Prevalensi Merokok Turun, RPJMN 2020-2024 Dinilai Perlu Ditinjau Ulang 

Politikus Dapil Jatim 2 ini menilai, cara pandang pemerintah yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 masih bersifat asimetris dan kurang membicarakan hal-hal yang strategis.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Agu 2022, 12:13 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2022, 07:27 WIB
Mukhamad Misbakhun
Politikus Partai Golkar Mukhamad Misbakhun saat bertemu masyarakat 'Tapal Kuda Jawa Timur. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, khususnya yang berkaitan dengan pertembakauan, perlu ditinjau ulang.

Politikus Dapil Jatim 2 ini  menilai, cara pandang pemerintah yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 masih bersifat asimetris dan kurang membicarakan hal-hal yang strategis. Padahal, industri tembakau semestinya ditempatkan pada fokus yang luas.

”Seharusnya RPJMN membicarakan bagaimana tembakau itu menjadi produk pertanian strategis, membicarakan bagaimana penerimaan cukai itu menopang sekitar Rp200 triliun, dan memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap penerimaan negara. Ingat, disaat kita mengalami kontraksi, pertumbuhan penerimaan cukai yang bisa mencapai 100 persen itu hanya di sektor penerimaan cukai tembakau,” tegas Misbakhun,  ditulis Selasa (2/8/2022).

 

Mantan pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan ini menginginkan RPJMN lebih obyektif. Terkait masalah kesehatan, misalnya. RPJMN semestinya tidak hanya sangat serius ketika membicarakan rokok sebagai penyebab sejumlah penyakit tidak menular.

”Seakan-akan rokok ini satu-satunya penyebab masalah kesehatan di Indonesia,” cetusnya.

Target untuk menurunkan prevalensi perokok yang tertuang dalam RPJMN ini seringkali dianggap tidak digunakan secara proporsional dan obyektif. Sebagai contoh, mengacu pada RPJMN, terdapat dorongan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Rancangan perubahan atas PP 109/2012 itu oleh sebagian pihak dianggap diperlukan karena saat ini angka perokok anak dianggap masih tinggi. Karenanya, dibutuhkan aturan-aturan yang lebih ketat praktik kepada industri tembakau. Namun, data membuktikan bahwa tanpa adanya revisi atas PP 109/2012 angka prevalensi anak di Indonesia ternyata menurun.

Kata Pengamat

Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) Imanina Eka Dalilah berpendapat, argumentasi menurunkan prevalensi jumlah perokok pemula tidak memiliki dasar yang valid karena tanpa adanya revisi PP 109/2012, prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan dari 9,1% di tahun 2018 menjadi 3,81% di tahun 2020, tahun 2021 bahkan turun lagi menjadi 3,69%.

”Pengendalian telah berjalan dengan baik sehingga belum diperlukan revisi PP 109/2012,” kata Imanina dihubungi dari Jakarta.

Hal itu sejalan dengan data resmi pemerintah yang tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2023 bahwa capaian indikator kesehatan terkait persentase merokok penduduk usia 10-18 tahun mengalami kondisi membaik, dari 7,2% pada tahun 2013, turun menjadi 3,8% pada tahun 2020.

Atas dasar itu, dorongan sejumlah pihak merevisi PP 109/2012 yang merupakan salah satu turunan dari RPJMN menjadi patut dipertanyakan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya