Liputan6.com, Makassar - Tradisi ma’nene menjadi salah satu warisan budaya paling unik dari suku Toraja, Sulawesi Selatan. Ritual membersihkan dan mengganti pakaian jenazah leluhur ini bukan sekadar upacara adat.
Melainkan bentuk penghormatan mendalam terhadap orang yang telah meninggal. Tradisi ini dilakukan setiap tiga hingga empat tahun sekali.
Mengutip dari berbagai sumber, tradisi ma’nene berawal dari legenda Pong Rumasek, seorang pemburu yang menemukan jenazah terlantar di hutan. Meski tidak mengenal almarhum, Pong merawat mayat tersebut dengan membersihkannya dan memberikannya pakaian layak.
Advertisement
Baca Juga
Bagi masyarakat Toraja, kematian bukanlah akhir dari hubungan dengan keluarga. Orang yang telah meninggal tetap dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ma’nene menjadi momen untuk menunjukkan kasih sayang sekaligus memastikan arwah leluhur tenang di alam baka. Ritual ma’nene diawali dengan pengambilan jenazah dari liang kubur atau peti.
Jenazah kemudian dibersihkan secara hati-hati menggunakan kuas atau kain lembut. Setelah itu, keluarga mengenakan pakaian baru, biasanya pakaian bagus yang disukai almarhum semasa hidup.
Pesta Besar
Beberapa barang pribadi milik mendiang, seperti perhiasan atau benda kesayangan, turut dimasukkan kembali ke peti. Prosesi ini diiringi doa dan permohonan agar arwah leluhur diberi kedamaian.
Setelah selesai, jenazah dikembalikan ke tempat peristirahatannya. Ritual ini dilengkapi dengan pesta besar yang dihadiri ratusan bahkan ribuan orang.
Keluarga menyembelih kerbau dan ayam sebagai persembahan, sementara warga berkumpul untuk bersilahturahmi. Bagian yang paling unik adalah ma’sisemba, yaitu pertarungan menggunakan kaki antara peserta.
Tradisi ini dimaknai sebagai simbol persatuan dan kekuatan komunitas. Meski terlihat seperti perkelahian, ma’sisemba dilakukan dalam suasana penuh kegembiraan dan tidak menimbulkan permusuhan.
Bagi Suku Toraja, ritual ini memperkuat ikatan antaranggota keluarga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dengan merawat jenazah leluhur, masyarakat Toraja percaya bahwa mereka menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan alam roh.
Penulis: Ade Yofi Faidzun
Advertisement
