Liputan6.com, Jakarta - Regulasi DMA (Digital Market Act) Uni Eropa diketahui kembali menyasar Apple. Uni Eropa meminta Apple untuk memungkinkan pengguna iPhone menghapus aplikasi bawaan yang sebelumnya tidak bisa dihapus.
Langkah ini disebut merupakan dampak dari kebijakan DMA Uni Eropa yang mendorong ekosistem aplikasi terbuka dan kompetitif.
Baca Juga
Sebagaimana dikutip dari Gizmochina, Jumat (5/4/2024), Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa Margrethe Vestager menyebut Apple harus mengizinkan pengguna menghapus aplikasi apa pun, termasuk aplikasi tingkat sistem seperti Photos.
Advertisement
Meski terdengar sederhana, permintaan ini ternyata memicu perdebatan. Alasannya, aplikasi bawaan seperti Photos telah terintegrasi secara mendalam dengan iOS.
Vestager menyatakan Apple harus mengizinkan aplikasi pihak ketiga bertindak sebagai perpustakaan gambar di dalam sistem.
Namun, sejumlah pihak menyebut hal itu akan sulit dilakukan, karena sistem yang terbilang kompleks. Jika hal itu dilakukan, mereka memprediksi perlu ada perombakan sistem di iPhone secara signifikan.
Di sisi lain, Apple sendiri telah melakukan beberapa perubahan untuk mematuhi DMA. Salah satunya adalah menawarkan opsi toko aplikasi alternatif.
Kendati demikian, Komisi Eropa merasa hal ini masih belum cukup. Mereka menilai Apple masih belum ingin menuruti aturan soal aplikasi pihak ketiga.
Di sisi lain, meskipun Uni Eropa mendorong ekosistem yang lebih terbuka, ada kekhawatiran soal potensi dampaknya terhadap pengalaman pengguna dan keamanan data.
Kebijakan DMA Dikhawatirkan Berpotensi Kehilangan Data
Beberapa orang berpendapat kemampuan mencopot pemasangan aplikasi bawaan mungkin lebih banyak kerugian yang didapat bila dibandingkan dengan manfaatnya, sehingga berpotensi menyebabkan hilangnya data secara tidak sengaja.
Uni Eropa juga menyatakan ketidakpuasannya terhadap pilihan browser Apple saat ini, yang diterapkan untuk mematuhi DMA.
Vestager berpendapat, hal itu tidak memberikan keputusan yang sepenuhnya tepat kepada pengguna.
Hal ini mungkin disebabkan karena daftar acak yang hanya menampilkan 11 browser teratas yang diunduh.
Perselisihan antara Uni Eropa dan Apple mengenai kepatuhan DMA kemungkinan akan terus berlanjut.
Advertisement
AS Tuduh Apple Monopoli Pasar Smartphone
Apple tidak hanya menerima tekanan dari otoritas Uni Eropa, perusahaan ini juga mendapat kecaman keras dari negara asalnya, Amerika Serikat.
Baru-baru ini, AS mengajukan gugatan terhadap Apple. Mereka menuding perusahaan tersebut telah melakukan monopoli pada pasar ponsel pintar (smartphone) dan menghindari persaingan.
Dalam tuntutannya, departemen kehakiman menuduh Apple menyalahgunakan kendalinya atas App Store iPhone untuk "mengunci" pelanggan dan pengembang.
Dikutip dari BBC, AS menuduh perusahaan yang bermarkas di Cupertino itu mengambil langkah ilegal untuk menghalangi pengembang aplikasi yang dipandang dapat menyaingi aplikasi bawaaan dari Apple dan membuat produk pesaingnya menjadi kurang menarik.
Laporan tersebut menuduh Apple menggunakan serangkaian upaya yang dapat mengubah aturan dan membatasi akses terhadap perangkat keras dan perangkat lunaknya, bertujuan untuk meningkatkan keuntungan.
“Apple telah mempertahankan kekuatan monopoli di pasar ponsel pintar tidak hanya dengan tetap menjadi yang terdepan dalam persaingan namun juga dengan melanggar undang-undang anti-trust (UU antimonopoli),” kata Jaksa Agung Merrick Garland pada konferensi pers yang mengumumkan gugatan tersebut.
Apple Dituduh Hambat Persaingan
Tak hanya itu, Apple juga dituduh meningkatkan biaya bagi pelanggan dan menghambat inovasi.
Laporan setebal 88 halaman tersebut berfokus pada lima area di mana Apple diduga menyalahgunakan kekuasaannya.
Misalnya, AS menuduh Apple menggunakan proses peninjauan aplikasinya untuk menjegal pengembangan super app dan aplikasi streaming, karena khawatir aplikasi tersebut akan memberikan lebih sedikit dorongan bagi pelanggan untuk tetap menggunakan iPhone.
Laporan itu juga mengatakan Apple telah mempersulit koneksi iPhone ke smartwatch merek lain dan memblokir bank serta perusahaan keuangan lainnya untuk mengakses teknologi tap-to-pay miliknya.
Pemblokiran tersebut memungkinkan Apple memperoleh biaya miliaran dari pemrosesan transaksi Apple Pay.
Keluhan itu juga berfokus pada cara Apple memperlakukan pesan yang dikirim dari ponsel pesaingnya, membedakannya dengan ikon gelembung hijau dan membatasi video serta fitur lainnya.
Dikatakan bahwa tindakan Apple telah menciptakan “stigma sosial” yang membantu raksasa teknologi itu mempertahankan posisinya di pasar.
Advertisement
Apple Melawan Tuduhan dari Pemerintah AS
Kendati demikian, Apple melawan gugatan tersebut dan menyangkal klaim tersebut.
Apple mengatakan pelanggan setia terhadap pelayanannya karena fitur yang diberikan Apple dirasa bermanfaat
Selain itu, menurut Apple, berdasarkan hukum AS, perusahaan bebas memilih mitra bisnisnya. Mereka telah menunjuk pada masalah privasi dan keamanan untuk membenarkan aturannya.
Perusahaan mengatakan akan meminta pengadilan untuk membatalkan gugatan tersebut.
“Kami yakin gugatan ini salah berdasarkan fakta dan hukum, dan kami akan melakukan pembelaan keras terhadapnya,” kata perwakilan Apple.
Ini merupakan tuntutan hukum ketiga yang dihadapi Apple dari pemerintah AS sejak 2009 dan gugatan antimonopoli pertama yang diajukan terhadap perusahaan tersebut di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.
Jika pemerintah memenangkan persidangan, hal ini dapat memaksa Apple untuk merombak kontrak dan praktik yang ada saat ini, atau bahkan menyebabkan perpecahan di internal perusahaan.
Karena kasus ini, saham Apple turun lebih dari 4% karena investor mencerna implikasi dari pertarungan hukum tersebut.