Liputan6.com, Jakarta - Tenggat waktu ketok palu Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2016 menjadi UU APBN ditetapkan 30 Oktober 2015.
Pembahasan postur fiskal tahun anggaran 2016 ini telah melalui proses panjang sejak awal tahun ini, bahkan pengesahannya sempat molor dari jadwal Sidang Paripurna pada 22 Oktober lalu.
Tarik ulur penetapan APBN 2016 tentu menimbulkan tanda tanya besar bahwa ada kepentingan politik di dalamnya. Tudingan permainan mafia anggaran pun tak luput dari perjalanan pembahasan anggaran negara tersebut.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Akhmad Akbar Susamto menilai, nasib APBN 2016 pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terkesan digantung DPR. Dia bahkan menyebut bahwa kondisi seperti ini baru pertama kalinya terjadi di Indonesia sejak Orde Baru dan malangnya menimpa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
"Ini memang akan menjadi pertama kalinya dalam sejarah Indonesia minimal sejak Orde Baru, RAPBN digantung DPR. Pada era Orde Lama agak susah diperbandingkan karena waktu itu sempat gonta ganti sistem pemerintahan (presidensial, parlementer dan lainnya)," jelas dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (29/10/2015).
Akbar pun mengkhawatirkan pembahasan antara pemerintah dan parlemen menemui jalan buntu atau tidak menemui titik terang sehingga berpotensi memicu kegagalan pengesahan RAPBN. Meskipun selama ini belum pernah terjadi kegagalan penetapan RUU APBN menjadi UU.
"Saya berharap dan tetap yakin bahwa RAPBN akan disetujui pada detik-detik akhir. Karena seingat saya tidak pernah terjadi (kegagalan pengesahan RAPBN) sejak zaman awal Orde Baru sampai sekarang," tegasnya.
Dalam konteks politik, Akbar mengaku, kegagalan untuk mengesahkan RAPBN bukan hanya akan merugikan pemerintah, tapi juga pihak oposisi. "Pemerintah sekarang punya prestasi sekaligus kegagalan. Jika oposisi mempersulit pengesahan RAPBN, maka itu hanya akan mnjadi alasan bagi pihak pro pemerintah untuk melempar kesalahan ke pihak lain," jelas Akbar.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan, tarik ulur pengesahan RAPBN 2016 dipenuhi kepentingan politik. Hal ini yang banyak dipertanyakan sejumlah pihak, sehingga menimbulkan kecurigaan terhadap pembahasan RAPBN yang tak kunjung disahkan.
"Sekarang kan eranya transparansi. Jika DPR tidak menyetujui RAPBN 2016 harus jelas alasannya apa. Kalau mengakomodir kepentingan masyarakat, karena DPR menganggap postur RAPBN tahun depan belum menjawab persoalan ekonomi saat ini dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dipaparkan secara gamblang. Sebab APBN disusun supaya menjadi stimulus bagi perekonomian Indonesia, memperbaiki indikator kesejahteraan meskipun belum terjadi krisis," terangnya.
Hanya saja ia menyayangkan apabila alasan DPR tidak setuju dengan RAPBN 2016 karena kepentingan politik. Alasan tersebut dianggap bukan membela kepentingan masyarakat, namun kepentingan kelompok partai tertentu.
"DPR kan memang selalu begitu, dipersulit. Tapi kalau alasan jelas untuk rakyat sih kita dukung. Kalau cuma alasan politis, pemerintah harusnya bisa menentang karena itu hanya akan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap DPR. Yang penting pemerintah harus percaya diri jika memang benar," pungkas Enny. (Fik/Ndw)
Advertisement