Tiap Tahun, Serangan Ransomware Berevolusi Makin Jahat

Riset Symantec pada Januari 2015 hingga April 2016 menyebutkan dalam beberapa tahun terakhir ransomware telah berevolusi ke berbagai bentuk.

oleh Agustin Setyo Wardani diperbarui 21 Jul 2016, 20:32 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2016, 20:32 WIB
Norton
Director Asia Consumer Business Norton by Symantec, Choon Hong Chee ditemui di media briefing Norton di Jakarta, Kamis (21/7/2016). (Liputan6.com/Agustin Setyo Wardhani)

Liputan6.com, Jakarta - Semakin maju perkembangan teknologi, semakin pintar pula hacker melakukan serangan kejahatan siber. Hal ini terbukti dengan evolusi ransomware yang makin jahat tiap tahunnya.

Hasil penelitian yang dilakukan Symantec pada Januari 2015 hingga April 2016 menyebutkan dalam beberapa tahun terakhir ransomware telah berevolusi dalam berbagai bentuk.

Director Asia Consumer Business Norton by Symantec Choon Hong Chee memaparkan, antara 2005-2009, ransomware ditemukan dalam bentuk misleading app alias aplikasi palsu. Kala itu, data-data yang telah terinfeksi ransomware masih bisa diperbaiki.

"Selanjutnya di tahun 2010-2011, ransomware ditemukan dalam bentuk antivirus palsu (fake AV)," kata Chee dalam media briefing Norton tentang Ransomware di Jakarta, Kamis (21/7/2016).

Data Norton menyebutkan, ketika berevolusi dan ditemukan dalam bentuk antivirus palsu, ransomware masih bisa dibersihkan.

Pada 2012-2013, ransomware kemudian berubah menjadi locker ransomware. Ketika menginveksi perangkat lunak dan mengunci data-data penting milik pengguna, locker ransomware meminta kepada korbannya untuk membayar sejumlah tebusan. 

 Kemudian, pada 2014-2015 ransomware berubah bentuk menjadi crypto ransomware. Pada periode tersebut, serangannya naik 35 persen.

Berdasarkan data pada 2014, Norton menemukan serangan crypto ransomware sebanyak 269.000. Sementara, di 2015 temuan crypto ransomware meningkat hingga 362.000, dengan rata-rata jumlah temuan per hari mencapai 992 serangan.

Tak hanya itu saja, ketika terserang crypto ransomware, data-data pribadi pun terkunci dan hanya bisa dibuka oleh hacker atau penyerangnya dengan sejumlah tebusan. Norton mencatat, nilai rata-rata tebusan pun terus meningkat seiring waktu.

Pada 2015 misalnya, rata-rata tebusan yang dituntut oleh hacker ransomware mencapai US$ 294 atau sekitar Rp 3,8 jutaan. Namun kini, penyerang meminta US$ 679 atau Rp 8,9 juta jika korban ingin datanya kembali.

Perlu diketahui, demi mendapatkan sejumlah tebusan, hacker tak tanggung-tanggung menyusupkan ransomware ke pelaku bisnis. Bahkan Chee mengungkap bahwa kini 57 persen korban ransomware adalah konsumen. Sedangkan sisanya 43 persen adalah organisasi.

Sedangkan bisnis yang paling banyak disusupi ransomware adalah sektor jasa sebesar 38 persen, manufaktur 17 persen, sektor keuangan, properti, dan administrasi publik sebesar 10 persen.

Yang paling parah, kini bahkan ransomware telah menginveksi ribuan komputer di perusahaan dan menyebabkan gangguan operasional besar. Karenanya, kerugian materi dan reputasi pun tak bisa dielakkan.

Sebagai pengguna internet, kita pun perlu waspada. Sebab menurut Chee, ransomware bakal bisa menyerang berbagai perangkat. "Komputer atau laptop pribadi, smartphone, hingga perangkat wearable yang terhubung dengan internet pun bisa jadi korban. Karenanya, kami sedang mempersiapkan peranti lunak untuk keamanan perangkat wearable," tuturnya.

(Tin/Cas) 

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya