Pertumbuhan Surat Utang RI Tercepat di Asia

Asian Development Bank menyebutkan, pertumbuhan surat utang di Indonesia menjadi tercepat di antara sembilan negara di kawasan Asia Timur.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Mar 2014, 15:10 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2014, 15:10 WIB
Ilustrasi Obligasi
(Foto: Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) menyatakan pertumbuhan surat utang/obligasi di Indonesia menjadi yang tercepat di antara sembilan negara lain di kawasan Asia Timur.

Negara-negara itu antara lain, Republik Rakyat Cina (RRC), Hong Kong, China, Indonesia, Republik Korea, Malaysia, Filiphina, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional ADB, Iwan Jaya Azis mengungkapkan, total pertumbuhan surat utang di 10 emerging east country pada tahun lalu mencapai 12%. Pertumbuhan surat utang korporasi 20%, sedangkan 7% dari surat utang pemerintah.

"Dari pertumbuhan total surat utang itu, sebesar 20% terjadi di Indonesia sehingga menobatkan negara ini yang mengalami pertumbuhan surat utang tercepat di banding sembilan emerging east country," jelas dia di Jakarta, Kamis (20/3/2014).

Iwan menyebut, surat utang pemerintah jadi yang tercepat dengan pertumbuhan 21%, sedangkan pertumbuhan surat utang korporasi 31% diraih China.

"Dari size ekonomi, kita menduduki peringkat ke 7. Di tahun lalu, dari total nilai penerbitan surat utang di emerging east country senilai US$ 7,4 triliun, sebesar 60% berasal dari China. Dominasi mereka memang kuat," terangnya.

Sedangkan penerbitan surat utang Indonesia masih relatif kecil sebesar US$ 111 miliar. Namun lebih besar dibanding Filipina dan Vietnam yang mencapai US$ 100 miliar serta US$ 25 miliar.

Lebih jauh Iwan menjelaskan, pasar keuangan global mulai bergejolak sejak pengumuman kebijakan tapering off oleh Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Bernanke pada Mei 2013. Kondisi ini diperparah dengan beberapa kasus lain yang terjadi di dalam negeri. Hal ini juga berpengaruh terhadap pasar obligasi Indonesia.

Pertama, lanjutnya, karena kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang sangat berpengaruh, seperti defisit neraca transaksi berjalan dan defisit anggaran yang besar. Hal serupa juga dialami India.

Faktor kedua karena pemegang surat utang di Indonesia selama ini mayoritas oleh investor asing membuat negara ini mudah terguncang saat asing keluar (capital outflow).

"Tapering off adalah sesuatu yang tidak bisa dikontrol. Semua harus bisa menerimanya, tapi kita perlu memperkuat basis investor domestik dalam porsi pemegang surat utang. Karena imbasnya bisa memperbaiki makro fundamental Indonesia," pungkas Iwan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya