Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan menyoroti persoalan kasus korupsi yang selama ini menjadi batu sandungan Indonesia untuk menjadi Breakout Nations.
Wanita yang membawa BUMN tersebut masuk sebagai perusahaan pertama di jajaran 500 Fortune memberikan definisi bahwa Breakout Nations adalah sebuah negara yang memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan negara lain.
Â
"Argumen ADB menyebut hanya ada beberapa negara saja yang bisa mempertahankan stabilitas politik, tata kelola, pemerintahan dan kebijakan pada 10-20 tahun mendatang," ungkap dia saat menjadi pembicara The Future of Emerging Markets: Where are The Next Breakout Nations di Nusa Dua, Bali, Senin (7/10/2013).
Indonesia, kata Karen mempunyai celah besar untuk masuk dalam Breakout Nations mengingat ada fakta-fakta yang menunjukkan negara ini semakin ke arah yang lebih baik.
Pertama, lanjut dia, Indonesia telah memperbaiki tata kelola pemerintahan. Kedua, sudah transfer kekuasaan dari satu partai.
Ketiga, keberhasilan pengajuan demokrasi yang akan membantu Indonesia mencapai target tersebut serta keempat, perusahaan Indonesia mampu berkompetisi dengan negara lain, termasuk Cina.
"Negara ini menjadi lebih tangguh setelah mengalami krisis ekonomi di tahun 1998. Tapi saat ini akibat kondisi ekonomi global yang sedang sulit membuat Indonesia mengalami perlambatan laju pertumbuhan ekonomi," tutur dia.
Karen bilang, pekerjaan rumah yang masih menjadi tugas dari pemerintah dan pihak-pihak terkait adalah pembangunan infrastruktur dan masalah korupsi.
"Infrastruktur, lingkungan bisnis dan keadaan persoalan korupsi masih buruk. Inilah tantangan Indonesia ke depan untuk menjadi Breakout Nations," tukasnya.
Di sisi lain, Author of Breakout Nations Ruchir Sharma mengatakan, ketika Indonesia menjadi breakout nations ekonomi memang akan lebih positif sekitar 30% dibanding Produk Domestik Bruto (PDB) negara lain yang menghasilkan komoditas.
"Indonesia akan menghadapi pemilihan umum baru, sehingga diharapkan mulai ada reformasi baik. Karena biasanya pemimpin politik akan memberikan arahan berbeda yang lebih populis bahkan salah seperti Amerika Latin," pungkas dia.(Fik/Nur)
Wanita yang membawa BUMN tersebut masuk sebagai perusahaan pertama di jajaran 500 Fortune memberikan definisi bahwa Breakout Nations adalah sebuah negara yang memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan negara lain.
Â
"Argumen ADB menyebut hanya ada beberapa negara saja yang bisa mempertahankan stabilitas politik, tata kelola, pemerintahan dan kebijakan pada 10-20 tahun mendatang," ungkap dia saat menjadi pembicara The Future of Emerging Markets: Where are The Next Breakout Nations di Nusa Dua, Bali, Senin (7/10/2013).
Indonesia, kata Karen mempunyai celah besar untuk masuk dalam Breakout Nations mengingat ada fakta-fakta yang menunjukkan negara ini semakin ke arah yang lebih baik.
Pertama, lanjut dia, Indonesia telah memperbaiki tata kelola pemerintahan. Kedua, sudah transfer kekuasaan dari satu partai.
Ketiga, keberhasilan pengajuan demokrasi yang akan membantu Indonesia mencapai target tersebut serta keempat, perusahaan Indonesia mampu berkompetisi dengan negara lain, termasuk Cina.
"Negara ini menjadi lebih tangguh setelah mengalami krisis ekonomi di tahun 1998. Tapi saat ini akibat kondisi ekonomi global yang sedang sulit membuat Indonesia mengalami perlambatan laju pertumbuhan ekonomi," tutur dia.
Karen bilang, pekerjaan rumah yang masih menjadi tugas dari pemerintah dan pihak-pihak terkait adalah pembangunan infrastruktur dan masalah korupsi.
"Infrastruktur, lingkungan bisnis dan keadaan persoalan korupsi masih buruk. Inilah tantangan Indonesia ke depan untuk menjadi Breakout Nations," tukasnya.
Di sisi lain, Author of Breakout Nations Ruchir Sharma mengatakan, ketika Indonesia menjadi breakout nations ekonomi memang akan lebih positif sekitar 30% dibanding Produk Domestik Bruto (PDB) negara lain yang menghasilkan komoditas.
"Indonesia akan menghadapi pemilihan umum baru, sehingga diharapkan mulai ada reformasi baik. Karena biasanya pemimpin politik akan memberikan arahan berbeda yang lebih populis bahkan salah seperti Amerika Latin," pungkas dia.(Fik/Nur)