Wafatnya Nelson Mandela mengingatkan saya pada sebuah film yang saya saksikan empat tahun silam. Judulnya Invictus. Tak perlu berpikir lagi sebenarnya untuk menyaksikan film ini. Dengan memajang nama Morgan Freeman dan Matt Damon saja, film ini sudah sangat menjanjikan.
Apalagi kemudian ternyata Invictus dibesut oleh Clint Eastwood, maka lengkap sudah alasan untuk harus menonton film yang indah ini.
Layar dibuka ketika Nelson Mandela (diperankan Morgan Freeman) baru saja dilantik sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994. Hari pertama berada di kantor kepresidenan, Mandela terhenyak menyaksikan staf kepresidenan yang mayoritas berkulit putih dan memperlihatkan sikap kaku, sibuk menggotong barang pribadi mereka. Sesaat masuk ruang kerjanya, Mandela memerintahkan seluruh staf untuk berkumpul.
Di depan seluruh staf berwajah masam itu, Mandela menyatakan keheranannya melihat mereka seolah ingin buru-buru keluar dari kantor kepresidenan. Dengan suara pelan, dia mengatakan: Of course, if you want to leave, that is your right. And if in your heart you feel that you can not work with your new government then it is better if you do leave right away. But if you are packing up because you fear that your language or the color of your skin or who you worked for before disqualifies you from working here, I am here to tell you to have no such fear. What is today is today, the past is the past, we look to the future now.
Mulai dari sini, agaknya mulai sulit untuk berpaling dari gambar demi gambar dan dialog demi dialog yang semuanya sayang untuk dilewatkan. Tak ada satu pun adegan yang sia-sia dan tak ada dialog yang tanpa makna. Kita kemudian dipandu melihat sosok Mandela memerangi kebencian yang sudah begitu mengakar di kalangan rakyat Afsel atas dasar perbedaan warna kulit.
Mandela tahu benar bahwa meskipun rezim apartheid telah runtuh, benih perpecahan antara warga kulit putih dan warga kulit hitam di Afsel masih ada. Dan, Mandela melihat peluang mempersatukan rakyatnya lewat olahraga rugby. Olahraga ini pada saat itu sangat identik dengan dominasi kaum kulit putih. Namun Mandela tidak gentar dan jalan terus.
Melalui sebuah perkenalan di istana kepresidenan, terjalin hubungan batin yang kuat antara kapten tim rugby Springboks, Francois Pienaar (Matt Damon), dengan Mandela. Keduanya bahu membahu memberi keyakinan bahwa tim rugby Springboks bukan hanya milik warga kulit putih, tapi milik seluruh warga Afsel.
Tak mudah memang untuk mewujudkannya. Benih-benih perpecahan itu begitu kuat, tak hanya di kalangan rakyat jelata. Tim rugby Springboks yang didominasi oleh pemain kulit putih tak goyah dengan pemikiran lama mereka.
Bahkan, hingga di lingkungan paling dalam Mandela, yaitu pengawal pribadinya, upaya untuk menyatukan agen-agen berkulit hitam dan putih malah menimbulkan sikap saling curiga.
Tapi, berkat tekad yang kuat serta sikap tidak memihak, upaya itu berhasil. Di tahun 1995, saat Afsel menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby, tim Springboks akhirnya berhasil menjadi juara dunia dengan mengalahkan tim favorit Selandia Baru.
Seluruh rakyat Afrika Selatan, baik yang di rumah-rumah mewah, di warung-warung kumuh, di jalanan, hingga di stadion tumpah ruah merayakannya. Sekat-sekat itu akhirnya hilang karena sebuah olahraga telah mempersatukannya.
Film ini diangkat dari buku biografi berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation karya John Carlin. Dari sekian banyak film yang dibesut Clint Eastwood, Invictus mungkin yang paling ringan dan menghibur.
Proses penyatuan dua ras yang berbeda digambarkan dengan halus dan elegan tanpa memihak. Namun, tak bisa dimungkiri, kekuatan Invictus justru pada skenarionya yang kuat, bertaburan dialog-dialog menggugah sekaligus inspiratif.
Dan, magnit utama film ini tentu saja adalah sosok Mandela. Kita diajak melihat panorama Afsel yang indah serta ruangan penjara tempat dia pernah ditahan selama 27 tahun. Meski yang tampil di layar adalah sosok Morgan Freeman, tetap saja bayangan Mandela yang berkelebat.
