Isu Kenaikan Harga BBM Subsidi Timbulkan Moral Hazard

Isu kenaikan harga BBM Subsidi menimbulkan moral hazard seperti kelangkaan BBM subsidi, penimbunan dan ekspektasi inflasi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 17 Nov 2014, 15:59 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2014, 15:59 WIB
BBM Bersubsidi Habis, SPBU Ini Tak Beraktivitas
Salah satu SPBU di Jakarta Utara tampak memasang papan bertuliskan "kuota solar subsidi hari ini habis", Jakarta,(29/8/14). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat terutama pelaku usaha dan pelaku pasar keuangan terus menunggu aksi yang akan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang akan dilakukan pada awal bulan ini. Namun sampai saat ini, aksi tersebut tidak segera terealisasikan.

Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur INDEF, Enny Sri Hartati mengatakan, masyarakat menanti karena sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan juga Menteri Koordinator Bidang perekonomian Sofyan Djalil menyebutkan bahwa penyesuaian harga BBM dilakukan pada November 2014.

Menurut Enny langkah yang dilakukan oleh Jusuf Kalla dan Sofyan Djalil tersebut kurang tepat. Menurutnya, pemerintah sudah seharusnya tidak mengumbar janji-janji.

"Itu salah, karena menjanjikan sesuatu. Kecuali itu sudah menjadi keputusan pemerintah secara bulat, wong di Sidang Kabinet saja belum pernah dibahas soal kenaikan harga BBM subsidi," ungkap dia dalam Diskusi Rencana Kenaikan Harga BBM Demi Kepentingan Rakyat di Kantor PWI Jaya, Jakarta, Senin (17/11/2014).

Akhirnya, menurut Enny, isu ini membuat kepanikan dan menimbulkan moral hazard seperti kelangkaan BBM subsidi, penimbunan dan ekspektasi inflasi. "Jadi polanya harus diubah, jangan baru wacana langsung diputuskan," terang dia.

Bagi para pelaku pasar, tuturnya, paling penting adalah kepastian kebijakan pemerintah, terutama terhadap kebijakan yang memiliki sensitifitas tinggi.

"Paling krusial dari kebijakan adalah kepastian. Di era demokratisasi kebijakan publik harus dikonsultasikan ke publik. Jadi harus dalam posisi kebijakan yang matang," imbuh Enny. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya