BPS: Pencabutan Subsidi Listrik Bakal Dorong Inflasi

peranan listrik dalam Indeks Harga Konsumen (IHK) alias inflasi sebesar 3,7 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Nov 2015, 21:10 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2015, 21:10 WIB
20150916-Rusun Karang Anyar-Jakarta
Meteran listrik di Rusun Karang Anyar di kawasan Sawah Besar, Jakarta, Rabu (16/9/2015). Pemprov DKI berencana merevitalisasi Rusunawa Karang Anyar. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, kebijakan mencabut subsidi listrik terhadap 23 juta pelanggan golongan 450 VA-900 VA akan mengerek laju inflasi dan angka kemiskinan tahun depan. Kunci untuk menekan dampak ini adalah dengan upaya pengendalian inflasi.

Direktur Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengungkapkan,  Itu artinya ketika ada kebijakan penyesuaian tarif atau pencabutan subsidi listrik, maka berpengaruh terhadap inflasi.

"Lumayan itu kalau subsidi dicabut dampaknya ke inflasi. Tagihan listrik mereka pasti naik, jadi inflasi bakal naik juga. Nanti pasti ada komponen tarif listrik ke penyebab inflasi," katanya saat ditemui di kantor BPS, Jakarta, Senin (2/11/2015).

Ia mengaku, BPS belum menghitung sumbangan inflasi dari kebijakan tersebut. Namun demikian, pencabutan subsidi listrik sebanyak 23 juta pelanggan 450 VA-900 VA akan memicu peningkatan angka kemiskinan di 2016. Padahal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, pemerintah mematok tingkat kemiskinan pada level 9-10 persen.

"Kemiskinan juga akan mengalami kenaikan, tapi kan nanti bisa dikompensasi dari yang lain," ujarnya.

Sasmito berharap, pemerintah mampu memitigasi risiko dari pencabutan subsidi listrik agar 23 juta pelanggan yang selama ini memperoleh subsidi tidak terjatuh pada kelompok rentan miskin atau ke jurang kemiskinan lebih dalam.

"Kuncinya sih pemerintah harus bisa menekan inflasi. Sepanjang inflasi tetap rendah apapun sumber penyebabnya, maka kemiskinan bisa tetap terjaga. Selain itu, pemerintah juga perlu tetap menjalankan program bantuan sosial, seperti Kartu Keluarga Sejahtera dan lainnya," papar Sasmito.

Sebelumnya, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Riyanto mengungkapkan, dari 48 juta pelanggan atau rumah tangga golongan 450 VA-900 VA, sebanyak 24,7 juta yang masih akan memperoleh subsidi dari pemerintah. Golongan itu dikategorikan masyarakat rentan miskin dan miskin.

"Itu kelompok pengeluannya rata-rata per bulan sampai Rp 700 ribu per kapita. Tapi ada juga yang membelanjakan pendapatannya Rp 800 ribu per kapita setiap bulan. Jadi pengeluaran akan naik, karena sudah tidak dapat subsidi," tegasnya.

Lebih jauh ia menjelaskan, dari 23 juta pelanggan yang kena getah pencabutan subsidi listrik, sebanyak 3 juta sampai 5 juta pelanggan golongan 450 VA-900 VA akan jatuh ke kelompok rentan miskin. Dengan perhitungan ini, Riyanto menyarankan kepada pemerintah untuk memitigasi dampak maupun kelompok tersebut.

"Jadi 3 juta sampai 5 juta pelanggan akan jatuh pada kelompok rentan miskin. Karena tagihan listrik membengkak dengan kenaikan tarif sampai 250 persen untuk golongan 450 VA dan 150 persen pada golongan 900 VA. Secara rata-rata, tarif tenaga listrik akan naik 58 persen dan secara keseluruhan meningkat 25 persen," terangnya.

Sementara dampak ekonomi makro lain, ia bilang, pencabutan subsidi listrik pada golongan 450 VA-900 VA akan mengerek inflasi tahun depan.

Riyanto mengaku, kebijakan ini menyumbang tambahan inflasi 1,74 persen di 2016. Dengan begitu, prediksi inflasi di akhir tahun depan mencapai 5 persen-6 persen.

"Sedangkan imbas untuk pertumbuhan ekonominya bakal turun 0,59 persen di 2016. Jadi asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen di tahun depan akan merosot dan angka kemiskinan bertambah 0,14 persen," pungkas Riyanto. (Fik/Zul)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya