The Man Standing Next: Drama Politik Dengan Gambar Statis, Mencekam Sekaligus Dramatis

The Man Standing Next potret buram semenanjung Korea di pengujung dekade 1970-an.

oleh Wayan Diananto diperbarui 22 Feb 2020, 14:30 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2020, 14:30 WIB
Poster film The Man Standing Next. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)
Poster film The Man Standing Next. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)

Liputan6.com, Jakarta Cerita dari Negeri Gingseng ini membawa kita pada pemahaman lebih dalam tentang kondisi Korea Selatan jauh sebelum ia jadi kiblat hiburan Asia. The Man Standing Next potret buram semenanjung Korea di pengujung dekade 1970-an.

Era ketika Korea Selatan dikelola seorang diktator licin yang memerintah selama 18 tahun. The Man Standing Next bukan tipikal drama Korea yang membuat generasi Instagram termehek-mehek.

Bagi kami, The Man Standing Next drama politik yang bahkan, lebih mencekam ketimbang horor itu sendiri. Diceritakan lewat garis waktu linear, The Man Standing Next memotret 40 hari paling menentukan dalam sejarah politik Korea Selatan.

Korea Selatan di Era 1970-an

Poster film The Man Standing Next. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)
Poster film The Man Standing Next. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)

Ini semua berawal ketika politikus Park Yong Kak (Kwak Do Won) mencari suaka ke AS. Ia menulis buku Pengkhianat Revolusi lalu bersaksi di muka pengadilan AS soal sepak terjang Presiden Park (Lee Sung Min) yang korup. Kesaksikan ini meresahkan Seoul. Presiden Park mengutus Direktur KCIA, Kim (Lee Byung Hun) untuk mengambil naskah Pengkhianat Revolusi. Kim terbang ke Washington dan melobi Park Yong Kak.

Rupanya, eksistensi Park Yong Kak di AS tak luput dari peran sang ratu lobi Deborah Shim (Kim Jo Sin). Kim lantas melobi Deborah dan menyerahkan setumpuk uang. Deborah mengingatkan Kim bahwa ia sebenarnya korban sistem. Kabur ke AS, Deborah menghadapi masyarakat bule yang tak bisa membedakan Korea Selatan dan Utara. Sementara masyarakat Korea jaga jarak pada Deborah karena dianggap membelot.

Deborah mati-matian meyakinkan AS bahwa ia punya peran penting. Saat naskah Pengkhianat Revolusi berhasil dibawa ke Korea, Kim mendapati fakta bahwa Presiden Park merapat ke rival Kim, Letkol Gwak (Lee Hee Joon). Politik tak pernah sesimpel yang dibayangkan.

 

Gambar-gambar Statis, Tujuannya?

Salah satu adegan film The Man Standing Next. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)
Salah satu adegan film The Man Standing Next. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)

Berat, mungkin itu kata pertama yang terlintas saat membahas film bergenre drama politik. Itu pula yang kami rasakan saat kali pertama masuk studio untuk menonton The Man Standing Next. Namun, karya Woo Min Ho ini punya daya pikat tersendiri.

Dilatari situasi politik Korea Selatan yang kaku, penuh intrik, rawan rusuh, plus masyarakat yang gampang terprovokasi, sineas Woo menerjemahkannya ke dalam gambar-gambar statis. Mayoritas adegan digulirkan dengan gambar semi-closeup atau close-up sekalian.

Teknik ini memungkinkan penonton melihat lebih jelas ekspresi para tokoh dalam merespons perkembangan situasi politik sekecil apapun. Kalau pun ada gambar lebar, biasanya di Gedung Biru, yang disebut salah satu tokoh sebagai tempat paling mengerikan di Korea Selatan.

Itu pun terbatas karena gambar lanskap dibatasi dinding ruangan. Bisa dibilang, lebih dari 75 persen adegan diambil dalam format non-lanskap. Kamera pun malas bergerak. Ia hanya bergerak mengantar penonton ke adegan baru.

 

Misteri Pergerakan Kamera

Lee Hee Joon sebagai Kwak Sang-Cheon. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)
Lee Hee Joon sebagai Kwak Sang-Cheon. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)

Setelah kita sampai ke adegan selanjutnya, kamera berhenti bergerak untuk memberi kesempatan kepada para tokoh di ruangan itu berdialog dan berekspresi. Lanskap hanya diperuntukkan untuk adegan di luar ruangan seperti menyusuri jalan setapak yang diapit pepohonan, jalan raya lengang yang membelah Seoul, atau membingkai gedung-gedung bertingkat.

