Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengumumkan kebijakan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk Premium sebesar Rp 150 per liter dan Solar Rp 750 per liter.
Banyak kalangan menyambut baik kebijakan pemerintah itu. Namun sayangnya penurunan harga BBM ini dinilai agak terlambat.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar mengatakan seharusnya penurunan harga BBM dilakukan beberapa bulan lalu karena harga minyak dunia dalam 5 bulan ini cenderung turun berkisar US$ 40 per barel.
"Selain itu, harga BBM seharusnya bisa turun lebih besar lagi. Misalnya, untuk Premium paling tidak bisa turun minimal Rp 500 per liter, Solar turun minimal Rp 1.000 per liter," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (25/12/2015).
Sementara itu, adanya pungutan harga BBM yang disebut sebagai dana ketahanan energi sebesar Rp 200 per liter untuk Premium dan Rp 300 per liter untuk Solar, dinilai tidak memiliki dasar hukumnya. Dasar hukum Pasal 30 UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi sebagaimana disampaikan oleh Sudirman Said dianggap tidak tepat.
"Pasal 30 UU Energi sama sekali tidak mengatur tentang penerapan premi untuk harga BBM," kata dia.
Baca Juga
Bisman menyebutkan isi Pasal 30 ayat (3) UU 30/2007 sebagaimana dimaksudkan Sudirman Said adalah pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan.
Dia pun mempertanyakan korelasi Pasal dalam UU Energi dengan pungutan tersebut. "Pasal 30 sama sekali tidak mengatur dan tidak membenarkan pungutan yang dibebankan kepada rakyat melalui harga BBM," lanjutnya. ‎
Menurutnya, jika yang dimaksud Sudirman Said adalah Petroleum Fund ‎atau dana cadangan Migas, maka seharusnya bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak ‎(‎PNBP) sektor migas yang dikumpulkan dari hasil produksi migas, bukan dari pungutan yang dibebankan kepada rakyat.
Advertisement
Itupun pemberlakuannya harus diatur dengan Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini belum ada. Atau, jika yang dimaksud adalah dana stabilisasi migas dan dana ketahanan energi seharusnya diatur dan masuk dalam APBN.
Bisman menegaskan, pungutan pada harga BBM tersebut tidak sesuai dengan UU tentang pengelolaan Keuangan Negara di mana pendapatan negara harus melalui pajak dan PNBP serta harus masuk dalam APBN. Jadi, pungutan oleh pemerintah dalam harga BBM tersebut adalah ilegal.
"Seharusnya Pemerintah tidak seenaknya mengenakan pungutan kepada rakyat. Janganlah rakyat dibebani dengan berbagai macam pungutan yang memberatkan, termasuk jangan mengambil untung dari harga BBM yang sudah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya," jelasnya.
Menurut dia, dana pungutan itu juga rawan penyimpangan dan berpotensi korupsi. Di sisi lain, pemerintah juga perlu diingatkan karena sampai saat ini belum menjelaskan kepada publik secara transparan tentang dana selisih lebih harga BBM mulai pertengahan tahun 2015Â yang lalu karena harga jual BBM lebih tinggi dari harga keekonomian.
"Sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk menyampaikan ke publik mengenai transparansi dana selisih lebih harga BBM, sehingga jangan sampai publik menilai Pemerintah melakukan penyimpangan," tandas dia.(Dny/Nrm)