Tak jauh berbeda dengan film tentang Mandela lainnya yang pernah saya tonton, Goodbye Bafana (2007), sulit bagi aktor sekelas Dennis Haysbert untuk memerankan sosok Mandela selama di dalam penjara.
Morgan Freeman dan Mandela memang telah bersahabat sejak lama dan Mandela sendiri yang memintanya untuk bermain di film ini. Tapi, di layar lebar pun Morgan Freeman tak bisa menggantikan Mandela.
Sulit bagi dunia untuk menyepelekan Mandela. Pria yang berhati bersih, tak pendendam, serta memimpin untuk kesatuan bangsanya. Dan itu sudah diperlihatkan Mandela sejak awal memerintah. Dunia pun mencatat, sejak kendali Afsel berada di tangan Mandela, cap negara itu sebagai biang konflik perbedaan ras di muka bumi mulai sirna.
Seorang teman di PSSI bercerita kepada saya. Penunjukan Afsel sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010 sama sekali bukan karena lengkapnya sarana pertandingan atau kehebatan tim sepakbola negara itu, tapi semata-mata sebagai penghormatan kepada Mandela. Karena itu, sejatinya film ini pun juga dimaksudkan Clint Eastwood sebagai penghormatan bagi seorang pejuang kemanusiaan seperti Mandela.
Akhir kata, Invictus adalah film yang berbicara tentang manusia. Film ini tidak membahas cinta yang dangkal atau hantu yang kasat mata. Invictus juga jauh dari campur tangan teknologi untuk membuat layar terlihat berwarna dan indah. Tapi, itulah hebatnya film ini, tampil memukau apa adanya, tanpa polesan.
Film yang dirilis pada 11 Desember 2009 ini sama-sama menominasikan Morgan Freeman dan Matt Damon pada kategori Aktor Terbaik dan Aktor Pendukung Terbaik pada ajang Piala Oscar. Kendati tak memenangkan gelar apa pun, itu tak mengurangi penghargaan saya kepada mereka yang telah mengangkat pengalaman menakjubkan kehidupan Mandela ke layar lebar. Alasan saya sederhana, selain menginspirasi, film ini telah berusaha membuat penontonnya menjadi manusia yang lebih baik.(Ado/Adt)
Apalagi kemudian ternyata Invictus dibesut oleh Clint Eastwood, maka lengkap sudah alasan untuk harus menonton film yang indah ini.
Layar dibuka ketika Nelson Mandela (diperankan Morgan Freeman) baru saja dilantik sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994. Hari pertama berada di kantor kepresidenan, Mandela terhenyak menyaksikan staf kepresidenan yang mayoritas berkulit putih dan memperlihatkan sikap kaku, sibuk menggotong barang pribadi mereka. Sesaat masuk ruang kerjanya, Mandela memerintahkan seluruh staf untuk berkumpul.
Di depan seluruh staf berwajah masam itu, Mandela menyatakan keheranannya melihat mereka seolah ingin buru-buru keluar dari kantor kepresidenan. Dengan suara pelan, dia mengatakan: Of course, if you want to leave, that is your right. And if in your heart you feel that you can not work with your new government then it is better if you do leave right away. But if you are packing up because you fear that your language or the color of your skin or who you worked for before disqualifies you from working here, I am here to tell you to have no such fear. What is today is today, the past is the past, we look to the future now.
Mulai dari sini, agaknya mulai sulit untuk berpaling dari gambar demi gambar dan dialog demi dialog yang semuanya sayang untuk dilewatkan. Tak ada satu pun adegan yang sia-sia dan tak ada dialog yang tanpa makna. Kita kemudian dipandu melihat sosok Mandela memerangi kebencian yang sudah begitu mengakar di kalangan rakyat Afsel atas dasar perbedaan warna kulit.
Mandela tahu benar bahwa meskipun rezim apartheid telah runtuh, benih perpecahan antara warga kulit putih dan warga kulit hitam di Afsel masih ada. Dan, Mandela melihat peluang mempersatukan rakyatnya lewat olahraga rugby. Olahraga ini pada saat itu sangat identik dengan dominasi kaum kulit putih. Namun Mandela tidak gentar dan jalan terus.
Melalui sebuah perkenalan di istana kepresidenan, terjalin hubungan batin yang kuat antara kapten tim rugby Springboks, Francois Pienaar (Matt Damon), dengan Mandela. Keduanya bahu membahu memberi keyakinan bahwa tim rugby Springboks bukan hanya milik warga kulit putih, tapi milik seluruh warga Afsel.
Tak mudah memang untuk mewujudkannya. Benih-benih perpecahan itu begitu kuat, tak hanya di kalangan rakyat jelata. Tim rugby Springboks yang didominasi oleh pemain kulit putih tak goyah dengan pemikiran lama mereka.
Bahkan, hingga di lingkungan paling dalam Mandela, yaitu pengawal pribadinya, upaya untuk menyatukan agen-agen berkulit hitam dan putih malah menimbulkan sikap saling curiga.
Tapi, berkat tekad yang kuat serta sikap tidak memihak, upaya itu berhasil. Di tahun 1995, saat Afsel menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby, tim Springboks akhirnya berhasil menjadi juara dunia dengan mengalahkan tim favorit Selandia Baru.
Seluruh rakyat Afrika Selatan, baik yang di rumah-rumah mewah, di warung-warung kumuh, di jalanan, hingga di stadion tumpah ruah merayakannya. Sekat-sekat itu akhirnya hilang karena sebuah olahraga telah mempersatukannya.
Film ini diangkat dari buku biografi berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation karya John Carlin. Dari sekian banyak film yang dibesut Clint Eastwood, Invictus mungkin yang paling ringan dan menghibur.
Proses penyatuan dua ras yang berbeda digambarkan dengan halus dan elegan tanpa memihak. Namun, tak bisa dimungkiri, kekuatan Invictus justru pada skenarionya yang kuat, bertaburan dialog-dialog menggugah sekaligus inspiratif.
Dan, magnit utama film ini tentu saja adalah sosok Mandela. Kita diajak melihat panorama Afsel yang indah serta ruangan penjara tempat dia pernah ditahan selama 27 tahun. Meski yang tampil di layar adalah sosok Morgan Freeman, tetap saja bayangan Mandela yang berkelebat.
Tak jauh berbeda dengan film tentang Mandela lainnya yang pernah saya tonton, Goodbye Bafana (2007), sulit bagi aktor sekelas Dennis Haysbert untuk memerankan sosok Mandela selama di dalam penjara.
Morgan Freeman dan Mandela memang telah bersahabat sejak lama dan Mandela sendiri yang memintanya untuk bermain di film ini. Tapi, di layar lebar pun Morgan Freeman tak bisa menggantikan Mandela.
Sulit bagi dunia untuk menyepelekan Mandela. Pria yang berhati bersih, tak pendendam, serta memimpin untuk kesatuan bangsanya. Dan itu sudah diperlihatkan Mandela sejak awal memerintah. Dunia pun mencatat, sejak kendali Afsel berada di tangan Mandela, cap negara itu sebagai biang konflik perbedaan ras di muka bumi mulai sirna.
Seorang teman di PSSI bercerita kepada saya. Penunjukan Afsel sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010 sama sekali bukan karena lengkapnya sarana pertandingan atau kehebatan tim sepakbola negara itu, tapi semata-mata sebagai penghormatan kepada Mandela. Karena itu, sejatinya film ini pun juga dimaksudkan Clint Eastwood sebagai penghormatan bagi seorang pejuang kemanusiaan seperti Mandela.
Akhir kata, Invictus adalah film yang berbicara tentang manusia. Film ini tidak membahas cinta yang dangkal atau hantu yang kasat mata. Invictus juga jauh dari campur tangan teknologi untuk membuat layar terlihat berwarna dan indah. Tapi, itulah hebatnya film ini, tampil memukau apa adanya, tanpa polesan.
Film yang dirilis pada 11 Desember 2009 ini sama-sama menominasikan Morgan Freeman dan Matt Damon pada kategori Aktor Terbaik dan Aktor Pendukung Terbaik pada ajang Piala Oscar. Kendati tak memenangkan gelar apa pun, itu tak mengurangi penghargaan saya kepada mereka yang telah mengangkat pengalaman menakjubkan kehidupan Mandela ke layar lebar. Alasan saya sederhana, selain menginspirasi, film ini telah berusaha membuat penontonnya menjadi manusia yang lebih baik.(Ado/Adt)