Dengan gambar statis pula, penonton tidak kerepotan mengikuti kamera dan fokus pada cerita yang bergulir cepat sekaligus rapat. Karena jika meleng sedikit, Anda akan kehilangan momen.  

Sepadat itu naskah The Man Standing Next. Sekaku itu gambar-gambarnya. Sisi positifnya, gambar-gambar kaku ini efektif membangun ketegangan dan kecurigaan dari pihak penonton. Mengingat, para tokoh bergerak dengan motif dan pola tertentu.

Kau Mendapat Dukungan Penuh

Lee Sung Min sebagai Presiden Park. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)
Lee Sung Min sebagai Presiden Park. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)

Salah satu contoh, tanpa bermaksud membocorkan, Presiden Park kerap berujar, “Kau mendapat dukungan penuh dariku. Lakukan sesuka hatimu.” Sekali mendengar dialog ini, kita dapat memaknainya dengan lugas. Tiga kali kita mendengar ujaran ini dari mulut Presiden kepada tiga orang berbeda, jelas, ini langkah politik yang patut diantisipasi.

Akting Lee Sung Min sebagai Presiden Park tampak sangat konsisten. Beberapa adegan memperlihatkan sang aktor menjelma menjadi pria berdarah dingin, lebih banyak diam, namun tanggap merespons apa saja yang berseliweran serta menyangkut lawan politiknya.

Di sisi lain, kita melihat performa Lee Byung-Hun yang mengimbangi wajah angker Presiden Park. Mencoba tenang dan tidak grusa-grusu dalam mengambil keputusan, Direktur Kim menjadi satu-satunya harapan di film ini.

 

Pesona Lee Byung Hun

Lee Byung Hun sebagai Direktur KCIA, Kim Kyu-Pyeong. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)
Lee Byung Hun sebagai Direktur KCIA, Kim Kyu-Pyeong. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)

Sampai akhirnya, penonton tersadar bahwa Kim juga manusia. Ia punya batas pengetahuan, kesabaran, dan ketenangan. Saat batas itu dilanggar sejumlah pihak, kita melihat emosinya meledak. Emosi Kim adalah puncak film ini.

Ia menjadi pertunjukan teaterikal yang dieksekusi dengan sangat memesona oleh Lee Byung Hun. Kami tak kan lupa pada tangannya yang bergetar saat meracik miras dan es batu lalu menyerahkannya pada sang Presiden dalam jamuan makan malam privat.

Pun kami tak lupa pada wajahnya yang memerah dan kalimat demi kalimat yang ditekan pada kata-kata tertentu, hingga drama terpeleset darah. Pada momen ini kita melihat perkawinan antara rasa takut dan keberanian.

Situasi film ini makin meneror berkat ilustrasi musik yang didominasi nada-nada rendah dan diulang-ulang untuk menyertai adegan genting. Bahkan, saat film berakhir pun, ilustrasi semacam ini kembali dimainkan. Efek yang ditimbulkan, yakni penonton pulang dengan hati yang tak kunjung lega.

 

Yang Lebih Menakutkan dari Setan...

Kwak Do Won sebagai Park Yong-Kak. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)
Kwak Do Won sebagai Park Yong-Kak. (Foto: Dok. IMDb/ Showbox)

The Man Standing Next adalah teror tanpa penampakan makhluk halus. Dengan kata lain, ada yang lebih menakutkan dari setan atau arwah penasaran. Yakni, manusia berikut kehendak, nafsu, dan emosi yang tak dapat dijinakkan. Mencekam adalah kata yang tepat untuk melukiskan The Man Standing Next.

Di Korea, film ini menyerap 7,2 juta penonton. Angka ini masih terus bertambah. Usai menonton kami bertanya-tanya, kapan, ya sineas Indonesia melahirkan drama politik semenakutkan ini? Sebelum bertanya kapan, kami bertanya, mungkin enggak, ya?

 

 

Pemain: Lee Byung-Hun, Lee Sung-Min, Kwak Do nyon, Lee Hee Joon, Kim So Jin, Seo Hyun Woo, Ji Hyun Joon, Park Sung Geun

Produser: Kim Jin Woo

Sutradara: Woo Min Ho

Penulis: Kim Chaong Sik, Lee Ji Min, Woo Min Ho

Produksi: Showbix

Durasi: 1 jam, 54 menit

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya