Pengusaha: Naikkan Harga Produk Bisa Jadi Bumerang

Pengusaha makanan dan minuman lebih memiliki mengurangi jam kerja, jam lembur karyawan dan shift bergilir ketimbang naikkan harga.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Sep 2015, 14:13 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2015, 14:13 WIB
Awal bulan puasa, Sayur Mayur di Supermarket Ikut Naik
Petugas saat merapihkan sayuran di sebuah supermarket di Jakarta, Jumat (19/6/2015). Berbagai jenis sayuran antara lain seperti cabai merah, kacang panjang, timun, bawang merah, mengalami kenaikan di awal bulan puasa. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) kian menguat hingga menekuk rupiah ke level Rp 14.700. Kondisi memprihatinkan ini tak lantas membuat Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menaikkan harga jual di tingkat konsumen meski harus mengorbankan keuntungan.

Ketua Umum GAPMMI, Adhi S Lukman mengungkapkan, ketergantungan industri makanan dan minuman nasional terhadap bahan baku impor sangat besar sehingga terjadi tekanan hebat ketika kurs rupiah ambruk di level yang undervalue.

Dia mencontohkan, pelaku industri makanan dan minuman mengimpor bahan baku gula 100 persen, bahan baku berbasis terigu 100 persen, 70 persen bahan baku susu, serta konsentrat buah dan sayur impor.

"Pelemahan nilai tukar rupiah menjadi sudah lampu kuning untuk kita karena depresiasinya sudah 15 persen. Ini sangat berat buat industri makanan minuman sebab bahan baku kita masih banyak impor, itu yang jadi masalah," ujar Adhi saat ditemui di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Jumat (25/9/2015).

Dia menuturkan, pelaku industri terpaksa mengimpor bahan baku makanan dan minuman lantaran tidak tersedianya bahan baku tersebut di pasar dalam negeri dari segi mutu maupun jumlahnya. Dilemanya lagi, sambung Adhi, pengusaha bertahan dengan harga jual produk makanan dan minuman yang belum mengalami kenaikan setelah penyesuaian di awal tahun ini. Kebijakan mempertahankan harga jual, lanjut dia, akibat pelemahan daya beli masyarakat.

"Januari lalu sudah ada kenaikan harga, lalu masalah bertubi-tubi datang. Tahun ini agak berat komoditas pertambangan dan perkebunan mengalami penurunan permintaan, produksi dan harga anjlok. Jadi ini berpengaruh ke daya beli masyarakat. Jika kita naikkan harga jual produk tahun ini, akan jadi boomerang atau sama saja bunuh diri," ujar Adhi.

Dia memperkirakan, pertumbuhan volume atau jumlah penjualan produk makanan dan minuman akan stagnan bahkan negatif di tahun ini. Sementara dari sisi nilai penjualan tetap naik karena tertolong penyesuaian harga di Januari 2015.

"Tahun ini pertumbuhan value 5-6 persen saja masih relevan. Tapi yang perlu dikhawatirkan volumenya," ucap Adhi.

Strategi pengusaha makanan minuman dalam menghadapi kondisi tersebut, kata dia, dengan mengencangkan ikat pinggang, seperti mengurangi jam kerja, jam lembur karyawan dan shift bergilir.

Adhi mengakui, perusahaan makanan dan minuman belum ada yang merumahkan karyawan secara besar-besaran atau bangkrut. "Belum dengar ada yang tutup. PHK ada tapi kecil, tidak besar seperti di industri garmen, tekstil, padat karya lain. Tapi perusahaan sudah memberlakukan pengurangan jam kerja, jam lembur sehingga pendapatan karyawan juga berkurang," terang Adhi.

Dia berharap agar pemerintah dapat melakukan terobosan untuk memperkuat kembali nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Serta kebijakan untuk membantu industri makanan dan minuman. "Aturan kepastian bahan baku, stabilisasi kurs rupiah sangat penting. Ini sudah dalam kondisi urgent," pungkas Adhi. (Fik/Ahm/Sar)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya