Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia (World Bank) merevisi target pertumbuhan ekonomi dunia dari 2,9 persen menjadi 2,4 persen karena berbagai sentimen negatif mulai dari pelemahan ekonomi China, kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS) sampai persoalan isu brexit atau keluarnya Inggris dari zona Euro. Sementara ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh atraktif di level 5,1 persen berkat reformasi kebijakan.
Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo Chaves saat Laporaan Indonesia Economic Quarterly mengungkapkan, ketidakpastian perekonomian dunia mendorong Bank Dunia meninjau kembali proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Pemangkasan tersebut melihat perkembangan dan permintaan ekspor yang masih melemah.
"Kami telah merevisi forecast ekonomi dunia dari 2,9 persen menjadi 2,4 persen. Sebab semua negara di dunia mengurangi demand, harga komoditas masih belum jelas, pertumbuhan perdagangan dunia tidak menjanjikan, keuntungan dalam bisnis kurang baik," terang dia di Kantor Kementerian Perdagangan,Jakarta, Senin (20/6/2016).
Advertisement
Baca Juga
Penyebab utama revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global, sambung Chaves, karena beberapa hal, diantaranya kebijakan moneter di AS, referendum di Inggris Raya mengenai rencana keluarnya Negara tersebut dari Uni Eropa, China yang sedang meninjau perdagangannya, dan isu lainnya.
"Outlook baru ekonomi dunia ini akan berpengaruh pada ekonomi negara lain, termasuk Indonesia," kata dia.
Chaves memperkirakan, ekonomi Indonesia akan berada pada level 5,1 persen di tahun ini. Angka tersebut, tambahnya, lebih baik dibandingkan pertumbuhan ekonomi Brazil, Meksiko, bahkan Malaysia yang diproyeksikan 4,4 persen, Thailand 2,5 persen. Akan tetapi lebih rendah daripada Filipina dan Vietnam yang masing-masing diramal 6,4 persen dan 6,2 persen.
"Di sini perlu kebijakan tepat dari pemerintah Joko Widodo (Jokowi), apakah ingin tetap menikmati keuntungan dari sumber daya alam, komoditas, atau bergeser menyejahterakan rakyat dari investasi, peningkatan produktivitas tenaga kerja, manufaktur dan industri jasa. Saran kami, Indonesia perlu mendiversifikasi ekonominya jangan tergantung komoditas lagi," terang dia.
Dijelaskan Chaves, Indonesia harus melakukan reformasi di industri manufaktur dan jasa untuk kembali pada era kejayaannya di periode 1990-an. Di masa itu, kata dia, Indonesia adalah salah satu negara kuat dalam bidang manufaktur dengan rata-rata pertumbuhan 11 persen per tahun. Tapi kini, hanya 4 persen per tahun, dan peranannya terhadap sektor manufaktur dunia hanya 0,6 persen selama 15 tahun terakhir.
"Dulu, Vietnam yang belum punya manufaktur sama sekali sekarang ini justru lebih besar. Indonesia butuh revitalisasi sektor manufaktur sehingga punya kesempatan lagi mendapatkan posisinya kembali," harap Chaves.
Indonesia, diakuinya, dapat belajar dari manufaktur di Taiwan dan Korea Selatan untuk melakukan reformasi kebijakan. Bank Dunia mengapresiasi langkah pemerintah Jokowi meluncurkan 12 paket kebijakan ekonomi, mengurangi tarif barrier, merevitalisasi sektor perdagangan sehingga semakin mendorong investasi di Indonesia.
"Reformasi ini belum selesai, dan kami sangat senang Pak Thomas Lembong (Menteri Perdagangan) mengatakan tidak akan mundur untuk melakukan reformasi supaya ekonomi Indonesia bertumbuh 5,1 persen di tahun ini. Pemulihan tersebut bukan karena lagi sumber daya alam, tapi karena reformasi kebijakan," papar Chaves.
Ekonom Utama Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop mengatakan, konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah diproyeksikan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, selain dari reformasi kebijakan. Indonesia, perlu meningkatkan investasi swasta.
"Ini kesempatan bagi Indonesia melaksanakan terus reformasi untuk memperkuat daya saing sektor manufaktur dan jasa, khususnya pariwisata. Pengalihan teknologi yang lebih tinggi supaya naik kelas karena ekspor manufaktur Indonesia masih didominasi oleh produk teknologi rendah, perakitan, sehingga negara ini rentan terhadap perpindahan lokasi perusahaan multinasional," jelas Ndiop.