Liputan6.com, Jakarta - Larangan penjualan minuman alkohol (minol) khususnya bir oleh pemerintah kerap disebut menjadi penyebab utama tutupnya gerai 7-Eleven. Namun demikian, manajemen PT Modern International Tbk menyatakan, jika larangan penjualan bir bukan sebab utama.
Hal itu disampaikan Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Samsul Hidayat usai bertemu manajemen Modern International. Modern International sendiri merupakan induk dari PT Modern Sevel Indonesia selaku pengelola gerai 7-Eleven di Indonesia. Seluruh gerai 7-Eleven resmi tutup pada 30 Juni 2017.
"Larangan jual minuman alkohol, mereka (MDRN) sampaikan tapi tidak berdampak mayor. Berdampak minor," kata dia di Gedung BEI Jakarta, Kamis (6/7/2017).
Advertisement
Berdasarkan pengakuan manajemen Modern International, Samsul mengatakan justru disebabkan oleh biaya sewa tempat, infrastruktur, serta syarat memenuhi ketentuan franchise.
"Mayornya mungkin lebih pada biaya cukup berat, sewa, biaya infrastruktur persyaratan yang harus ditetapkan sebagai franchise cukup gede," ujar dia.
Baca Juga
Dia menuturkan, penutupan ini merupakan risiko dari bisnis. Terlebih, perseroan juga mesti membayar utang bank. "Saya kira ini lebih pada risiko bisnis yang mereka hadapi. Biayanya sebagian besar utang, melalui perbankan. Dari sisi bisnis cukup bagus memang mereknya cukup kuat, lu (kamu) pada kalau lewat mampir situ," tandas dia.
Sebelumnya, Fitch Ratings mengeluarkan riset bahwa penutupan gerai 7-Eleven lantaran risiko peraturan yang berkembang dan profil risiko dari model bisnis yang diterapkan.
Fitch melihat, bisnis model yang diterapkan oleh 7-Eleven di Indonesia diganggu oleh perkembangan peraturan yang kurang kondusif. Perusahaan menutup sekitar 25 gerai pada 2016 dibandingkan 2015 sekitar 20 gerai. Total gerai 7-Eleven sekitar 161 gerai pada 2016.
Penutupan gerai 7-Eleven menurut Fitch Ratings lantaran ada peraturan yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian pada April 2015, yang melarang penjualan minuman beralkohol di ritel modern dan kecil. Padahal, kontribusi minuman beralkohol itu diperkirakan sekitar 15 persen untuk penjualan induk usaha 7-Eleven, yaitu PT Modern Internasional Tbk.
Penutupan toko pun akhirnya menghasilkan penurunan penjualan dan earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi sekitar 28 persen pada 2016.
Selain itu, Fitch menilai, masalah diperburuk dengan tidak ada perbedaan jelas antara toko ritel dan restoran cepat saji yang dilakukan 7-Eleven di Indonesia.
Model bisnis dan risiko gerai 7-Eleven serupa dengan restoran lantaran makanan dan minuman siap saji yang difasilitasi dengan tempat duduk dan wi-fi gratis. Akibatnya, rantai itu menghadapi persaingan ketat dari restoran cepat saji dan penjual makanan tradisional yang masih sangat populer di kalangan konsumen Indonesia.
Tonton Video Menarik Berikut Ini: