Kata Pengamat Soal Rencana Regulasi Pemerintah Pisahkan Media Sosial dan Commerce

Pengamat membahas soal rencana pemerintah yang melarang platform menjalankan bisnis sebagai media sosial sekaligus platform berjualan online.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 16 Sep 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2023, 18:00 WIB
Ilustrasi belanja online, ecommerce, e-commerce, toko online
Ilustrasi belanja online, ecommerce, e-commerce, toko online. Kredit: athree23 via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki telah menyatakan pelarangan TikTok untuk menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mencegah praktik monopoli yang merugikan UMKM lokal.

Terkait adanya regulasi yang mengatur soal social commerce ini, Ketua Umum Indonesian Digital Emporwerment Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura menuturkan, pemerintah sebaiknya melakukan pembahasan lebih dulu dengan stakeholder yang terkait.

Terlebih, di era digital saat ini, regulasi menjadi salah satu tantangan yang perlu menjadi perhatian. Sebab, perkembangan teknologi selalu berjalan lebih cepat dibandingkan regulasi itu sendiri.

"Pemerintah harus memanggil semua pihak yang terkait. Titik temu hadir terjadi ketika hal ini terjadi, karena regulasi itu pada dasarnya melindungi semua pihak, baik platform, seller, termasuk juga negara," tutur Tesar dalam dalam Workshop Jurnalis bertajuk "Dampak Social Commerce pada UMKM di Indonesia” yang digelar FORWAT.

Untuk itu, ia meminta agar setiap stakeholder bisa berpikir masak-masak untuk mencari titik tengah, sehingga tidak sekadar dilakukan pembatasan begitu saja. Diharapkan, regulasi soal e-commerce itu nantinya bisa menjadi mix and match dari kebutuhan tiap-tiap pihak terkait.

Tesar juga menuturkan, kebijakan negara lain yang melarang hal serupa belum tentu bisa diterapkan begitu saja di Indonesia. Sebab, aturan tersebut dibuat berdasarkan situasi dan kondisi di tiap-tiap negara.

Sementara itu, praktisi pemasaran dan behavorial science, Ignatius Untung mengatakan, konsep yang ditawarkan social commerce sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Namun, tren yang terjadi saat ini memang berbeda dari yang dikenal dulu.

Kehadiran Social Commerce Tidak Berdampak Langsung pada UMKM

Ilustrasi belanja online
Ilustrasi belanja online (Foto: unsplash.com/ raw pixel)

Ia juga menyorot soal anggapan dampak buruk social commerce pada pelaku UMKM di Tanah Air. Menurut Untung, praktik social commerce itu sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan bisnis yang dilakukan oleh UMKM.

Apabila ada anggapan UMKM terdampak praktik social commerce, menurut Untung, hal itu sebenarnya hanya bentuk persaingan bisnis. "Social commerce dan UMKM itu tidak ada hubungan merugikan," ujarnya.

Untuk itu, alih-alih melakukan pemisahan social commerce, para UMKM bisa diajak agar mereka lebih tercerahkan untuk memanfaatkan metode ini sebagai sarana jualan. Sebab menurutnya, praktik e-commerce semacam ini tidak lebih dari sekadar salah satu channel penjualan saja.

Untung menuturkan, hal penting yang seharusnya juga diperhatikan para pelaku bisnis adalah kualitas barangnya. Dengan demikian, para pelaku bisnis ini bisa dapat bersaing.

Terkait soal figur publik yang disebut bisa meraup untung lebih besar ketika melakukan live shopping di social commerce, Untung merasa, hal ini tidak bisa diatur begitu saja lewat regulasi. Adapun hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah sebatas anjuran

Anjuran itu bisa berlaku untuk figur publik yang melakukan live shopping termasuk pemilik platform. Jadi, figur publik dianjurkan untuk memberikan kesempatan pada pelaku bisnis untuk memasarkan produknya.

"Lalu, platform bisa 'ditodong' untuk membantu UMKM memasarkan bisnisnya. Jadi, semua bisa sama-sama maju, tanpa ada yang merasa dijegal," ujarnya menutup pernyataan.

Kata Pengamat Soal Tren Social Commerce yang Kian Populer di Indonesia

Social Commerce
Workshop Jurnalis bertajuk "Dampak Social Commerce pada UMKM di Indonesia” yang digelar FORWAT. (Liputan6.com/Agustinus M. Damar)

Seperti diketahui, tren social commerce tidak dimungkiri tengah bertumbuh di Indonesia, terutama konten live shopping. Untuk diketahui, social commerce merupakan fenomena berbelanja online langsung melalui kanal media sosial.

Meski dianggap baru, praktisi pemasaran dan behavorial science, Ignatius Untung, tren social commerce ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Namun, bentuknya memang tidak seperti sekarang.

Menurut Untung, social commerce--seperti TikTok--kini menjadi ramai, karena menawarkan pengalaman yang berbeda. Ia menuturkan, media sosial seperti TikTok atau YouTube sebenarnya merupakan platform untuk konten hiburan.

Format ini berbeda dari Instagram atau Facebook yang dibentuk karena lingkaran pertemanan. Jadi, orang yang berkunjung ke aplikasi media sosial seperti TikTok atau YouTube memang awalnya mencari konten hiburan.

"Sebenarnya ini sama halnya ketika konsumen mengunjungi mal, di mana tidak seluruhnya ingin membeli sesuatu. Kebanyakan dari mereka mungkin awalnya ingin berjalan-jalan, tapi ketika melihat sesuatu jadi membeli," tuturnya dalam Workshop Jurnalis bertajuk "Dampak Social Commerce pada UMKM di Indonesia” yang digelar Forum Wartawan Teknologi (Forwat).

Hal ini berlaku pula di platform seperti TikTok. Untung menuturkan, awalnya banyak orang yang mungkin hanya ingin mencari konten hiburan, tapi ketika melihat sesuatu yang menarik, mereka ingin membelinya.

Terlebih, pengalaman belanja online di media sosial ini lebih memudahkan pengguna, karena mereka tidak perlu berganti aplikasi untuk melakukan transaksi.

Senada dengan Untung, Ketua Umum Indonesian Digital Emporwerment Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura mengatakan social commerce merupakan keniscayaan.

Tidak Lepas dari Gaya Hidup Generasi Muda

Ilustrasi belanja online
Ilustrasi belanja online/Freepik-snowing.

Ia menuturkan, salah satu pertumbuhan tren social commerce ini juga tidak lepas dari kebiasaan generasi muda saat ini. Menurutnya, generasi muda saat ini begitu erat dengan konsumsi konten di media sosial.

"Biasanya, mereka ini suka kontennya lebih dulu, baru kemudian membeli. Ini berbeda dari generasi saya yang mungkin kurang menyukai cara seperti itu. Namun, ini adalah inovasi," ujar Tesar melanjutkan.

(Dam)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya