Luluk HF kemudian dirilis dalam format novel. Dibaca hingga 100 juta kali jelas bukan pencapaian sepele.

Wajar jika Mariposa diusung ke layar lebar oleh dua rumah produksi ternama. Falcon Pictures yang kita kenal lewat Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! dan My Stupid Boss menggandeng Starvision Plus. Starvision Plus-lah yang menemukan Angga Yunanda dan Adhisty Zara lalu disatukan dalam Dua Garis Biru (2019). Film dari cerita asli ini menyerap 2,5 juta penonton lebih tahun lalu.

Iqbal Yang Dingin

Angga Yunanda sebagai Iqbal. (Foto: Dok. Falcon Pictures)
Angga Yunanda sebagai Iqbal. (Foto: Dok. Falcon Pictures)

Acha siswi pindahan yang tak sengaja melihat Iqbal di perpustakaan. Kali pertama melihat Iqbal, Acha langsung suka. Acha lantas curhat ke sahabatnya, Amanda (Dania) dan ibunya (Ersa). Ibu mendukung 100 persen. Amanda keberatan lalu mengingatkan Acha dua hal.

Pertama, Acha pindah sekolah untuk mengejar mimpi ikut olimpiade sains. Kedua, hati Iqbal sekeras batu, dingin, dan tak gampang ditaklukkan. Hidupnya hanya untuk sekolah. Bisa jadi, seluruh tubuhnya terdiri dari otak. Dinginnya Iqbal bukan tanpa sebab. Ibunya meninggal sejak lama. Ia dibesarkan ayah (Ariyo) yang tiap hari menerornya untuk belajar. Bagi ayah Iqbal, kesuksesan urusan satu orang. Tak kaitannya dengan kerja tim.

Suatu hari, Acha, Iqbal, dan Juna (Syakir) lolos audisi mewakili sekolah ke olimpiade sains. Ketiganya dilatih Pak Bambang (Iszur Muchtar). Sambil belajar, Acha menginsyafi bahwa mencintai Iqbal menciptakan banyak luka di hati. Puncaknya, saat Acha disebut murahan oleh Iqbal.

Cowok Cool, Jutek, dan Bad Boy

Salah satu adegan Mariposa. (Foto: Dok. Falcon Pictures)
Salah satu adegan Mariposa. (Foto: Dok. Falcon Pictures)

Mariposa melegitimasi asumsi bahwa di layar lebar Indonesia, cewek cantik lebih suka cowok cool, jutek, atau bad boy. Ingat Cinta dan Rangga atau pasangan Adit-Tita dari Eiffel I’m in Love? Ingat pula pasangan Salma-Nathan dalam Dear Nathan atau yang paling anyar Milea-Dilan?

Mungkin ini hanya kebetulan. Namun Angga yang bermuka imut dan lembut dijadikan cowok cool bin jutek adalah tindakan berisiko tinggi. Bisakah ia meyakinkan publik bahwa Iqbal ditakdirkan untuknya? Kali pertama menyaksikan Mariposa, Angga dengan sikap (lebih banyak) diamnya bikin penasaran. Pendekatan Angga terhadap Iqbal tidak dengan emosi yang meledak-ledak.

Cool dibangun Angga dengan banyak diam, dingin, memanfaatkan properti buku untuk mengikis frekuensi interaksi dengan orang lain, serta menjaga jarak dengan siapa pun kecuali dua sahabatnya, Rian (Abun) dan Glen (Junior). Saat berinteraksi dengan ayah, Iqbal diliputi takut dan segan. Dua warna dalam karakter Iqbal dieksekusi dengan apik oleh Angga.

Pendekatan Zara dan Angga

Adhisty Zara sebagai Acha. (Foto: Dok. Falcon Pictures)
Adhisty Zara sebagai Acha. (Foto: Dok. Falcon Pictures)

Zara sebaliknya. Meski cerdas, Acha tampak gengges alias ganggu, berpikir pendek, kadang naif, dan manja. Namun ada momen di mana Acha tegas membuat batas antara jatuh cinta dan harapan. Drama romantis macam ini jelas bertumpu pada chemistry dua tokoh utama.

Yang menarik, pertautan Angga dan Zara tidak lantas mengingatkan penonton pada Dara-Bima di Dua Garis Biru. Keberhasilan mereka membangun citra baru, tak lepas dari sejumlah faktor.

Pertama, cerita. Naskah buatan Alim Sudio menampilkan plot cukup rapi. Kedua tokoh utama dibuat tidak utuh. Iqbal tak punya ibu. Kedua orang tua Acha memang masih ada namun, ayah diceritakan ke Korea Selatan selama 8 bulan. Praktis porsi ibu lebih dominan.

Cinta Acha-Iqbal sendiri dibuat tidak mudah. Paruh pertama film ini berisi jatuh bangun Acha mengejar cowok impian. Paruh kedua, jatuh bangun Acha mengubah pola pikir. Di sisi lain, Iqbal dalam diam berproses untuk menerjemahkan perasaan, belajar beropini, dan yang paling penting: menentukan sikap.

Kamera yang Berdampak

Karakter Acha dan Iqbal. (Dok. Falcon Pictures)
Karakter Acha dan Iqbal. (Dok. Falcon Pictures)

Kedua, desain produksi. Palet warna yang dipilih Fajar Bustomi adalah pastel. Ada warna selembut pink yang cewek banget. Bahkan, warna seragam sekolah untuk cowok pun biru muda. Seragam sekolah saja membangun hawa romantis. Belum suasana sekolah, rumah, dan tentu saja, kamar tokoh utama.

Ketiga, Fajar Bustomi menggunakan kamera anamorphic. Ia tahu betul, dunia Iqbal dan Acha sebenarnya sempit. Kehidupan mereka berkutat di rumah, sekolah, rumah, sekolah, rumah lagi, dan sekolah lagi. Akhir film membawa mereka ke tempat lain yakni lokasi kompetisi sains.

Kamera anamorphic memperlihatkan visual yang lebih lebar. Awam menyebutnya panorama. Visual ini berdampak signifikan. Dunia kecil Acha-Iqbal terlihat beda, lebih detail, luas, dan berwarna. Sensasi macam ini belum tentu kita dapatkan di film Indonesia lain bahkan rilisan Hollywood sekalipun.

Lagu dan Fungsi Pemeran Pendukung

Keempat, pemilihan lagu tema yang jeli membangun suasana. Sejumlah lagu dengan lirik pas menjembatani komunikasi tokoh dengan penonton. Adegan tanpa dialog, yang lebih menggambarkan suasana batin tokoh, terasa berbicara berkat pertolongan beberapa lagu.

Terakhir, fungsi sejumlah pemeran pendukung yang mencairkan suasana. Apresiasi patut diberikan pada Ersa Mayori yang tergila-gila pada budaya Korea Selatan dari Winter Sonata, BTS, hingga masker. Satu lagi, penampilan TJ sebagai suster rumah sakit.

Mariposa drama romantis. Segmentasinya keluarga. Bagi yang berusia belasan tentu terbuai dengan rindu dendam ala Acha-Iqbal. Bagi mereka yang sudah berumur seperti penulis, adegan interaksi orang tua dan anak mendapat tempat khusus di hati.

Cara Iqbal menatap ayahnya, air mata Iqbal yang tumpah begitu saja kala mendengar hasil pengumuman kompetisi sains, dan puncaknya, saat sang ayah menanyakan apa yang disukai Iqbal. Tiga momen ini membuat hati penulis berdesir dan mata berkaca-kaca.

Manis tak Bikin Sakit Gigi

Mariposa cerita manis. Ibarat permen, kadar manisnya berada dalam takaran yang pas. Ia tak bikin sakit gigi apalagi sakit hati. Rentetan adegannya mudah disukai namun tak gampang dilupakan. Dua Garis Biru akan menjadi legenda. Dicatat sebagai salah satu drama remaja terbaik pada dekadenya.

Mariposa berada di tempat berbeda. Ia seperti proyek relaksasi dengan cerita ringan namun digarap serius. Hasilnya, hiburan yang bikin suasana hati membaik sekaligus riang. Percayalah, ia menciptakan atmosfer positif bagi para penonton.

 

 

Pemain: Angga Yunanda, Adhisty Zara, Dania Salsabila, Syakir Daulay, Artiyo Wahab, Ersa Mayori, Iszue Muchtar, Junior Roberts, Abun Sungkar

Produser: Chand Parwez Servia, Frederica

Sutradara: Fajar Bustomi

Penulis: Alim Sudio, Luluk HF

Produksi: Falcon Pictures, Starvision Plus

Durasi: 100 menit

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya