Menkeu: Tak Perlu Lagi Ada APBN-P Jika Ada Subsidi Tetap

Pemerintah menerapkan subsidi tetap untuk kurangi risiko fiskal dan dampak dari pengajuan Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 06 Jan 2015, 08:00 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2015, 08:00 WIB
Wamenkeu Bambang Brodjonegoro
(Foto: Fiki Ariyanti/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Desain asumsi makro ekonomi maupun pagu yang sudah disusun pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun kerap mengalami perubahan besar akibat kondisi rupiah dan harga minyak melemah. Hal ini biasa terjadi pada belanja subsidi energi.

Atas dasar itu, pemerintah harus kembali menghitung dan mengajukan APBN Perubahan guna merespons perkembangan kondisi dan situasi ekonomi terkini. Pengajuan APBN-P tentu melibatkan DPR agar disahkan menjadi Undang-undang (UU) APBN-P.

Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro berharap dapat menghilangkan kebiasaan pengajuan APBN-P kepada anggota dewan melalui sebuah kebijakan tepat terkait anggaran subsidi energi.

"Jadi kita terapkan subsidi tetap supaya mengurangi risiko fiskal dan meminimalkan dampak dari APBN-P. Jadi nggak perlu APBN-P," ujar dia di Jakarta, seperti ditulis Selasa (6/1/2015).

Sebagai contoh subsidi tetap pada BBM jenis Solar. Pemerintah telah mematok besaran subsidi tetap bagi BBM subsidi tersebut sebesar Rp 1.000 per liter. Sehingga harga jual Solar akan mengikuti mekanisme pasar.

Dengan kebijakan tersebut, jika asumsi konsumsi Solar pada tahun ini sama dengan tahun lalu sebanyak 17 kiloliter (kl), maka anggaran subsidi Solar pada APBN-P 2015 sebesar Rp 17 triliun.

"Jadi ke depannya buat rencana awal yang lebih bagus. Sehingga nantinya nggak ada perencanaan dadakan di penghujung tahun yang bikin (belanja) nggak terserap pada akhirnya," tegas Bambang.

Tanpa APBN-P, menurut dia, akan menghilangkan atau mengurangi penumpukan belanja pada akhir tahun. Seperti diketahui, belanja pemerintah pusat Kementerian dan Lembaga jor-joran terlaksana pada pertengahan sampai penutupan tahun.

"Karena Kementerian dan Lembaga membuat pengadaan barang dan jasa setelah APBN-P disahkan, seperti bulan Juli, Agustus dan September. Jadi numpuk di bulan-bulan itu," ujar Bambang.

Untuk itu, tambah Bambang, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden yang mengharuskan lelang pengadaan barang dan jasa paling lambat selesai di akhir Maret pada tahun berjalan.

"Revisi ini mencegah lelang berlarut-larut dan membuat pencairan anggaran lebih merata. Jangan sampai lelang baru dilakukan Agustus atau September, dan anggaran pun cair di bulan itu sampai Desember," pungkas dia. (Fik/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya