Liputan6.com, Jakarta Pengusaha mendukung langkah Bank Indonesia (BI) yang segera menerapkan kebijakan redenominasi atau penyederhanaan nominal rupiah dengan menghilangkan tiga nol di belakang, selain meluncurkan uang rupiah baru.
Tujuannya supaya nominal mata uang Garuda lebih efisien dan mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia yang masih cukup kuat.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, nominal rupiah yang terlalu banyak nol karena inflasi Indonesia. Apalagi jika rupiah dilawan dengan mata uang dolar Amerika Serikat (AS), maka rupiah seolah tiada bernilai meskipun perekonomian domestik tumbuh positif dengan stabilitas makro yang terjaga.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau nominal yang besar itu karena inflasi kita. Uang kita paling besar Rp 100 ribu, sedangkan uang dolar AS yang lazim kita lihat paling besar US$ 100. Kalau ditukar sama rupiah, itu ada sekitar 14 lembar rupiah nominal Rp 100 ribu. Lah kalau 3 lembar US$ 100, puluhan lembar rupiah, dompet bisa jebol," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (20/12/2016).
Akibat dari ketidakefisienan ini, Tutum menilai, tak ada pejabat atau pengusaha besar memegang rupiah. Tak heran, bila praktik korupsi biasanya menggunakan dolar AS.
"Pejabat kita simpannya dolar ‎semua, korupsi pakai dolar karena tidak mau pakai rupiah karena kebanyakan takut ketahuan. Dari sisi nilai, rupiah pun terlihat tidak bernilai," jelasnya.
Dengan redenominasi atau menyederhanakan nominal mata uang rupiah, tambahnya, akan lebih efisien, mudah dalam pembukuan, dan lebih mempunyai nilai di mata dunia ataupun investor.
Tutum pun meminta BI segera merealisasikannya, karena transisi redenominasi membutuhkan waktu cukup panjang.
"Isu ini kan ‎sudah bergulir lama, malah harusnya sudah jalan. Kalau tidak bergerak, mau sampai kapan. Ini kan supaya rupiah kita lebih efisien asalkan jangan nominal yang dicetak nilainya lebih kecil dari harga barang atau yang disebut sanering," dia menandaskan. (Fik/Nrm)