Liputan6.com, Jakarta - Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung masih menuai pro kontra hingga kini. Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasetianto menilai proyek itu tidak masuk akal.
Ia mengatakan, belum ada standar negara lain kereta cepat dengan jarak 140 KM. Definisi kereta cepat sendiri, kata dia berkecepatan 300 KM/jam ke atas.
Baca Juga
"Soal kereta cepat Jakarta-Bandung bagi saya nggak masuk akal," kata dia, Jakarta, Selasa (16/2/2016).
Advertisement
Dia mencontohkan, seperti halnya kereta cepat yang ada di Jepang. Kereta cepat di Jepang salah satunya menghubungkan Tokyo dan Osaka. ‎Kereta cepat tersebut berjarak 400 km dengan waktu tempuh 2 jam.
Dia menuturkan, kereta cepat tersebut dianggap layak karena juga melewati kota-kota besar. Kota-kota tersebut di antaranya Yokohama, Nagoya, dan Kyoto.
Baca Juga
"Kalau Bandung-Jakarta menghubungkan apa saja, dari Bandung pemberhentian pertama Walini metik teh dulu. Setelah Walini, Purwakarta makan sate maranggi, Cikarang terakhir Halim menurut saya tidak sebanding‎. Saya khawatir tidak feasible ," ujar dia.
Memang, menurut Tony tidak semua proyek mesti layak. Dia mencontohkan seperti pembangunan infrastruktur jalan yang menghubungkan Jayapura dan Wamena. Namun bedanya, meski tak layak proyek tersebut mesti diacungi jempol karena telah membuka isolasi Papua.
"Dia (Jokowi) berani ambil keputusan membuka isolasi Papua.‎ Di Papua terdiri dari dua jenis kota, pesisir dan gunung dan itu nggak nyambung. Contoh Papua dan Wamena tak ada jalan raya, daratnya, sehingga orang Wamena bangun gedung, semen didatangkan dari Makassar‎, kemudian diangkut kapal menuju Jayapura, dari Jayapura ke Wamena naik pesawat," ujar dia.
Sebelumnya Direktur Transportasi Kementerian PPN/Bappenas Bambang Prihartono ‎mengatakan, sama seperti proyek pembangunan angkutan massal lainnya, proyek kereta cepat sebenarnya merupakan proyek rugi. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
"Di mana ada angkutan massal itu untung? Itu proyek rugi. Di Belanda, Prancis, Inggris itu ditanggung pemerintah.MRT juga awalnya rugi dulu," ujar dia di Jakarta, Jumat 12 Februari 2016.
Namun demikian, di sisi lain, keberadaan kereta cepat juga memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi di China. Dari studi kasus kereta cepat Beijing-Shanghai, keberadaan moda transportasi tersebut mampu mendorong pertumbuhan GDP kota-kota yang dilaluinya. Seperti di kota Jinan yang GDP-nya mampu tumbuh 0,55 persen per tahun, ‎di Jilin sebesar 0,63 persen dan di Dezhou sebesar 1 persen.
"Jadi kita lihat proyek ini sebagai key driver untuk pengembangan wilayah. Di China, tiap daerah yang disinggahi itu tumbuh 0,6 persen-1 persen‎. Selain itu, ini juga bisa memotong biaya logistik sebesar 1 persen," kata dia.
Oleh sebab itu, meski proyek tersebut merupakan proyek rugi, namun jika masih memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi, maka proyek tersebut akan mendapatkan dukungan dari pemerintah.
"Kalau dilihat secara single proyek ya memang rugi. Karena itu muncul peran pemerintah dalam hal percepatan perizinan. Kalau dipercepat, itu keuntungan yang besar buat swasta," ujar dia. (Amd/Ahm)